Teringat lagi pernikahannya yang ia porak-porandakan. Ia menolak dengan keras menikah dengan lelaki soleh pilihan orang tuanya. Bahkan nekat kabur setelah mencoba gaun pengantin kiriman dari calon mertua. Gaun pengantin yang bakal ia pakai tiga bulan lagi.
"Ibu bermaksud menjualku? Ibu penipu!" Teriakannya malam itu bergema kembali. Menghantam nyalinya.Â
"Bukan begitu, Nduk. Ayahmu bangkrut dan dia tak tega melihatmu kecewa. Lalu putus kuliah. Kami ingin kamu mewujudkan mimpimu menjadi dokter. Sahabat kami, Pak Alim berbaik hati menawarkan bantuan. Soal perjodohan itu tidak ada sangkut pautnya dengan biaya yang ia keluarkan untukmu. Kami memang sudah lama ingin besanan." Sang ibu menangis tersedu-sedu.Â
"Bu, aku sudah punya pacar. Kami sudah berencana menikah. Apa ibu nggak peduli dengan perasaanku. Kami saling mencintai, Bu."
Percakapan itu berkelindan dalam benak sang gadis. Perlahan ia menyusut air mata yang menetes dari sudut netra. Saat ini terdampar di panti asuhan dan berkenalan dengan para malaikat kecil di sana sedikit menghibur kesedihannya.
 Ia bahkan ikut membantu menyiapkan sarapan dan bermain bersama anak-anak polos nan lucu itu.Â
"Kakak tinggal dimana?" Tanya anak bernama Ridlo.Â
"Rumah kakak di Ungaran sana, Sayang." Si gadis mencubit hidung Ridlo. Gemas.Â
"Oooh."Â
"Kakak lebih cantik pakai jilbab," celetuk Ridlo sambil cengar-cengir.Â
Memerahlah kedua pipi si gadis. Anak-anak polos itu begitu menggemaskan. Membuat si gadis terhibur dan dengan senang hati menemani mereka bermain di taman selepas sarapan. Dengan cepat ia terhipnotis dengan kesederhanaan dan keriangan di sana.Â