Mulanya akal sehat Narti menolak melihat dengkul suaminya dibebat kain kasa, seperti orang kecelakaan. Dalam pemikirannya, kalau sakit telinga, pasti telinga yang diobati. Kalau sakit mata, ya matanya yang diobati. Tetapi kali ini sungguh aneh. Bambang adalah pengecualian. Ia keluar dari pakem pengobatan lintas zaman.
Bambang adalah sebuah paradoksal dalam dunia pengobatan medis dan nonmedis. Ia adalah perpaduan antara pengobatan ilmiah dan nonilmiah. Dan ia juga adalah sebuah fenomena baru dalam dunia pengobatan lintas generasi, karena pengobatan alternatif sudah ada sejak zaman nenek moyang, yang biasa disebut pengobatan tradisional. Memang ini sebuah anomali dalam dunia kesehatan. Namun faktanya, banyak yang sembuh berkat sentuhan tangan Pak Mijan.
Mungkin selama ini tidak pernah ditemukan dalam teori pengobatan yang sangat ganjil seperti ini. Bambang mungkin bukan sekadar kelinci percobaan atau semacam eksperimen dalam dunia pengobatan versi Pak Mijan, tetapi juga sekaligus sebagai yurisprudensi dalam dunia medis dan nonmedis. Karena itu, pembuktian atas tindakan dan pengamatan yang dilakukan untuk mengecek atau menyalahkan hipotesis dan mengenali hubungan sebab akibat antara gejala, adalah sebuah keharusan.
Dengan sikap ramah dan pelayanan yang sangat istimewa, Pak Mijan akhirnya selesai mengobati pasiennya dan menyerahkan Bambang kepada istrinya.
Bambang semringah, Narti pun bungah melihat keberhasilan Pak Mijan. Bambang benar-benar tampak bahagia, merasakan kondisi tubuhnya yang sudah mulai pulih. Ia pun siap menyongsong hari-hari ceria tanpa lupa. Untuk selanjutnya, Bambang menjalani proses rawat jalan.
Sejak saat itu, Bambang sangat hati-hati kalau berjalan. Setiap akan melangkah, ia selalu mengelus-elus dengkulnya. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan kepalanya. Rambutnya pun dibiarkan berantakan, yang penting dengkulnya rapi. Meski berkali-kali terbentur pintu, dianggapnya seperti menyundul bola. Baginya menjaga dengkul lebih penting ketimbang menjaga kepala. Pokoknya dengkul mendapat posisi teristimewa dalam hidupnya. Ia merawat dengkulnya melebihi segala-galanya.
Untuk menjaga stabilitas dan harmonisasi kedua dengkulnya, setiap melangkah ia agak sedikit ngangkang, seperti orang sunat. Tujuannya, menjaga posisi dengkul agar nampak serasi dan tidak berbenturan satu dengan lainnya. Dia sungguh khawatir, jika dengkulnya terbentur, akan terjadi gegar otak. Meski ia tahu bahwa otaknya ada di kepala, tetapi pada hakekatnya sudah beralih ke dengkul. Karena itu ia menganggap otak kanan ada di dengkul kiri dan otak kiri ada di dengkul kanan.
Guna menghibur hati yang sedang dilanda gundah-gulana, Bambang menganggap bahwa yang ia alami adalah sebuah takdir yang harus dijalani dengan ikhlas. Karena menurut keyakinannya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. "Ibukota negara saja bisa pindah, kenapa otak tidak?" begitu kira-kira jalan pikirannya. "Bisa jadi yang memindahkan ibukota negara, otaknya juga ada di dengkul."
Tiga minggu setelah rawat jalan, Bambang mulai tampak ada perubahan. Ia mulai ingat apa yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Ia juga tak lupa dengan pekerjaan kantornya saat menyusun perubahan undang-undang anti korupsi, dan sejumlah undang-undang kontroversi lainnya.
Ia juga tidak lupa bagaimana uang rakyat di asuransi digangsir perampok berdasi, yang merugikan negara hingga mencapai triliun rupiah. Dengkul Bambang juga menolak lupa dengan kasus pejabat polisi yang terlibat usaha jual beli narkoba.
Ia juga mulai ingat dengan proses tawar-menawar harga pasal dalam penyusunan undang-undang tenaga kerja dengan sejumlah perusahaan swasta. Bahkan ia juga tidak lupa dengan rencana pemerintah mendatangkan tenaga kerja asing dari China. Semua tercatat dalam memori baru, yang kini mulai tersimpan di dengkulnya.