Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Minema ( misteri ) part-1

28 Oktober 2015   08:09 Diperbarui: 10 Oktober 2016   12:39 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana kalau ada orang jahat ? Atau…. sesuatu yang lebih seram ? 

Dan setelah beberapa menit yang menegangkan, akhirnya sampai juga diujung jalan setapak. Fiuuh, kuhembuskan napas lega. Dari kejauhan nampak beberapa anak kecil sedang bermain kejar-kejaran di dekat gerbang masuk desa. Hangatnya suasana keseharian di desa membuat rasa takutku perlahan memudar. 

Kuperlambat langkah sambil berusaha mengatur napas. Rasanya sedikit memalukan kalau sampai terlihat dalam kondisi terengah-engah dan ketakutan seperti ini, pikirku sambil berusaha tetap berjalan dengan anggun walaupun perih di kakiku terasa menyengat. 

Orang-orang di desa masih terlihat ramai beraktifitas. Beberapa ibu tampak sedang menyelamatkan baju-baju yang sedang dijemur dari tetesan air hujan yang sepertinya sebentar lagi akan turun dengan deras. Beberapa lagi memanggil anaknya masing-masing untuk segera masuk ke dalam rumah. Terlihat sosok Pak Kepala Desa yang sedang memberi instruksi kepada seseorang tentang cara menanam pohon di halamannya. 

Aku melangkah memasuki gerbang desa. Kulirik gapura yang berdiri di atas gerbang yang seharusnya menampakkan tulisan ..... apa ya, ucapan selamat datang mungkin? Aku sampai tidak ingat, saking lamanya gapura ini dibiarkan berlumut tebal dan dijalari tanaman merambat. 

Terbayang olehku pagar rumah Andri yang terbuat dari besi kokoh bercat hitam mengilat, dan dindingnya yang berwarna putih bersih. Begitu juga dengan rumah-rumah lain disekitarnya. Semua terlihat rapi dan modern sekali. 

Kubandingkan dengan pemandangan di sekelilingku. Rumah-rumah yang dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu, atap dari lembaran kulit pohon yang disambung-sambung, dan tak ada satu rumahpun yang dipasangi pagar. Penduduk disini yakin sekali tidak bakal ada perampok yang akan menjarah rumah mereka. 

Tapi memang betul. Selain jalan masuknya jauh dari kota dan sulit untuk dilalui, juga tidak ada barang apapun yang bisa dicuri. Tidak ada TV, radio, handphone atau barang elektronik lainnya. Masyarakat disini benar-benar primitif. Itu istilahku untuk mereka yang ngotot menolak modernisasi.

 

Titik-titik besar air hujan mulai luruh dari langit saat aku menginjakkan kaki di halaman rumah. Pintu depan terbuka. Kuhirup dalam-dalam wangi aroma masakan ibu yang menguar dari arah dapur. Perutku memang sudah lapar sejak tadi. 

“Kek, nggak masuk ? Hujan lho, nanti masuk angin,” sapaku pada kakek yang sedang duduk berayun-ayun di atas kursi goyangnya. Beliau hanya mengangguk-angguk seperti biasa. Kakekku memang sudah tua dan pikun. Tidak bisa diajak berkomunikasi lagi.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun