Cerpen Rizal Pandiya
Â
Belakangan ini, Bambang sering kelihatan linglung. Mungkin karena bingung atau terlalu banyak berpikir, ia sering tidak ingat dengan yang ia lakukan. Terkadang ia menggerak-gerakkan bibirnya seperti orang bicara atau membaca mantra. Ia juga sering mondar-mandir tidak menentu seperti mencari sesuatu.
Pernah suatu hari, Narti, istrinya, memergoki cangkem Bambang sedang komat-kamit, namun buru-buru ia bersikap wajar ketika tahu istrinya sedang memperhatikannya. Tapi Narti tidak pernah menanyakan langsung, perihal tingkah laku suaminya. Ia berpikir itu adalah hal yang biasa dan bukan sesuatu yang mesti dipertanyakan. Ia tidak ingin suaminya dipermalukan dengan pertanyaan yang tidak penting.
Tetapi Narti sudah tidak tahan melihat tingkah polah suaminya. Makin hari makin aneh. Yang sangat menjengkelkan hatinya, Bambang lupa dengan hari kerja dan hari ulang tahun istri serta anak-anaknya. Anehnya, suaminya ingat nama-nama mantan pacarnya. Bahkan ia tidak lupa bentuk dan letak tahi lalat di tubuh para mantannya.
Sepertinya ia menderita amnesia anterograde, yaitu gangguan daya ingat terkait peristiwa masa lalunya. Akibatnya, ia hanya bisa mengingat kejadian dan peristiwa sebelum mengalami amnesia.
Berdasarkan pengamatan dan jajak pendapat dari beberapa orang dekatnya, Narti berkesimpulan suaminya menderita pikun dini. Vonis yang dijatuhkan istrinya ini bukan sembarangan, tetapi dilakukan secara saksama dengan metode ilmu probabilitas. Ini juga bukan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan, melainkan hasil penelitian ilmiah, katanya.
Atas desakan keluarga, Narti disarankan membawa suaminya ke dokter ahli neurologi, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Bambang hanya disuruh banyak istirahat. Meski sudah banyak obat yang diminumnya, otak Bambang tetap saja lama loading-nya. Butuh waktu untuk mendengar respons Bambang setiap diajak bicara.
Narti kemudian membawa suaminya ke dokter ahli saraf. Ia menduga suaminya hanya menderita saraf kejepit yang menuju ke otaknya. Tetapi dokter hanya memberi saran untuk tidak banyak berpikir sambil memberi resep obat yang harus diminum. Kali ini obatnya lebih banyak dengan dosis yang lebih tinggi dari dokter sebelumnya. Tetapi, meski obat sudah tandas, penyakit lupa Bambang tidak juga reda.
Dengan setengah putus asa, Narti akhirnya membawa suaminya ke Pak Mijan yang biasa disebut "orang pintar". Dia ahli pengobatan alternatif. Itu pun atas saran tetangga sebelah.
"Pak Mijan," ujar Narti dengan haru.
"Tolong obati suami saya."
Orang setengah tua itu rupanya sangat arif dan bijaksana. Ia mengerti keinginan dan harapan pasiennya. Ia juga mengetahui pasangan suami istri ini, sudah kesana kemari mencari kesembuhan penyakitnya hingga akhirnya ada di depan hidungnya.
Setelah mendengar keluhan pasiennya, ia pun memeriksa seluruh tubuh Bambang dengan teliti. Ia menggunakan alat khusus untuk mendeteksi sejauhmana tingkat kerusakan otak Bambang.
Hampir semua organ tubuh Bambang, baik luar maupun dalam, diperiksa. Biji mata sampai kelopaknya juga diselidiki. Ia merefleksi seluruh tubuh Bambang sambil mencari urat saraf yang menuju ke otaknya.
Sejak awal memeriksa tubuh Bambang, mulut Pak Mijan tak henti-hentinya komat-kamit. Terkadang seperti membaca doa, tetapi ada bahasa-bahasa aneh yang tidak dimengerti, seperti mantra. Narti bahkan acap mengernyitkan dahinya melihat keanehan Pak Mijan, tetapi itu tidak begitu dipermasalahkannya. Baginya, kesembuhan suaminya adalah segala-galanya. Pak Mijan begitu teliti dan nampak berupaya keras untuk kesembuhan pasiennya.
