Huh… penumpang angkot ke arah sini memang tidak pernah ada yang keren, gerutuku sambil memandang keluar lewat jendela. Udara dingin semakin terasa. Warna langit yang mendung kelabu melatari pemandangan puncak gunung Nawang yang indah.
Sang kakek dan sang ibu sudah turun. Semenit lagi giliranku menyudahi perjalanan. Aku memang selalu menjadi penumpang yang turun paling terakhir.
Kusibak sulur-sulur pohon yang menjuntai menutupi bagian luar ujung jalan setapak yang menuju ke desaku. Langit sudah terlihat gelap meskipun hari masih sore. Pukul 4 lewat 5 menit menurut jam hello kitty murahan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Petir mulai bergemuruh di kejauhan pertanda sebentar lagi hujan akan turun.
Dengan hati-hati kulangkahi akar-akar besar pohon tua yang menonjol bersilangan di permukaan tanah yang lembab. Aku tidak pernah suka pada jalan setapak ini. Tidak terlalu panjang, tetapi berat untuk dilewati. Pepohonan disini juga tumbuh sangat lebat dan rapat sehingga cahaya matahari tak bisa menembus sampai ke tanah. Suasananyapun amat sunyi. Kesunyian yang tidak wajar menurutku. Karena tak terdengar sedikitpun suara burung ataupun binatang kecil lain yang biasanya terdengar di dalam hutan.
Ingin rasanya segera keluar dari sini. Tapi sepatu berbahan kanvas kaku dengan sol yang keras ini menghimpit jari-jari kakiku dengan ketat. Semakin cepat aku melangkah, semakin sakit rasanya.
Aku menoleh ke belakang. Kemudian ke balik deretan pepohonan rimbun yang mengapit di kiri dan kananku. Tidak ada seorangpun yang terlihat.
“Aduh !” jeritku tertahan. Kakiku terperosok ke dalam lubang kecil yang sebelumnya tertutup daun-daun kering yang berserakan. Cekungannya yang cukup dalam dan sempit membuat kakiku terjepit.
Duuh, kenapa sih tidak ada satupun pihak yang berusaha merapikan tempat ini? Biarpun jarang dilewati tapi kan sepantasnya jalan setapak itu nyaman buat menapak? Bukannya malah dipenuhi dengan sampah daun kering begini, omelku dalam hati.
Tiba-tiba cahaya kilat menyambar, menerangi bagian-bagian hutan yang gelap. Menciptakan bayangan-bayangan aneh dari sudut-sudut pepohonan. Suasana menjadi semakin menyeramkan. Kutarik paksa kakiku yang terjepit dan bergegas melangkah.
Sambil terpincang-pincang kesakitan, berkali-kali kutoleh ke belakang. Gelapnya hutan terasa begitu menyesakkan, seperti hendak menarikku masuk kedalamnya. Suara napasku yang memburu terdengar semakin jelas dalam kesenyapan yang menekan gendang telingaku. Perasaan tidak enak seperti ada yang sedang mengawasi memacu kakiku untuk melangkah lebih cepat.