Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Sudah Cinta Bersiaplah Kehilangan

1 Desember 2016   22:31 Diperbarui: 1 Desember 2016   22:55 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua orang nampak duduk se-meja berhadapan di warung sambil makan lodeh lauk ikan asin dan sambel bajak, seorang diantaranya adalah pria berpawakan agak gendut,  lumayan pendek, dan rambutnya agak botak, ummurnya juga agak tua, sekitar tiga puluhan menjelang empat puluh. Seorang lagi kakek-kakek, wajah kriput kulit agak pucat, tubuh jangkung kurus, rambut putih uban agak kemerahan, berjanggut dan berkumis yang seperti sengaja ditumbuhkan dan dirawat agar tetap panjangnya.

Si kakek mengawali obrolan; “hey, terimakasih sudah mentraktirku makan, mentraktir pejalan kaki sepertiku, apalagi tak dikenalnya, kau baik hati sekali.”

“ah, anda bisa saja memuji, hanya ini yang bisa saya lakukan sebagai tanda terimakasih telah menyelamatkan saya saat tadi mau tertubruk motor,” balas pria itu sambil terseyum, kemudian melanjutkan makan.

Makanan pun habis, keadaan semakin canggung untuk mengawali obrolan disiang yang terik ini. Si kakek yang merasa lebih tua, mengawali untuk mencairkan suasana, “ siapa namamu kalau boleh tahu?”

“nama saya Andi, kalau anda?” jawabnya dengan santun.

“oh, panggil saja aku Pak Tua,” kemudian tertawa, seperti menanggapi sebuah guyonan.

Pria itu tersenyum menanggapi tawanya, “Pak tua”, terdiam sebentar melirik sekeliling, mencari bahan obrolan, kemudian melanjutkan  “maaf kalalu boleh bertanya, tujuan Bapak mau kemana?”

Pak tua memandang mata Andi dalam, kemudian berkata “apakah kau benar-benar ingin tahu?” nadanya berubah serius.

Wajah Andi berubah, ia semakin penasaran, ditatapnya mata Pak tua dalam, sangking geroginya ia menelan ludah.

“aku sedang berburu monster, tua-tua begini aku memiliki kekuatan supranatural,” kata si kakek dengan nada serius, kemudian tertawa, seperti telah melontarkan lelucon paling lucu sedunia.

Andi tertawa memaksakan diri, dalam benaknya ia tak ingin menyinggung perasaan Pak tua yang sedang mencoba melontarkan candaan.

Jam makan siang telah usai, mereka meninggalkan warung, Andi kembali ke pekerjaanya sebagai pegawai administrasi disebuah konter penjualan bahan-bahan konstruksi bangunan diseberang warung, dan si kakek berjalan entah kemana.

***

Jam sudah menujukkan pukul lima sore,  Andi nampak bersiap untuk pulang. Sesosok perempuan, mengurnya, “hey Andi, ayo pulang bareng, hari ini kamu gak bawa motorkan?” nadanya agak genit menggoda.

Nampak malu-malu, sambil menggaruk kepala Andi menjawab, “ah, boleh saja Lil.”

Mereka akhirnya pulang dengan naik mobil Lila, teman kerja Andi.

Didalam mobil ditengah kemacetan kota.

“eh, aku boleh mampir kerumahmu gak?” tanya Lila mendadak.

Cepat Andi menjawab dengan nada kasar, “apa maksudmu?” matanya tajam menatap dalam mata Lila, kemudian berkata, “kau tahu aku sudah punya istri dan anak Lila, cobalah untuk melupakanku.”

Lila meremas setir, pandangannya dibuang lagi kedepan, mobil berjalan lambat karena kemacetan, baru memasuki perempatan, keadaan lalu lintas sedikit lancar.

