"Ibuu, aku takuuutt...!"
"Ssshh... tidak apa-apa, Nak."
"Aku mau keluar, Buu...!"
"Bulan sangat dekat, Anakku. Dan ia sedang merah. Jadi, tetaplah di dalam sana."
"Tapi kenapa, Bu? Kenapaa?"
 Dan aku tak ingat apa jawaban ibu selanjutnya, karena aku selalu merasa amat sangat marah pada ibu saat hal itu terjadi.Â
Aku tak tahu mengapa setiap kali bulan sedang purnama, terlebih saat ia membesar dan berwarna merah, ibu selalu tampak ketakutan dan menyuruhku bersembunyi di dalam kamar, mematikan lampu, menutup semua tirai jendela, lalu mengunci pintunya. Disaat semua teman-teman sebayaku di desa asyik bermain di luar bermandikan cahaya bulan, aku justru harus terkurung sendiri di dalam kamar. Â
Aku hanya bisa berteriak, menjerit dan memukul-mukul apa saja yang ada di sekelilingku. Meluapkan emosi sejadi-jadinya sampai tak sadarkan diri. Dan saat pagi menjelang, barulah aku tersadar dan diperbolehkan untuk keluar dari kamar.
Setelah aku dewasa lalu pindah ke kota dan banyak membaca, baik itu untuk keperluan mencari bahan tulisan atau sekadar memenuhi keingintahuanku tentang berbagai hal, aku tahu bahwa blood moon atau supermoon adalah fenomena alam yang siklusnya hanya terjadi beberapa tahun sekali dimana posisi bulan berada pada titik terdekatnya dengan bumi.Â
Warna merah yang terlihat pada permukaannya adalah akibat atmosfer bumi yang hanya dapat menyerap gelombang warna biru dari pantulan cahaya matahari, lalu sisa warna cahaya yang lolos akan dibiaskan dan dipantulkan ke permukaan bulan. Maka menjadikan permukaan bulan berwarna jingga terang atau kemerahan.
 Dan sama halnya dengan teori bahwa bulan dapat mempengaruhi pasang surutnya air laut, begitu  juga dengan tubuh manusia yang sekitar tujuh puluh persennya terdiri dari cairan. Fenomena blood moon memang sangat berpengaruh terhadap emosi dan perilaku manusia, dan juga mungkin makhluk hidup lainnya, meskipun banyak yang tak menyadarinya.Â
Hal ini dapat dibuktikan dari data-data yang dikumpulkan di seluruh dunia selama bertahun-tahun yang menunjukkan bahwa angka perkelahian, tindak kekerasan, bahkan pembunuhan dan bunuh diri, meningkat tajam saat periode blood moon.
Tetapi selain itu, bedasarkan penelitian lebih lanjut, ternyata blood moon tidak hanya berpengaruh pada emosi-emosi negatif seperti marah, sedih atau putus asa saja, tetapi juga emosi-emosi positif.
Banyak kesaksian yang menyatakan bahwa pada saat terjadi blood moon mereka merasa bahagia, gembira, serta lebih dapat berpikir positif yang kemudian efeknya akan membuat tingkat keberhasilan dalam melakukan pekerjaan dan kesuksesan dalam mencapai sebuah tujuan menjadi lebih mudah.
Ternyata ibuku salah.
Pengaruh sinar bulan terhadap makhluk hidup itu bisa beragam, tergantung dari suasana hati dan pikiran masing-masing pada saat itu. Asalkan kita bisa menjaga emosi dan menyalurkannya kepada hal-hal positif, semua akan baik-baik saja.Â
Sayangnya aku tak dapat menyampaikan hal ini pada ibu karena beliau telah meninggal dunia saat aku kecil. Kepergian ibu yang begitu tiba-tiba dengan cara yang mengerikan membuatku memutuskan untuk segera pergi meninggalkan desa.
 Kugeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan bayangan masa kecil yang tak mengenakkan. Kembali kutatap layar laptop di hadapanku yang menunjukkan halaman ke seratus enam puluh delapan dari novel bergenre thriller yang belum selesai kutulis karena kehabisan ide sejak beberapa tahun lalu.Â
Ceritanya terhenti pada saat sang pembunuh berantai sedang mencari mangsanya yang ketujuh; korban terakhir  dalam rangkaian pembunuhan yang dilakukannya.
 Dan malam ini blood moon kembali datang, setelah periode terakhirnya yang sempat kunikmati beberapa tahun lalu. Aku sangat menggantungkan harapan pada energi dari blood moon untuk membantu membuka pikiranku agar bisa menyelesaikan novel ini.
Kusiapkan laptop kesayanganku, kemudian berjalan kaki menuju sebuah taman yang berlokasi tak jauh dari rumah. Aku merasa cocok tinggal di daerah ini; sebuah komplek perumahan asri yang baru saja kutinggali beberapa tahun, setelah sebelumnya berkali-kali merasa tidak nyaman dengan tempat tinggal lama dan selalu berpindah-pindah.
Taman terlihat ramai, karena banyak orang yang pergi keluar rumah untuk menikmati keindahan blood moon. Aku beruntung menemukan sebuah bangku kayu yang masih kosong dengan sebuah meja kecil. Posisinyapun sangat strategis, tanpa terhalang pohon atau apapun di depannya, sehingga aku dapat memandang langit dengan bebas saat menengadah.Â
Kunyalakan laptop dan mulai berkonsentrasi mengetik.Â
Cahaya kemerahan blood moon di atas sana terasa hangat. Aku dapat merasakan datangnya ribuan bahkan jutaan partikel-partikel kecil tak terlihat yang menyelimuti dan meresap masuk melalui pori-pori halus di permukaan kulitku. Ide-ide cemerlang membanjiri sel-sel kelabu di dalam tempurung kepalaku.Â
Seluruh rangkaian cerita, semua huruf-huruf yang terangkai dalam kalimat-kalimat panjang itu, seolah melayang keluar dari layar dan menyatu dengan seluruh bagian tubuhku yang terasa begitu aktif dan sangat kuat. Menciptakan potongan-potongan gambar yang merunutkan adegan demi adegan dalam bentuk nyata di depan mataku.
