“Yakin Bu,” jawab Jema tegas. Ibu mendesah.
“Maafin Je ya, Bu. Sudah mengecewakan dan bikin malu Ibu.”
Ibu menggeleng dan membelai kepala Jema, “Ibu nggak kecewa kok. Nggak juga marah atau malu. Ibu cuma kasihan sama kamu karena harus mengalami hal seperti ini.”
“Nggak apa-apa Bu. Lebih baik Je membatalkan pernikahan ini sejak awal. Daripada Je harus hidup seterusnya bersama orang yang kurang bertanggung jawab dan egois seperti Mas Yudha.”
“Tapi … Ibu kira kamu benar-benar cinta sama Yudha ?”
“Ya memang Bu. Tadinya memang cinta. Tapi … semakin kesini, semakin terlihat kalau sebenarnya kami berdua nggak cocok. Sifat kurang baiknya semakin terlihat.”
“Ya sudah. Ibu sih bersyukur kamu bisa mengambil keputusan sebijaksana dan seberani ini. Mau menyadari dan mengakui bahwa keputusan yang kamu ambil itu kurang tepat.”
“Iya Bu. Je sudah mendengarkan kata hati Je sendiri. Seperti pesan Ayah tadi.”
“Ha ...? Tadi ?” Ibu mengernyit bingung.
“Eh, maksud Je, seperti yang selalu Ayah bilang ke Je sejak dulu. Supaya Je selalu mengikuti kata hati. Kata hati Je yang paling dalam.”
“Oh, begitu.”