Tetapi tiba-tiba Pak Mijan terkesiap ketika tangannya menyentuh dengkul kanan pasiennya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Kemudian ia memeriksa dengkul yang kiri. Ia pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, agak pelan. Terakhir ia meraba jidat pasiennya, Pak Mijan mengulangi menggeleng-gelengkan kepalanya. Jadi selama Bambang diperiksa, Pak Mijan sudah tiga kali menggelengkan kepalanya.
"Mungkin ini pertanda penyakit Mas Bambang sangat parah," pikir Narti yang tekun mengikuti pemeriksaan suaminya.
"Apa suami ibu pernah jatuh?" tanya Pak Mijan, usai memeriksa pasiennya sambil menghela nafas panjang.
"Setahu saya nggak pernah Pak."
"Tapi saya lihat, di dengkulnya ada kelainan," sahutnya.
"Kelainan bagaimana?" kejar Narti.
"Kalau pun ada kelainan di dengkul, kan masih jauh dari kepala Pak," sergah Narti tidak percaya.
"Masak kelainan di dengkul bisa jadi amnesia?"
Pak Mijan hanya mesem-mesem mendengar celoteh istri Bambang. Tidak ingin reputasinya sebagai terapis saraf profesional diragukan pasiennya, ia pun mengeluarkan seluruh ilmu persarafan dan ilmu otak-otak yang pernah ia pelajari di Universitas Pohon Rindang, dan mencoba menjelaskan duduk perkara penyakit suaminya.
"Begini...," Pak Mijan sambil memperbaiki posisi duduknya.
Tubuh manusia itu adalah sebuah sistem yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Setiap organ tubuh manusia dihubungkan oleh jaringan. Ada yang disebut sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Kalau sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Otak adalah kumpulan sel-sel saraf neuron dan serabut saraf yang disebut neurit dan dendrit.
Sedangkan  kerusakan saraf tepi, terjadi saat adanya kerusakan pada sistem saraf perifer yang terletak di luar sistem saraf pusat, yaitu otak dan saraf tulang belakang. Jika ini dialami, kinerja dari saraf-saraf pada anggota gerak, seperti lengan, tungkai, termasuk dengkul, dan jari-jari, akan terpengaruh.
"Itu sebabnya, kalau seseorang meriang, maka seluruh tubuhnya akan merasakan," papar Pak Mijan.
"Iya Pak, tapi suami saya tidak meriang, dia itu pelupa," pintas Narti nggak sabar.
"Saya ngerti. Tapi saya melihat ada tanda merah lebam di kedua dengkul suamimu," Pak Mijan coba menjelaskan lagi.
"Kalau melihat tanda-tandanya, ini bekas benturan.
"Akibat benturan di sekitar dungkul ini, ada kemungkinan terjadi gangguan pada daya ingat suamimu," sambungnya.
"Emangnya otak suami saya ada di dengkul?" entak Narti agak emosi.
"Bapak jangan menghina suami saya!" katanya sambil melotot.
"Suami saya ini, walaupun jelek tapi sekolahnya tinggi. Bukan orang sembarangan! Pernah menerima beasiswa sampai S-3," Ia terus saja menceracau nggak karuan, sambil memaparkan silsilah darah biru suaminya, yang konon keturunan Kerajaan Agung Sejagat.
Narti merasa perlu menjelaskan eksistensi Bambang di kancah politik nasional supaya Pak Mijan berhenti menuduh otak suaminya ada di dengkul.
Suasana tiba-tiba crowded dan terancam gaduh di ruang periksa. Pak Mijan sama sekali tidak menduga jika istri pasiennya jadi tersinggung perihal dengkul suaminya yang bermasalah. Dengan suara bergetar, Pak Mijan mulai hati-hati dan memerbaiki ucapannya. Ia memilih kalimat yang aman agar pasiennya tidak tambah murka.
"Sabar buuk..!"
"Duduk dulu," bujuk Pak Mijan.
"Saya nggak bilang begitu. Otak suami sampean masih di tempat yang lama, tapi mengalami pergeseran nilai dan perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi psikologis yang bersangkutan," Pak Mijan coba menjelaskan lebih rinci dengan bahasa yang lebih halus. Padahal sebenarnya ia sendiri kurang mengerti dengan ucapannya yang terakhir.
Tetapi, untuk lebih meyakinkan customer-nya, ia pun memberi contoh salah seorang pasiennya yang lumpuh. Ia menceritakan pengalamannya menyembuhkan pasiennya yang menderita stroke kronis. Mulanya agak sulit menemukan sumber penyakitnya. Namun setelah memeriksa seluruh tubuh pasien, Pak Mijan akhirnya menemukan penyebab yang ia juga tidak menduganya.