 Setelah sekian lama larut dalam cerita yang kubuat, aku tersadar bahwa bahwa taman telah mulai sepi. Aku menggeliat meregangkan otot-otot tubuh yang sedikit kaku. Sebentar lagi ceritaku akan selesai. Hanya tinggal menambahkan sedikit sentuhan pada bagian ending saat akhirnya terungkap siapakah sosok pembunuh berantai itu. Dan bagian itu bisa kubereskan nanti di rumah. Â
Saat hendak mematikan laptop, terdengar suara jeritan.Â
Aku mencari-cari asal suara itu.Â
Terlihat kerumunan orang-orang di sebuah sudut tak jauh dari tempatku duduk.Â
Aku bergegas berlari menghampiri.
 "Telepon polisi! Cepat!"
 "Siapa yang menemukan pertama kali?"
 "Hei, jangan disentuh! Biarkan saja begitu sampai polisi datang!"
 "Astaga, kasihan..."
"Ya ampun, sepertinya aku kenal dia, deh..."
 Orang-orang berdiri berdesakan menutupi pandangan. Aku  berusaha menyelipkan tubuhku di sela-sela mereka.
 Di hadapanku, di balik semak rendah taman yang tertata rapi, tergolek kaku sesosok tubuh perempuan; memakai kemeja putih dan blazer hitam, dengan rok pendek hitam selutut.Â
Aku merasa napasku tertahan di tenggorokan.Â
Mayat perempuan muda itu tampak mulai membiru, dengan kedua bola mata membelalak dan garis kemerahan melingkar di lehernya. Di saku kemeja putihnya, tersembul secarik kertas dengan coretan berwarna merah di atasnya. Sebuah angka.
Dengan kaki gemetar aku segera berlari kembali ke bangku taman tempatku meninggalkan barang-barangku tadi.
 Aku duduk dengan napas terengah; terpaku menatap layar laptop yang belum sempat kumatikan dan membaca kembali tulisanku.
 Ia mengendap tanpa suara; keahlian yang tanpa sengaja menjadi terlatih sejak kecil setiap kali ia berusaha meloloskan diri melalui jendela saat dikurung di dalam kamar, tak mengindahkan perintah ibunya untuk tidak keluar rumah pada malam-malam tertentu.
Seorang perempuan muda dengan kemeja putih dan blazer hitam serta rok pendek hitam melintas di depannya, tampak berjalan santai menuju taman.
 Ia melangkah mengikuti.Â
 Sebuah deretan semak rendah yang tertata rapi dan terhalang pepohonan besar di depan memberinya sebuah celah kecil.  Dan ia bergerak cepat.Â
Menyusul dengan hanya beberapa lompatan langkah lebar, mengurai seutas tali yang sejak tadi terlilit pada pergelangan tangannya, kemudian secepat kilat menyergap perempuan muda itu dari belakang, melingkarkan tali di lehernya untuk mencegah  teriakan keluar dari tenggorokannya, dan membantingnya ke samping untuk menahan tubuhnya yang meronta-ronta kehabisan napas.
 Setelah perempuan itu tak bergerak lagi, ia membaringkannya di balik semak dan mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Lalu menyisipkannya pada saku kemeja perempuan itu. Kertas bertuliskan angka 7 dengan tinta merah.
Sang pembunuh telah menuntaskan misinya.Â
Aku terpaku.Â
dan kelanjutan kata-kata ibu yang selama ini terlupakan, kembali mengalir ke dalam memoriku.
 "Tapi kenapa, Buu? Kenapa harus seperti ini?"
"Cahaya bulan merah berbahaya bagimu, Anakku. Mengertilah."
"Tidak, Bu. Aku tidak mengerti! Aku tidak mengertiiii!"
"Dengar, Nak! Dengarkan Ibu. Kau memiliki kekuatan besar. Sangat besar. Kekuatan yang harus kau pelajari lebih dulu saat kau dewasa nanti supaya kau dapat mengendalikannya. Ibu akan membantu dan mendampingmu, Nak. Tetapi yang penting untuk saat ini, kau harus menghindari sinar bulan merah itu. Jangan...."
"Tidak! Aku tidak mau! Tidaaakk! Tidaakkkkk!!"
Ternyata ibuku benar.
Tidak seharusnya dulu aku selalu mengendap-endap keluar melalui jendela karena pintu kamar dikunci oleh ibu, dan membiarkan cahaya bulan merah itu berkali-kali meresap dalam tubuhku setiap kali ia datang.Â
Seharusnya aku tetap bersembunyi di dalam kamar; terkungkung di dalam kegelapan, agar potongan gambar-gambar yang tercipta dari kemarahanku itu tak mewujudkan diri ke alam nyata. Agar ibu dapat tetap hidup.
Sekarang aku ingat penyebab kematian ibu. Aku ingat mengapa novelku terhenti beberapa tahun lalu. Aku tahu kenapa aku selalu berpindah tempat tinggal setiap beberapa tahun sekali.Â
Aku meraba seutas tali yang terlilit pada pergelangan tanganku.
Dan aku tahu siapa pelaku pembunuhan perempuan di balik semak itu.
Â
Kekuatan blood moon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H