Tenang saja Sayang, Ayah pasti dengar kok suara hati kamu, dimanapun Ayah berada.
***
Jema mendesah lirih menatap dinding kamar yang bertempelkan deretan foto kenangan duabelas tahun kebersamaan yang dijalaninya bersama Ayah tercinta sebelum beliau meninggal.
“Je,” Ibu memanggil melalui celah pintu yang sedikit terbuka, “Ibu sudah selesai masak nih. Makan dulu yuk.”
“Iya Bu,” Je bangkit dari tempat tidur ibunya dan meraih sebuah radio kecil dari atas buffet ; radio kesayangan Ayah dulu, “Bu, radio ini masih nyala nggak ?”
“Mm … sepertinya sih masih. Ibu sudah lama sekali nggak mendengarkan radio itu. Selama ini hanya Ibu bersihkan saja. Coba aja kamu nyalakan tombol powernya.”
“Oh,” Jema mengutak-atik sisi samping radio itu, mencari tombol powernya.
“Ayuk, kita makan dulu. Kamu bawa saja nanti radio itu ke rumah baru. Kalau sudah nggak bisa dipakai, ya dipajang saja sebagai kenang-kenangan. Radio itu dulu hadiah dari orangtuanya Kakek yang dihadiahkan lagi untuk Ayah kamu lho, semasa sekolah dulu.”
“Wow, berarti radio antik nih Bu.”
“Iya. Makanya, kamu simpan baik-baik ya. O ya. Baju pengantin kamu sudah selesai ya ?”
“Iya, Bu. Kata penjahitnya besok bisa kita ambil. Baju seragam ibu dan keluarga besar juga sudah selesai.”