Sejak pertama bertemu, sosok Andri memang sudah membuatku tertarik. Mungkin karena sifatnya yang supel dan ramah. Disaat anak-anak lain masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan kampus yang jauh berbeda dari lingkungan sekolah, Andri sudah terlihat santai mengobrol seperti teman lama dengan beberapa orang yang padahal baru saja dikenalnya. Melihat Andri yang seperti itu, aku jadi ikut merasa tenang menjalani masa-masa awal kuliah.
Setelah matahari semakin condong ke barat, kami memutuskan untuk pulang.
“Yuk Sar, sudah sore nih,” ajak Andri sambil melirik jam digital di layar handphonenya.
“Yuk,” sahutku.
Windu menoleh ke arah Rini. “Jadi mau fotokopi dulu Rin ?”
“Iya jadi,” Rini mengaduk-aduk isi tasnya. “Punyaku mungkin ketinggalan tadi di kelas. Fotokopi lagi saja deh. Pinjam punya kamu ya.”
“Ciee…,” goda Yanto usil.
“Apaan sih,” kilah Windu sambil memukul bahu Yanto dengan gulungan kertas fotokopiannya. Yanto terbahak dan berlari menjauh. Aku dan Andri ikut tertawa seraya beranjak meninggalkan halaman kampus.
Dan tibalah kini saat-saat yang paling kusukai. Berkat letak gedung kampus yang agak menjorok ke dalam dari jalan raya ini, aku jadi bisa berjalan bersama dan ngobrol sebentar dengan Andri sebelum tiba di halte tempat mangkalnya angkot-angkot yang akan membawa kami pulang.