"Akibat benturan di sekitar dungkul ini, ada kemungkinan terjadi gangguan pada daya ingat suamimu," sambungnya.
"Emangnya otak suami saya ada di dengkul?" entak Narti agak emosi.
"Bapak jangan menghina suami saya!" katanya sambil melotot.
"Suami saya ini, walaupun jelek tapi sekolahnya tinggi. Bukan orang sembarangan! Pernah menerima beasiswa sampai S-3," Ia terus saja menceracau nggak karuan, sambil memaparkan silsilah darah biru suaminya, yang konon keturunan Kerajaan Agung Sejagat.
Narti merasa perlu menjelaskan eksistensi Bambang di kancah politik nasional supaya Pak Mijan berhenti menuduh otak suaminya ada di dengkul.
Suasana tiba-tiba crowded dan terancam gaduh di ruang periksa. Pak Mijan sama sekali tidak menduga jika istri pasiennya jadi tersinggung perihal dengkul suaminya yang bermasalah. Dengan suara bergetar, Pak Mijan mulai hati-hati dan memerbaiki ucapannya. Ia memilih kalimat yang aman agar pasiennya tidak tambah murka.
"Sabar buuk..!"
"Duduk dulu," bujuk Pak Mijan.
"Saya nggak bilang begitu. Otak suami sampean masih di tempat yang lama, tapi mengalami pergeseran nilai dan perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi psikologis yang bersangkutan," Pak Mijan coba menjelaskan lebih rinci dengan bahasa yang lebih halus. Padahal sebenarnya ia sendiri kurang mengerti dengan ucapannya yang terakhir.
Tetapi, untuk lebih meyakinkan customer-nya, ia pun memberi contoh salah seorang pasiennya yang lumpuh. Ia menceritakan pengalamannya menyembuhkan pasiennya yang menderita stroke kronis. Mulanya agak sulit menemukan sumber penyakitnya. Namun setelah memeriksa seluruh tubuh pasien, Pak Mijan akhirnya menemukan penyebab yang ia juga tidak menduganya.
"Ternyata kelumpuhan itu disebabkan gigi pasien yang sudah lama patah dan meninggalkan tunggul di gusinya," Pak Mijan menjelaskan.