“Eh maaf Ndri, aku kira…”
“Ayahku nggak meninggal,” potong Andri, “Beliau hilang di Gunung Nawang sekitar empat bulan yang lalu.”
Aku tertegun. “Hilang…?”
Andri mengangguk.
“Kamu nggak pernah dengar berita itu ya Sar ? Padahal waktu itu ramai sekali lho diberitakan di koran dan tv lokal,” Andri terlihat agak heran.
Aku menggeleng. Bagaimana bisa tahu berita apapun kalau penjual koran saja malas untuk masuk ke desa kami. Semoga saja Andri tidak menanyakan dimana sebenarnya tempat tinggalku. Aku belum siap.
“Ayahku itu orangnya sangat romantis,” Andri mulai bercerita. “Waktu itu dua hari menjelang hari ulang tahun ibu. Beliau memberitahuku tentang rencananya naik ke gunung Nawang untuk mengambil bunga edelweiss yang akan diberikan kepada ibu sebagai hadiah kejutan ulang tahun. Tapi ternyata… sampai hari ulang tahun ibu tiba, ayah nggak pulang-pulang juga.”
“Tim SAR dan para relawan dari kelompok pencinta alam sudah berusaha mencari, tapi ayah tetap tidak ditemukan. Akhirnya setelah memakan waktu seminggu lebih, pencarianpun dihentikan.”
“Tapi Ndri .… kalau sudah beberapa bulan berlalu .… kan berarti… mm... maaf.... ,” ujarku salah tingkah.
“Iya aku tahu…,” jawab Andri dengan suara parau, "Biarpun kecil sekali kemungkinannya ayah masih hidup setelah empat bulan menghilang, tapi aku dan ibu masih tetap berharap ayah bisa ditemukan. Seperti apapun kondisinya."
“Kami merasa kejadian ini sangat aneh. Kalau ayah meninggal diserang binatang buas, seharusnya barang-barangnya masih bisa ditemukan bukan ? Atau paling tidak…,” Andri memejamkan mata sejenak, ”Sisa-sisanya….”