Sore itu langit Pengapon tampak kelabu. Awan bergulung-gulung di atas sana. Menciptakan suasana kelam dan suram. Sesuram wajah gadis yang berjalan di atas kerikil tajam.Â
Gadis itu tampak lesu, bibirnya pucat, matanya sembab dan sedikit bengkak. Menandakan ia banyak menangis. Mungkin seharian tanpa jeda, atau malah sudah lama ia menanggung kepedihan. Sendirian. Menurutnya.
"Sialan! Selama ini aku ditipu. Dijadikan tumbal demi lunasnya hutang. Klise! Selamanya aku nggak sudi menikah dengan lelaki itu," rutuk gadis yang kini berjalan menuju rel. Ya, melihat dan bertemu sekedar ta'aruf saja tak sudi apalagi menikah. Hatinya sudah tertambat pada pangeran lain.
 Sebenarnya ia terlalu cepat menyimpulkan semuanya, sampai-sampai ia tak tahu ada dua orang bernama ibu dan ayah yang jauh lebih terpuruk. Janji atas pelaminan untuk putra sahabat tinggal selangkah lagi. Namun apa yang terjadi? Putrinya malah kabur, tak becus membalas budi.Â
"Ya ya kamu hebat, Ibu, Ayah. Sukses membiayai anakmu hingga jadi dokter. Lalu menyuruhnya membayar hutang. Hahaha."Â
Ia tertawa sumbang.Â
Gadis itu terus berjalan tanpa arah. Lurus saja menuju rel besi memanjang di depannya. Tepat ketika suara bising dari arah depan begitu memekakkan telinga. Keputusasaan telah merenggut jiwa. Tatapannya kosong dan hampa, tapi penuh sandiwara.Â
"Mari kita lihat siapa yang akan menang," geramnya dengan wajah merah padam. Ada bara api pada kedua matanya.Â
Ia biarkan angin mempermainkan rambut panjangnya serta gaun putih yang membalut tubuh rampingnya. Kedua tangan sepucat mayat itu menggenggam erat.Â
Kedua kakinya kini menjejak rel. Seolah hendak menantang makhluk besi terpanjang yang sedang berlari kencang. Dua ribu langkah darinya. Meski begitu dalam hitungan menit siap menghantam.Â
Gadis berbalut gaun pengantin itu tak tahu ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasinya--di balik jendela kaca di sebuah bangungan bertingkat tak jauh dari rel.