"Terasa apa tidak?" tanyanya.
"Tidak sama sekali. Bener-bener mati rasa." jawabku puas.
Tapi.. aku langsung memelototi Om Arip manakala ia bersiap-siap menendang tititku dengan sepatunya.
"Ngetes ya ngetes. Tapi kalau ngetesnya ditendang.. itu sama dengan tidak berperiketititan." gumamku kalem sambil menghindar.
Seorang ibu-ibu yang duduk di kursi tunggu ruangan Dokter Noor memandangi gerak-gerik dan tingkah laku kami (aku dan Om Arip) dengan pandangan mata yang aneh. Maklum, tingkah kami berdua kelihatan sangat tidak beradab, tidak bersopan dan tidak bersantun.
**
"Nak.. Sudah waktunya." kata Dokter Noor mempersilakanku masuk lagi ke ruang prakteknya.
"Mohon didoakan supaya lancar.." tambah Dokter Noor meminta papi dan Om Arip untuk berkomat-kamit agar tititku tidak terpotong semua ketika disunat.
Keringat dingin mulai muncul dari tubuhku lagi. Hanya kondisi tititku yang tidak berasa itu saja yang sanggup membuatku benar-benar berani menghadapi even ini. Dokter Noor mengeluarkan alat-alat sunat berupa seperangkat gunting atau pisau sunat modern versi dokter.
Aku tidak melihat sama sekali pisau dari bambu atau golok sakti ala bromocorah, atau kapak sakti wirosableng. Apalagi samurai tentara Jepang. Ya tidak mungkinlah..
"Kamu diam saja. Tenang saja. Tidak lama, kok." kata Dokter Noor sembari mulai bekerja.