Kalau aku keceplosan mengungkapkan komentarku itu, Dokter Noor pasti marah dan akan menendang hasil karya terbarunya ini.
**
Ada beberapa hal yang harus menjadi catatanku. Pertama, Dokter Noor benar-benar dokter sunat profesional. Ia tahu bagaimana memperlakukan mental pasien sunat. Ia mengajak ngobrol pasien sunatnya agar konsentrasi pasien sunatnya tidak pada titit, tapi pada materi obrolannya. Manfaatnya jelas. Si pasien sunat akan respek dengan keramahannya dan lupa kalau sedang disunat. Artinya, sunat bener-bener menjadi tidak sakit dan nyaman. Yuk sunat lagi, yuuuk..
Catatan kedua, dan ini yang membuat aku penasaran, adalah perihal bentuk baru tititku. Karena bentuknya yang baru, namanya pun harusnya baru. Bukan titit lagi. Mungkin, sudah saatnya disebut dengan ‘titut'. Artinya, ‘titit tanpa buntut'. Atau mungkin bisa juga.. ‘tidul', artinya ‘titit yang gundul'. Bukan ‘tititnya si Dul' lho..
Mobil sewaan papi melaju kencang. Aku enjoy saja di dalam mobil. Malah aku sempat ngobrol sama Om Arip.
"Paling-paling luka bekas sunat sudah kering dalam tiga hari." kata Om Arip memberi harapan yang baik.
"Ya. Mudah-mudahan tidak bengkak." jawabku sekenanya. Om Arip tertawa saja. Papi hanya senyum-senyum karena mungkin saja beliau merasa tenang karena anak satu-satunya telah berani disunat setelah sekian kali bujukan agar mau disunat hampir tidak mempan.
Sayangnya, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang tidak nyaman setelah waktu berjalan kira-kira dua puluh menit setelah aku disunat. Terasa mulai perih di bekas luka di tititku. Aku mulai malas diajak ngobrol sama Om Arip di dalam mobil. Aku benar-benar mulai merasa kesakitan. Aku meringis dengan mulut meletot kesana kemari. Membetulkan letak duduk kekanan dan kekiri.
"Ada apa?" tanya Om Arip penasaran.
"Gak tahu Om. Tiba-tiba.. mulai ada perih di tititku." jawabku.
"Jangan-jangan.." kata Om Arip sembari menerawang.