Apa yang akan kau lakukan jika dihadapkan pada keadaaan saat kau harus memilih: tetap mengejar mimpi dan cita-cita apapun halangan dan rintangannya, atau mengubur semua mimpimu karena tak ingin dicap sebagai anak durhaka?
Mungkin kisahku ini bisa membantumu menjawab pertanyaan itu.
...
Langit tak lagi biru, bagiku ia kelabu. Sang Pencipta memberikan pelajaran hidup yang berharga untukku. Pelajaran yang tak akan pernah kudapat di sekolah mana pun.
...
Namaku Kinanti, panggil saja Kinan. Aku putri bungsu dari empat bersaudara. Aku dilahirkan di keluarga ningrat, bapakku dokter bedah dan ibuku penari terkenal di kota ini. Kakak sulungku berprofesi sebagai tentara, sementara dua kakakku yang lainnya mengikuti jejak bapak sebagai dokter.
Sebagai satu-satunya anak perempuan, tentu aku diharapkan untuk dapat menjadi penerus ibu: sebagai penari. Oleh karena itu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, bapak memintaku untuk mengikuti les tari. Sebenarnya ibuku bisa saja mengajariku, toh beliau juga mempunyai sanggar tari sendiri.
Tapi bapak selalu mengatakan agar aku belajar di sanggar lain agar gurunya lebih objektif. Aku yang saat itu masih bocah pun menurut meski dengan terpaksa. Meski darah seni mengalir dari ibu, entah mengapa aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia tari. Bagiku, hadir di setiap jam les tari hanyalah demi memuaskan keinginan bapak yang ngotot anaknya menjadi penari.
Beranjak kelas tiga SD, aku mulai tertarik pada dunia bela diri. Malam ini, aku memberanikan diri berbicara kepada bapak perihal keinginanku untuk mengikuti les bela diri. Saat itu bapak tengah asyik membaca koran sembari menikmati segelas kopi yang ditemani oleh singkong goreng buatan ibu. Aku duduk perlahan di samping beliau.
“Pak, Kinan boleh ngomong sesuatu?” tanyaku ragu-ragu.
“Ngomong apa, Nak?” Bapak menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari koran. Sepertinya koran itu jauh lebih menarik dibandingkan dengan putri bungsunya itu.