Beberapa orang menatapnya dari halaman rumah masing-masing tanpa mengatakan apa-apa. Beberapa lagi yang sedang berada di jalan segera bergerak menjauh agar tak perlu lewat dekat dengannya.
Nenek Imas tersenyum.
“Tidak. Mereka tidak akan membenci Nawangsih. Merekapun tidak membencimu. Yang kau lihat itu hanyalah perwujudan rasa takut akibat ketidaktahuan mereka. Ditambah dengan ungkapan iri hati dari segelintir orang yang semakin memperburuk keadaan. Mereka hanya tidak mengerti. Belum mengerti. Untuk saat ini.”
Nawangwulan menatap Nenek Imas.
“Apakah nenek mengerti ?”
Nenek Imas tersenyum lagi.
“Kau tidak akan ingin semua orang bisa mengerti, Nawangwulan. Bukankah hal itu justru akan berbahaya bagimu ?”
Nawangwulan mengangguk.
“Pulanglah, nak. Nenek tahu ada keluargamu yang sedang menunggu di luar sana. Dan nenek yakin setelah kau tak ada, semua orang akan merindukan dirimu. Ketulusan dan budi pekerti baik yang telah kau tunjukkan selama ini, akan membuatmu dikenang sebagai bidadari dari khayangan yang telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi desa kami.”
“Nenek Imas….” Nawangwulan menangis haru dan memeluknya, “Nenek sudah menjadi orang tuaku selama aku berada disini. Terimakasih banyak, nek….”