“Aku mencintaimu, sayang. Kamu satu-satunya pria yang aku cintai di hidupku,” Nafasmu memburu diantara keringat yang membasahi tubuh.
“Kado ulang tahunmu,” Kataku.
-----
Setahun mengenal, aku semakin mencintaimu, meskipun keluarga menentang hubungan kita. Tanpamu, aku seperti menyelami lautan tua tanpa nelayan, seperti menatap awan yang mengambang. Malam itu kamu mengajakku ke Taman Kota, tempat biasa kita melepas rindu selain di warung kopi langgananmu dan kafe tempat pertama kita bertemu. Dibawah lampu taman dan romantisnya udara malam itu kamu berkata:
“Aku ingin hidup tua di pikiran dan hatimu,” Lalu kita duduk di bangku taman yang berdecit,
“Bisakah secangkir kopi mengobati rindumu??” Katamu, membaringkan kepala dipundakku.
“Rindu tak pernah sampai tepat waktu. Tapi kopi... Kopi selalu ada di waktu yang tepat.
Menghangatkan tubuh yaang lelah, melepas rindu yang merebah,” Jawabku, mencium keningmu.
“Berapa lama lagi kita harus menunggu??” Tanyamu.
“Menunggu adalah situasi paling ambigu.”
“Lalu??” Tanyamu, melingkarkan tangan di perutku.