"Ternyata kelumpuhan itu disebabkan gigi pasien yang sudah lama patah dan meninggalkan tunggul di gusinya," Pak Mijan menjelaskan.
Secara ilmu saraf, memang ada hubungan sakit gigi dan gusi terhadap stroke.
"Ada hubungan sebab akibat dari infeksi yang menjadi faktor risiko terkena stroke, karena ditemukannya masalah infeksi oral pada penderita cerebrovascular ischemia," Bapak itu  terus nyerocos.
 "Setelah akar giginya saya cabut, pasien itu sembuh dan sekarang tidak lumpuh lagi," papar Pak Mijan yang sudah puluhan tahun praktik.
Narti sesungguhnya tidak mengerti penjelasan Pak Mijan. Ia hanya manggut-manggut dan seolah-olah paham untuk menjaga perasaan sekaligus mengambil hati bapak itu supaya suaminya segera diobati.
Tetapi lama-lama ia mulai keliyengan dan benar-benar pusing mendengar  penjelasan panjang lebar dan nggak masuk di akalnya. Apalagi banyak istilah medis dan kata-kata intelek yang membuat ia makin nggak mudeng.
Tetapi tiba-tiba Narti jadi terpesona mendengar penjelasan Pak Mijan. Ia seakan berada di sebuah rumah sakit internasional khusus penyakit lupa ingatan. Ia merasa sedang berhadapan dengan seorang profesor yang ahli urusan perpikunan dan spesialis memperbaiki otak soak yang tidak bisa dianggap remeh. Ia mulai yakin bahwa pengobatan ini bukan kaleng-kaleng atau ecek-ecek belaka.
Narti benar-benar terprovokasi dengan penjelasan yang dilengkapi dengan pengetahuan dan wawasan yang luas sang terapis. Ia juga sama sekali tidak menyangka jika penyakit suaminya jadi parah begini. Sungguh di luar dugaan.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Harus diobati secara tuntas," gumam Narti dalam hati.
"Jadi saya harus bagaimana, Pak? Tolong bantu suami saya agar segera sembuh," pinta Narti memelas.
Harapan ingatan suaminya akan pulih seperti sediakala sudah di depan mata. Kalau ingatan Bambang sudah normal, ia tidak perlu repot lagi mengejar suaminya keluar rumah karena sering tidak mengenakan kancut setelah mandi. Karena gara-gara itulah, martabat dan kehormatan keluarga Bambang runtuh di mata tetangga akibat lupa.
Pak Mijan pun mulai melakukan terapi untuk mengembalikan daya ingat pasiennya. Setelah diberi ramuan khusus, kedua dengkul Bambang kemudian diperban.
Mulanya akal sehat Narti menolak melihat dengkul suaminya dibebat kain kasa, seperti orang kecelakaan. Dalam pemikirannya, kalau sakit telinga, pasti telinga yang diobati. Kalau sakit mata, ya matanya yang diobati. Tetapi kali ini sungguh aneh. Bambang adalah pengecualian. Ia keluar dari pakem pengobatan lintas zaman.
Bambang adalah sebuah paradoksal dalam dunia pengobatan medis dan nonmedis. Ia adalah perpaduan antara pengobatan ilmiah dan nonilmiah. Dan ia juga adalah sebuah fenomena baru dalam dunia pengobatan lintas generasi, karena pengobatan alternatif sudah ada sejak zaman nenek moyang, yang biasa disebut pengobatan tradisional. Memang ini sebuah anomali dalam dunia kesehatan. Namun faktanya, banyak yang sembuh berkat sentuhan tangan Pak Mijan.
Mungkin selama ini tidak pernah ditemukan dalam teori pengobatan yang sangat ganjil seperti ini. Bambang mungkin bukan sekadar kelinci percobaan atau semacam eksperimen dalam dunia pengobatan versi Pak Mijan, tetapi juga sekaligus sebagai yurisprudensi dalam dunia medis dan nonmedis. Karena itu, pembuktian atas tindakan dan pengamatan yang dilakukan untuk mengecek atau menyalahkan hipotesis dan mengenali hubungan sebab akibat antara gejala, adalah sebuah keharusan.
Dengan sikap ramah dan pelayanan yang sangat istimewa, Pak Mijan akhirnya selesai mengobati pasiennya dan menyerahkan Bambang kepada istrinya.