Memecah kehiningan, seolah tak menyerah pada Andi, “maaf, dahulu aku meninggalkanmu, sekarang aku tahu betul perasaanku yang sebenarnya ketika jauh darimu, kau tahukan aku dijodohkan,” Andi tak menjawab, pandangannya dibuang kejalan, Lila penuh getir melanjutkan, “ayolah, ini sudah dua tahun, lupakanlah istrimu, lanjutkan hidupmu, sekarang aku juga sudah menjanda.”

“berhenti” kata Andi dengan nada kasar, “atau aku akan melompat,” desaknya.

Lila menyerah, perlahan ia menghentikan mobil, Andi keluar dan menutup pintu dengan perlahan.

“ini masih jauh dari rumahmu?” desak Lila menahan kepergian Andi.

“gak papa, aku sedang ingin menangkap ayam, istriku sedang ingin makan ayam,” jawabnya disertai senyum, kemudian berjalan masuk gang.

“Andi!” teriak Lila, “istrimukan sudah.....”

***

Rembulan bersinar terang, membentuk bundaran yang sempurna, tengah malam, membuat cahaya kuning semakin menghiasi malam, langit yang agak mendung, segalanya nampak indah jika mengada ke langit. Sesosok pria membawa karung berjalan waspada berlidung bayangan.

Nampak semakin waspada, membuka pagar perlahan, dan masuk.

Di kedalaman rumah yang lampunya menyala redup, pria itu mengucap salam, dan berkata kepada istrinya yang menunggu penuh harap kepulangannya. “aku mendapat tangkapan yang bagus, masih mulus, kau pasti suka.”

Dengan suara agak serak, “taruhlah di dapur, biar aku yang memasak untuk makan malam kita bertiga,” melangkah pergi, namun terhenti seperti mengingat sesuatu, “ah, jangan lupa, kubur tulang-tulang sisa makan malam kemarin di halaman belakang,” ditutupnya dengan senyum, dan menghilang dalam bayangan, masuk ruangan lain.

Keadaan pencahayaan rumah itu buruk, segalanya tampak gelap dan kabur. Si pria nampak masuk kedapur menaruh kantung, lalu pergi halaman belakang rumahnya. Beberapa saat kemudaian si Istri masuk kedalam dapur, merebus sesuatu.

Beberapa jam kemudaian masakn siap didalam panci, mereka bertiga di meja makan, makan bersama sebagai keluarga yang bahagia. Mereka bertiga duduk di meja makan persegi panjang, si Ayah duduk disebelah si Ibu, dan duduk dihadapannya, seorang anak perempuan umur sekitar delapan atau sembilan tahun, tak makan, namun hanya duduk, nampak kurus, seperti hany tinnggal kulit dan tulangnya saja, rambutnya sebahu.

“kau tak makan nak?” tanya si Ayah.

“biarkan dia, jangan usik anakmu.” Hardik si Istri.

Si Ayah tak menjawab, langsung memalingkan wajahnya ke piringnya, diam seperti anak-anak yang di hardik orang tuanya.

***

Andi tak henti-hentinya melirik arloji di tanganya, berharap waktu cepat berlalu, dan memasuki jam makan siang, pekerjaan kian hari kian memberatkan, duduk dikantor, mengahadap layar monitor, membuat laopran kuangan, semuanya semakin menjenuhkan. Tak jarang ia mengelap dahinya yang berkeringat.

Tanganya kembali bergetar, entah apa yang menyebabkan, dirinya sendiri enggan menyakan sebabnya pada dirinya sendiri. Hanya getaran, getaran yang semakin menjalar sampai pikiran. Jarum jam sudah manunjukan jam dua belas kurang lima menit, kurang sediki saja waktu menuju istirahat makan siang, namun Andi sudah tak kuat menahan kejenuhan, ia pun beranjak dan keluar kantor.

Siang  ini masih sama dengan siang kemarin, terik panas masih sama, membuat jalan beraspal nampak diatasnya fatomorgana.

Andi sudah siap untuk menyebrang, namun entah apa yang menghentikannya, ia gelisah dan terpaku, pikirannya hilang dalam lamunan atau kekosoangan, berdiri dibawah panasnya siang.

