"Ah ya, bukankah kamu kemarin memakai baju pengantin saat akan bunuh diri? Apakah kamu kabur dari pelaminan? Apakah se-mengerikan itu sebuah pernikahan?" Tanya Faris penasaran.Â
Si gadis menggeleng. "Pernikahanku masih lama."Â
"Lalu kenapa kau sepanik itu jika masih lama? Kau ada banyak waktu untuk menolak dan menjelaskan semuanya." Faris mencoba memberi solusi.Â
"Tidak sesederhana itu. Aku merasa ditipu. Kuliah di kedokteran hasil hutang orang tuaku pada sahabatnya. Lalu aku disuruh membayar hutang itu dengan menikahi putra mereka." Sang gadis mengusap air matanya cepat.Â
Faris mengernyit, tapi tetap mencoba setenang mungkin. Ia tersenyum lagi. Drama klise seperti ini sering ia temui. Tapi mengalami sendiri tak pernah terpikir sama sekali.Â
Sejenak keheningan menyelimuti keduanya.Â
"Bukankah memang itu yang harus kamu lakukan? Bukankah setiap anak wajib berbakti pada kedua orang tuanya? Bukankah kamu muslim? Dalam islam diharamkan pacaran. Pernikahan itu justru anugerah untukmu. Memutus rantai pacaran dan jembatan untukmu berbakti pada kedua orang tuamu. Harusnya kamu bersyukur mempunyai mertua baik hati yang membiayaimu sampai lulus. Bukan malah menambah dosa dengan bunuh diri, Bu Dokter."Â
Sang gadis tersentak. Tanpa sengaja ia menatap lekat lelaki berkacamata di depannya. Lelaki ini. Tidak hanya bijaksana, alim, religius, tapi juga... tampan. Ah, kenapa pula lelaki ini dalam sekejap menjadikan ia tambah dilema. Dilema sekaligus malu. Malu sekali.Â
"Ayo kuantar pulang. Kalau kamu mau aku mengantarmu pada pacarmu. Maaf aku tidak bisa. Aku tidak mendukung kawin lari, kawin muter-muter atau apalah itu. Cepat putuskan! Kamu mau pulang memenuhi permintaan orang tuamu apa tinggal disini ikut merawat anak panti!" ucap Faris tegas.Â
"Aku disini saja."Â
Faris menghela napas. Tak habis pikir dengan gadis keras kepala di depannya. Tapi ia tetap ingin tertawa dengan drama ini.Â