Bambang semringah, Narti pun bungah melihat keberhasilan Pak Mijan. Bambang benar-benar tampak bahagia, merasakan kondisi tubuhnya yang sudah mulai pulih. Ia pun siap menyongsong hari-hari ceria tanpa lupa. Untuk selanjutnya, Bambang menjalani proses rawat jalan.
Sejak saat itu, Bambang sangat hati-hati kalau berjalan. Setiap akan melangkah, ia selalu mengelus-elus dengkulnya. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan kepalanya. Rambutnya pun dibiarkan berantakan, yang penting dengkulnya rapi. Meski berkali-kali terbentur pintu, dianggapnya seperti menyundul bola. Baginya menjaga dengkul lebih penting ketimbang menjaga kepala. Pokoknya dengkul mendapat posisi teristimewa dalam hidupnya. Ia merawat dengkulnya melebihi segala-galanya.
Untuk menjaga stabilitas dan harmonisasi kedua dengkulnya, setiap melangkah ia agak sedikit ngangkang, seperti orang sunat. Tujuannya, menjaga posisi dengkul agar nampak serasi dan tidak berbenturan satu dengan lainnya. Dia sungguh khawatir, jika dengkulnya terbentur, akan terjadi gegar otak. Meski ia tahu bahwa otaknya ada di kepala, tetapi pada hakekatnya sudah beralih ke dengkul. Karena itu ia menganggap otak kanan ada di dengkul kiri dan otak kiri ada di dengkul kanan.
Guna menghibur hati yang sedang dilanda gundah-gulana, Bambang menganggap bahwa yang ia alami adalah sebuah takdir yang harus dijalani dengan ikhlas. Karena menurut keyakinannya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. "Ibukota negara saja bisa pindah, kenapa otak tidak?" begitu kira-kira jalan pikirannya. "Bisa jadi yang memindahkan ibukota negara, otaknya juga ada di dengkul."
Tiga minggu setelah rawat jalan, Bambang mulai tampak ada perubahan. Ia mulai ingat apa yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Ia juga tak lupa dengan pekerjaan kantornya saat menyusun perubahan undang-undang anti korupsi, dan sejumlah undang-undang kontroversi lainnya.
Ia juga tidak lupa bagaimana uang rakyat di asuransi digangsir perampok berdasi, yang merugikan negara hingga mencapai triliun rupiah. Dengkul Bambang juga menolak lupa dengan kasus pejabat polisi yang terlibat usaha jual beli narkoba.
Ia juga mulai ingat dengan proses tawar-menawar harga pasal dalam penyusunan undang-undang tenaga kerja dengan sejumlah perusahaan swasta. Bahkan ia juga tidak lupa dengan rencana pemerintah mendatangkan tenaga kerja asing dari China. Semua tercatat dalam memori baru, yang kini mulai tersimpan di dengkulnya.
Meski dengan jalan sambil mengangkang, Bambang tetap ceria dengan ingatan barunya. Perban yang berisi ramuan di dengkulnya, ia buat serapi mungkin agar tampak lebih tampan.
Lama-lama dorongan hatinya untuk pergi kerja tidak terbendung. Ia ingin menemui kolega di kantornya sambil pamer memori baru yang dipasang di kedua belah dengkulnya.
"Jangan ngantor dulu mas, nanti dengkulnya kebentur meja atau benda lainnya, malah tambah urusan," cegah istrinya.
Tapi keinginan Bambang tidak bisa dicegah. Ia tetap ngotot mau ngantor. Sampai di ruang lobby, Bambang disambut rekan-rekan kerjanya. Tetapi ia sangat terkejut melihat mereka yang jalannya juga mengangkang. Rekan kerjanya juga tidak kalah terkejutnya melihat kedua dengkul Bambang diperban.
Mereka pun cekikikan dan tertawa lepas sambil jalan ngangkang rame-rame menuju ruang kerja. Mereka mulai menikmati penampilan baru dengan dengkul yang unik.
Kreatifitas dan inovasi pun bermunculan untuk memperindah dengkul mereka dengan berbagai accessories. Ada yang memasangkan topi, sorban, dan lain-lain dengan corak warna-warni pada kedua dengkul mereka.
Ada juga yang mengikat dengkulnya dengan pita, agar ibu-ibu pejabat itu nampak lebih anggun dan cantik. Sementara kepala mereka dibiarkan tidak terurus. Beberapa di antaranya bahkan bersarang balagendir bercampur kelemur di rambutnya. Mereka berjalan berbaris, beriringan seperti bebek turun ke sawah. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H