“hei” tegur Pak Tua sambil menepuk pundaknya yang entah muncul darimana, “apakah kau ingin mentraktirku makan lagi?” kemudian tertawa terbahak-bahak.

Andi yang kaget hanya menjawabnya dengan senyum lemas.

“ah sudahlah aku hanya bercanda.”

“tak apa, ayo kita makan, saya traktir Pak tua,” jawab Andi lemas, lalu mengelap kerinhat didahinya.

Mereka berdua duduk di meja yang sama seperti kemarin, Andi masih tak bicara sejak menyebrang hingga makanan di siapkan.

“apakah kau sedang sakit?” tanya Pak Tua dengan wajah serirus, “aku lihat tanganmu bergetar.”

“ah tak apa, sudah biasa, nanti juga hilang sendiri.”

Pak Tua memandang mata Andi dalam, namun, si Andi hanya tertunduk terdiam, tangannya bergetar.

 “mungkin itu karena makanan?”

“mungkin,” jawab Andi singkat dan nampak enggan.

“aku kenal seorang yang terlalu banyak makan daging, tangannya juga bergetar.”

“oh, mungkin,” jawab Andi asal-asalan, kemudian mulai memakan makanannya.

“yah, daging,” Pria tua itupun mulai makan satu suap, “daging orang,” katanya menambahi sambil mengunyah seperti tak terjadi apa-apa.

Andi tersentak, ia memandangi Pak Tua dengan keheranan.

Perkataan, Pak Tua membuntuti Andi kemanapun ia pergi, membuatnya gelisah sepanjang waktu, hingga senja tiba, kali ini benar-benar perkataan memang benar dapat membuat seseorang bereaksi atasnya, perkataan tidak lebih dan kurang hanyalah kata-kata, bunyi-bunyian manusia dari mulutnya.

Andi masih pulang bersama Lila dengan mobilnya, perjalanan waktu dan pengulangan, keadaan yang sama namun langkah yang berbeda, apakah waktu berulang atau kejadian yang berulang? Kepala Andi semakin berat untuk berpikir tentang perkataan seorang kakek tua yang baru dikenalnya.

“pokoknya aku antar sampai rumah.” Lila semakin mendesak.

Dijawabnya desakan itu dengan lirikan sinis, matanya tajam masuk kekedalaman jiwa Lila yang membuatnya kemabali melakukan pengulangan kegetiran cinta, meremas setir mobil, dan menggigit bibir.

“oke, kalau kau mengantarku sampai rumah, tentu kau juga harus mampir untuk makan malam bersama kami.” Putus Andi yang tiba-tiba berubah.

Entah apakah itu kabar yang membuat Lila bahagia, atau sebaliknya, namun, suasana terlanjur menjebak, rasa sungkan dan ragu, serta diimbui penasaran menjebaknya dalam keadaan harus memutuskan untuk mengiyakan.

Mengecoh keraguan, Lila mengiyakan sambil menelan ludah.

Sampai dirumah andi Lila mendapati pemandangan yang kurang mengenakkan dan merangsang saraf ibanya, masuk pagar kedalam pelataran yang sempit, rumput tak terawat tumbuh seenaknya, bunga-bunga didalam pot seperti kurang perhatian, layu menyongsing ajal, teras penuh debu, dan kantong-kantong sampah menumpuk tak terbuang ke TPA didepan garasi.

Andi yang merasa tak terganggu meneruskan langkah masuk rumah dan Lila dengan perasan aneh itu memakasakan diri mengikutinya dari belakang.

Sampai ruang tamu, langkah Lila terhenti, ia adapati ruang tamu yang gelap, cahaya hanya ada sedikit dari luar, itupun dari lampu jalan didepan rumahnya. Di sofa ruang tamu, sesosok siluet anak kecil meringkuk memeluk boneka beruang, Lila menghampirinya, mencoba menerka siapa dia, matanya dipicingkan dan berkonsentrasi mengyibak kegelapan.

“Titin!?” Pekik Lila.

