“Iya tahu, tapi kan kita bakal jarang ketemu,” ujarnya masih dengan isak tangis.
“Ampun deh ni anak, pulang gi. Banjir ntar nih di sini,” ucapku memintanya pulang. Sesungguhnya aku pun sedih harus berpisah dengan sahabat kentalku itu. Tapi aku tak ingin menunjukkan rasa sedihku di hadapannya. Aku berusaha tegar meski pun pada kenyataannya aku lebih rapuh dari lapisan tipis air yang beku.
Pendidikan sebagai kowad tak semudah yang aku bayangkan. Kami kaum hawa mendapat perlakuan yang sama dengan kaum lelaki. Merayap, jungkir guling, jalan jongkok, naik turun gunung, halang rintang sampai menembak menjadi aktivitas kami sehari-hari. Latihan-latihan yang berat cukup menguras tenagaku maka tak heran sebulan setelah pendidikan berat badanku turun drastis. Kulitku pun kini tak lagi kuning langsat tapi kecokelatan. Selama menjalani pendidikan menjadi kowad aku belajar banyak hal, tentang kedisiplinan yang dulu sering kulanggar, tentang kesetiakawanan, dan tentang persahabatan. Di sini aku menemukan banyak sahabat baru, tak hanya dari kaum hawa tetapi juga kaum adam. Keahlianku dalam memainkan senjata api menjadi nilai tambah tersendiri bagiku. Aku kerap mendapatkan nilai tertinggi setiap kali latihan menembak. Banyak senior yang berdecak kagum melihatku.
“Gila tu cewek, keren banget. Kalah gue nembaknya,” ucap salah seorang senior sayup terdengar olehku.
Tahun berikutnya aku terpilih sebagai salah satu relawan di daerah misi perdamaian PBB di Kango, Afrika Tengah. Di sana aku diminta membantu tenaga medis. Luar biasa beratnya tugas itu. Namun, aku bangga bisa membawa nama negara ke sana. Meski keahlianku di bidang tembak menembak, saat menjadi relawan aku tak diperkenankan menggunakan keahlianku. Hanya kaum lelaki saja yang turun ke medan perang. Melihat para korban perang yang luka parah tak jarang membuatku meneteskan air mata. Betapa beruntungnya aku hidup di tanah air Indonesia yang sudah merdeka tak ada lagi perang seperti di sini. Dalam hati aku berharap semoga Indonesiaku tak lagi mengalami perang baik perang dengan penjajah dari luar mau pun penjajah bangsa sendiri.
Usai enam bulan menjadi relawan PBB, aku mulai ditugaskan di lapangan. Hari ini kotaku sedang mengadakan sebuah acara besar yang akan dihadiri oleh walikota dan rombongan. Ratusan aparat ditugaskan untuk menjaga keamanan. Isu yang berkembang belakangan ini tentang hadirnya teroris membuat kami, aparat keamanan, harus berjaga ekstra ketat. Apalagi diperhelatan besar seperti ini.
Masyarakat ramai terlihat di seputar halaman balai kota. Pengamanan cukup ketat dilakukan oleh gabungan brimob, polisi, dan pasukan khusus. Aku bergabung dalam pasukan khusus karena keahlianku menembak. Tak hanya masyarakat, para wartawan pun ramai berkumpul untuk meliput acara ini secara langsung. Suasana menjadi riuh ketika walikota datang dan mulai memberikan sambutan. Beberapa tampak bertepuk tangan, ada yang sibuk memotret, ada pula yang terpana dengan sosok walikota yang memang tampan luar biasa itu. Walikota tengah memberikan sambutan ketika tiba-tiba sebuah bom dengan kekuatan rendah meledak di sebuah tong sampah. Untungnya jaraknya cukup jauh dari lokasi. Namun, tak mengurangi kepanikan warga. Warga mulai berteriak dan berlarian. Meski pun tak ada yang terluka, pasukan khusus segera mengamankan walikota dan meminta warga untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara warga yang terlanjur panik berlarian tak karuan.
Lima menit kemudian, aku dan beberapa rekan berhasil menenangkan warga dan meminta mereka menjauh dengan tenang. Namun, aku merasakan firasat buruk. Entah apa itu, aku segera menepisnya dan mengembalikan konsentrasiku. Tak lama kemudian sebuah bom kembali meledak di dekat panggung. Kekuatannya jauh lebih besar dari yang pertama. Dan sialnya aku dan beberapa rekanku sedang berada di dekat lokasi. Kami terpental dan kurasakan darah segar mengalir dari pelipisku. Pandanganku mulai buram. Samar-samar kulihat di jarak 50 meter dariku ada seorang bocah perempuan yang menangis. Aku rasa dia terpisah dari ibunya. Dengan tertatih aku menghampiri bocah itu, tak kuhiraukan perihnya luka di kepalaku. Aku segera menggendong bocah itu dan membawanya menjauh dari lokasi kejadian. Beberapa rekan segera menghampiriku. Pandanganku berubah menjadi gelap dan aku pun tak sadarkan diri.
...
Aku membuka mataku perlahan. Kurasakan seluruh tubuhku nyeri begitu pun kepalaku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan: infus, perawat yang memeriksaku menandakan bahwa aku sedang di rumah sakit. Jaka tertidur di pinggir ranjang.
“Jaka,” panggilku. Jaka langsung terbangun.