“Kinan, kamu udah sadar?” tanya Jaka.
“Aku kenapa, Jak?” tanyaku dengan suara yang masih lemah.
“Kamu gak inget? Kamu gak sadarkan diri dari kemarin. Pas bertugas kamu kena ledakan bom, ni badan kamu pada memar semua ada pendarahan kepala juga kata dokter. Kamu kok bisa gini sih, Kinan?” Jaka mulai meneteskan air mata. Perasaan pria itu memang lembut.
“Kamu kenapa pake acara nangis gitu? Aku masih hidup Jaka,” ucapku kesal.
“Iya masih hidup tapi luka kayak gini,” ucapnya sesenggukan. Aku menjitak kepalanya lembut. Aku hendak mengubah posisiku menjadi duduk. Tapi kepalaku terasa begitu perih sehingga aku tak sanggup bangun. Badanku pun terasa nyeri.
“Jangan banyak gerak dulu, kata dokter kamu gak boleh bangun dulu. Dan kali ini kamu harus nurut!” Jaka mengomeliku.
...
Sementara itu di kediaman orangtuaku, bapak sedang menonton berita sembari menyeruput kopi buatan ibu. Ibu dengan setia mendampingi beliau sembari menjahit kemeja bapak. Sebuah berita membuat bapak menjatuhkan gelas yang sedang dipegangnya. Kopi tumpah di lantai dan gelas pun pecah. Ibu terkejut.
“Bapak kenapa?” tanya ibu sembari memungut pecahan gelas. Bapak tak menjawab, beliau menunjuk ke arah televisi dengan jari bergetar. Ibu menoleh ke televisi dan tak kalah terkejutnya beliau ketika melihat namaku tercantum sebagai salah satu korban ledakan bom tersebut. Ibu terduduk tak berdaya. Beliau hanya bisa menangis sembari menutup mulutnya, sementara bapak tak sanggup berkata apa-apa.
Ibu beranjak ke kamar mengganti pakaiannya.
“Pokoknya ibu harus jenguk Kinanti terserah bapak mengizinkan atau tidak,” ucap ibu hendak berlalu tapi bapak mencegahnya.