Mulutnya ditutupnya dengan kedua tangan. Titin melirik waniita asing dihadapannya, namun, bagi Lila Titin sudah tak asing, mereka pernah bertemu, tapi itu sewaktu Titin masih belum cukup umur untuk mengenal Lila.

Lila langsung duduk disebelahnya, melihat seorang gadis kurus semacam Titin, dan meringkuk serta terlihat mengibakan, naluri keibuan Lila bangkit dan membuatnya ingin melindunginya. Lila memegang tangan Titin memeriksa, meraba-raba tubuhnya, mengelus rambutnya, tangannya kurus, rambutya seperti tak terawat dan ketika disentuh, rontok. Bau Titin benar-benar pesing, liurnya tak berhenti mengalir, dan ia hanya menanggapi Lila dengan meliriknya saja, mulutnya seakan berkata-kata, namun tak ada suara keluar darinya.

“ada apa nak? Kamu kenapa?” tanya Lila penuh iba pada Titin, seraya agak menjauhkan hidungnya agar tak mencium bau pesing.

Namun, Titin hanya menjawabnya dengan lirikan.

“hey, kalian berdua, ayo masuk kedalam ruang makan,” Andi tiba-tiba muncul dan menegaskan.

Lila seakan akan merespon perintah Andi secara negatif, namun mulutnya terhenti karena kaget Titin tiba-tiba berlari dan masuk meninggalkan ruang tamu. Lila yang kaget hanya mengawasi Titin, kemudian mengalihkan pandangan kepada Andi, mereka bertatapan untuk beberaa detik.

“ayo,” tegas Andi lagi, kemudian masuk meninggalkan ruang tamu.

Lila menelan ludah, dalam benaknya, dalam hatinya, timul perasaan mual dan seakan menyuruhnya pergi, namun, naluri keibuan dan rasa cintanya pada Andi, membuatnya terjebak pada keharusan, yang mendorongnya harus masuk kedalam, setidaknya, untuk mengetahui apa yang terjadi.

Lila berjalan merambat dalm kegelapan didalam rumah Andi, meraba-raba untuk pengganti pengelihatan yang begitu tak berguna di ruang yang gelap-redup minim cahaya, samapi ia pada ruang tamu, ia tak melihat Andi, hanya melihat putrinya duduk di meja makan, ia perlahan bermaksud duduk disebelahnya.

Namun, sesuatu seperti menhan langkahnya, sebuah serangan perasaan, ia merasa diawasi seseorang, pengawasan ini membuatnya merinding tak terjelaskan, ludahnya ditelan, keringat muncul perlahan di keningnya, ia menoleh kearah tatapan itu, perlahan, dilindungi bayang ia melihat seseorang. “tidak mungkin, istri Andi sudah..”

Wanita itu menerjang tiba-tiba, mendorong Lila hingga terlentang di meja makan, Titin melihatnya semakin meringkuk ketakutan, menyembunyikan wajahnya dalam lindungan bonekanya.

Lila meronta, tapi ia tak kuasa menahan kekuatan Wanita itu. Lila dicekik dengan kedua tangan, Lila sekuat tenaga melawan, memberontak, berteriak dan menggeram. Samar-samar dalam ketenganag Lila melihat wajah Wanita yang menyerangnya.

Tubuhnya semakin tak berdaya, wanita itu bukan istri Andi, wajahnya bahakan tidak seperti manusia pada umumnya, bersisik disekujur tubuh, seperti sisik buah salak, matanya tak punya kelopak mata, hanya rambutnya yang panjang terurai bagai wanita, hidungnya menyatu dengan wajahnya dan tersisa sedikit lubang hidung. Mulutnya lebar dan kesemua giginya adalah gigi taring, ia tertawa, tertawa serak menikmati.

