"Pak Mijan," ujar Narti dengan haru.
"Tolong obati suami saya."
Orang setengah tua itu rupanya sangat arif dan bijaksana. Ia mengerti keinginan dan harapan pasiennya. Ia juga mengetahui pasangan suami istri ini, sudah kesana kemari mencari kesembuhan penyakitnya hingga akhirnya ada di depan hidungnya.
Setelah mendengar keluhan pasiennya, ia pun memeriksa seluruh tubuh Bambang dengan teliti. Ia menggunakan alat khusus untuk mendeteksi sejauhmana tingkat kerusakan otak Bambang.
Hampir semua organ tubuh Bambang, baik luar maupun dalam, diperiksa. Biji mata sampai kelopaknya juga diselidiki. Ia merefleksi seluruh tubuh Bambang sambil mencari urat saraf yang menuju ke otaknya.
Sejak awal memeriksa tubuh Bambang, mulut Pak Mijan tak henti-hentinya komat-kamit. Terkadang seperti membaca doa, tetapi ada bahasa-bahasa aneh yang tidak dimengerti, seperti mantra. Narti bahkan acap mengernyitkan dahinya melihat keanehan Pak Mijan, tetapi itu tidak begitu dipermasalahkannya. Baginya, kesembuhan suaminya adalah segala-galanya. Pak Mijan begitu teliti dan nampak berupaya keras untuk kesembuhan pasiennya.
Tetapi tiba-tiba Pak Mijan terkesiap ketika tangannya menyentuh dengkul kanan pasiennya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Kemudian ia memeriksa dengkul yang kiri. Ia pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, agak pelan. Terakhir ia meraba jidat pasiennya, Pak Mijan mengulangi menggeleng-gelengkan kepalanya. Jadi selama Bambang diperiksa, Pak Mijan sudah tiga kali menggelengkan kepalanya.
"Mungkin ini pertanda penyakit Mas Bambang sangat parah," pikir Narti yang tekun mengikuti pemeriksaan suaminya.
"Apa suami ibu pernah jatuh?" tanya Pak Mijan, usai memeriksa pasiennya sambil menghela nafas panjang.
"Setahu saya nggak pernah Pak."
"Tapi saya lihat, di dengkulnya ada kelainan," sahutnya.