“Kinan juga mau jadi kayak gini Mas,” kataku mantap. Entah apa aku yang bahkan sampai beberapa saat yang lalu tidak tahu mau jadi apa jika dewasa malah memantapkan niat untuk berkecimpung di dunia militer. Mas Bagas tertawa, mungkin dia berpikir bahwa ini hanyalah euforia sesaat karena ketertarikanku pada olah raga tembak.
Hari berganti, tahun berlalu. Aku kini duduk di bangku SMA, masih juga bersama dengan Jaka. Sejak TK kami selalu satu sekolah, entah kebetulan atau memang dia yang selalu mengikutiku. Kebetulan kami selalu ditempatkan di kelas yang sama. Di mana ada Kinanti di situ ada Jaka. Bagai kembar dempet, bagai amplop dan perangko, begitu teman-teman menjuluki kami.
Aku masih tetap mengikuti les tari meski tak pernah sekali pun ada prestasi yang kuukir di bidang itu. Mungkin aku adalah siswa dengan kemampuan yang paling rendah di kelas seni tari. Pernah suatu kali ibu mengomeliku karena kemampuan menariku yang tak kunjung berkembang.
“Masak kamu gak pernah terpilih ikut kompetisi sih? Pelatihmu juga bilang kemampuan kamu di bawah rata-rata. Kamu latihan yang bener gak sih Kinan?” Ibu mengomeliku.
“Bener kok, Bu,” jawabku pelan sembari tertunduk. Aku tak berbohong. Meski aku tak mencintai seni tari, tapi setiap latihan aku ikuti dengan serius. Sepertinya memang bakatku bukanlah di bidang itu.
“Masak piala kamu dari karate terus, kan ibu malu diomongin. Anak penari sukses kok kemampuan menarinya lebih buruk dari yang lain,” ucap ibu. Aku hanya terdiam. Memang benar bahwa piala yang aku dapatkan semuanya dari olah raga bela diri. Berbeda dengan ibu yang sejak SD sudah mempersembahkan puluhan piala dari menari. Sampai kini pun beliau masih aktif menghasilkan piala dari menari. Lihat saja, isi lemari di ruang tamu dipenuhi dengan piala hasil prestasi menari ibu. Tapi aku tak bisa disamakan dengan ibu. Toh, setiap orang memiliki bakat yang berbeda-beda. Mungkin memang bakatku bukanlah di bidang seni tari. Mau bagaimana lagi? Dipaksakan pun takkan mengubah kenyataan bahwa aku tak mencintai seni tari. Bukankah cinta memang tak bisa dipaksakan?
Suatu pagi, Mas Bagas datang ke rumah. Dia bilang dua hari lagi dia akan ditugaskan ke Poso, daerah rawan konflik. Selama dua hari, Mas Bagas menemaniku latihan tembak.
“Mas, Poso bukannya daerah rawan konflik ya? Mas Bagas gak takut ditugaskan ke sana?” tanyaku di sela waktu istirahat.
“Mas ke sana kan buat melindungi warga sipil Dek, jadi Mas gak perlu takut. Tugas abdi negara kan memang begitu. Kalau bukan abdi negara yang melindungi mereka, siapa lagi? Lagi pula, umur kita itu di tangan Yang Maha Kuasa, Dek. Kalau pun Mas harus kehilangan nyawa di sana, Mas Bagas tetap bangga karena Mas meninggal dalam keadaan membela negara. Layaknya pahlawan yang melawan penjajah zaman dulu, penjajah tetaplah harus dilawan. Sekali pun penjajah tersebut adalah bangsa kita sendiri,” ucapnya dengan tersenyum. Tampak dalam senyumnya kebanggaannya menjadi tentara yang melindungi tanah air. Aku semakin kagum dengan Mas Bagas dan dunia militer. Aku sudah membulatkan tekad untuk memilih dunia militer kelak, entah menjadi kowad, polwan, atau pun brimob.
Aku membidik sasaran di depanku dan menembaknya. Nilaiku hampir sempurna.
“Wah, kemampuan kamu makin bagus aja, Dek. Yoga bilang sejak pertama masuk kamu udah gampang banget diajarin nembak. Fokusmu itu yang luar biasa katanya,” ucap Mas Bagas. Yoga adalah pelatihku sekaligus teman baik Mas Bagas. Aku sendiri heran dengan kemampuan menembakku yang kian hari kian meningkat. Aku bahkan bisa mengangkat senjata yang berat itu dengan enteng.