Semakin buram, Lila tak kuasa menahan, pikirannya melayang tak menerima kenyataan, dalam benaknya ia berkata “tak mungkin, tak mungking, sesuatu yang seperti ini tak mungkin ada dan nyata didunia, ini hanya mimpi,” dalam hati kecilnya berharap semua akan usai ketika bangun, tapi rasa sesak didadanya semakin nyata, panas dan menyiksa, ia melihat sekliling, didapatinya buram Andi berdiri dengan santai menunggu, Titin meringkuk ketakutan berlindung pada boneka singanya yang lusuh. “mengapa, mengapa, aku tak ingin mati, aku mencintaimu Andi,” kata-kata yang ingin dikeluarkan dari mulut Lila untuk terakhir kali, namun kata-kata itu tak pernah terwujud dalam bentuk yang dapat didengar, semakin panas dan sesak dadanya, semakin buram pengelihatan, sakit dileher cekikan semakin menjadi terbiasa dan tak terasa sakit lagi. Tanpa sadar, air mata Lila merembes diwajanya.

Suara tembakkan memekikkan semua telinga diruangan itu, cekikan tak terasa lagi pada leher Lila, reflek, Lila batuk dengan sendirinya, tubuhnya secara alami membuat jantung tergelitik denngan batuk sehingga memicunya, membuat reaksi beratai dalam tubuh, melakukan pemaksaan pada paru-paru untuk mengambil nafas.

Sesuatu melompat-lompat melewati tubuh Lila, pengelihatannya mulai dapat dikuasai. Lila tersentak, sesuatu menubruk meja, membuatnya terbalik, Lila terjatuh menimpa kursi yang roboh seketika, dan membuatnya jatuh kelantai, samar Lila melihat Titin juga terjebak pada meja dan kursi yang berantakan, merigkuk terisak, ketakutan.

Lila berusaha banngkit, menguasai dirinya, memeriksa sekeliling, didapatinya seorang secara brutal menendang Andi hingga tersungkur jatuh di depan Lila, Wanita itu melompat-lompat, menempel di dinding dan lagit-langit, seseorang yang bertubuh jangkung menembak, api senapan itu membuat wajahnya terlihat beberapa detik, seorang pria Tua, berambut gondorng berkuncit.

Tembakkan dilepaskan secara beruntun dua kali lagi, namun tak ada yang kena, wanita itu melompat kesana kemari dari tembok ketembok diruang yang agaknya kurang luas untuk bertempur.

Monster itu mendesis, meraung mengancam, tembakan tak lagi di lontarkan, Kakek itu nampak kebingungan, mimik wajahnya layu, memandang kearah monster dengan mimik kekhawatiran, monster itu seperti mengeti sesuatu, melompat dan menyerang si Kakek, semakin dekat, semakin dekat lagi, hampir dalam jangkuan, wajah kakek itu berubah menjadi cerah, kemudian tertawa, “bodoh!” teriak si Kakek.

Tembakan dilontarkan, tepat sasaran, si monster tak mungkin menghidar saat melompat, si Kakek menipunya dengan berpura-pura pelurunya habis.

Kepala wanita itu hancur, darahnya muncrat, dan jatuh kemeja yang terbalik, tubuhnya masih bergerak-gerak, nampaknya masih hidup, Si kakek, mengisi kembali senapannya, lalu menghampiri monster yang sedang diujung maut itu, hendak menembak untuk mengakhiri hidupnya, namun, Andi menerjang, si kakek hampir kehilangan keseimbangan, Andi berusaha merebut senapan si kakek, tapi si Kekek masih berjuang.

Tembakan terdengar lagi, Lila melihat Andi terjatuh, darahnya muncrat ke wajahnya, “tidaaak!!!” teriak Lila, ia melihat pria yang dicintainya terjatuh. Gelap, semua semakin gelap, Lila tak kuasa melihat semua ini, “tak mungkin, tak mungkin, tak mungkin, tak mungkin........, semua ini hanya mimpi!!, Tiiidaaak!!!” semakin gelap, semakin menyangkal, iapun terjatuh dan pingsan.

***

“Oh kau sudah bangun,” kata seorang pria yang  menghentikan membaca buku untuk menghampiri Lila yang baru bangun.

“syukurlah semua ini hanya mimpi.” Gumam Lila pada dirinya sendiri.

“apa maksudmu Lil, mimpi apa? Syukurlah kau sudah bangun, dua hari kau pingsan.”

Lila tersentak, ia melihat sekliling, ia dapati bukan di runangannya, ia tak kenal sama sekali dimana ia tertidur, di lengannya tertancap infus, “apa yang terjadi?”

“apakah kau tak ingat?”

“entahlah kak, aku bingung.”

Kemudian Lila berusaha beranjak dan memaksakan untuk bangun.

“jangan bergerak dulu.”

Kakak Lila memaksanya untuk duduk, Lila menurutinya, dan ia pun duduk diranjang.

“ini dimana kak?”

“oh, ini dirumah sakit, sudahlah jangan memaksakan diri untuk mengingat sesuatu.”

Lila memandang kakankya dengan mata terbelalak, dalam pikriannya terangsang untuk menampilkan gambaran-gambaran kejadian diluar nalar malam itu, sontak perut Lila menjadi mual, pikirannya terangsang untuk sedih dan perih, memberikan rasa sakit, ia pun menangis dan berteriak.

Untuk beberapa waktu Lila dapat tenang dengan bantuan obat tidur, setelah itu, kakaknya berbincang dengannya dan menjelaskan semua yang terjadi pada malam itu; seseorang dari kepolisian menelponnya, ia mendapat nomernya dari ponsel Lila, polisi mendapat laporan suara tembakan dan ribut-ribut dirumah Andi, dan ketika polisi datang, Andi terluka tembak, dan mati kehabisan darah di ambulance, polisi menerangkan bahwa, menurut penyelidikan, Andi kau yang menembak, karena senapannya ada disana, namun, menurut keterangan yang dapat diperoleh dari polisi dan penyidikan, diduga karena stress Andi beriat membunuh Lila, bukan hanya itu, banyak tulang manusia ditemukan dihalaman rumah Andi, keadaan anaknya juga mengkhawatirkan. Yah, keputusan polisi, Andi adalah pelaku tunggal, Lila membela diri, merebut senapan dan menembak Andi, motifnya karena gangguan mental.

“bagaimana dengan Titin?”

“oh, entahlah, gadis itu, sepertinya akan di taruh dipanti asuhan, orang tua Andi, kakek titin, sudah tua, dan tidak memungkinkan merawatnya, juga sanak keluarga yang lain, sepertinya enggan merawat anak Andi, entah, mungkin persoalan ekonomi.”

Lila terdiam mendengar itu, keheningan merambat di seluruh ruangan.

Berjam-jam Lila merenungi kejadian malam itu, setelah ditanyai keterangan oleh polisi, dan tentu dijawabnya seperti cerita yang dibuatnya semasuk-akal mungkin, seperti yang diduga polisi, hanya itu yang paling mudah untuk dilakukan.

Seseorang masuk ruangan, Lila menoleh untuk memastikan siapa yang masuk, tapi tak didapati siapapun.

“apa kabar?” seseorang tiba-tiba sudah duduk dikursi disebelahnya.

“kau, kau yang waktu itu menembak Andikan?” wajah Lila penuh amarah dan dendam.

“hey, setidaknya kau berterimakasih padaku, yang telah menyelamatkanmu dari kanibal itu.”

Lila tak menjawab, airmatanya keluar merembes kepipinya, membasai bantal.

“ah sudahlah, begitulah kalau kau tak merelakan seseorang yang kau cinta, mungkin kau ingin seperti kekasihmu Andi itu, mudah sekali diperalat oleh mahkluk sialan itu, taukah kau?”

Lila kemudian berusaha untuk duduk, menyeka airmatanya dengan telapak tangan yang tak berinfus.

“apa yang terjadi, mengapa Andi menjadi seperti itu? Itu semua karena monster sialan itu, bukan Andi, ia diperalat! Mengapa kau juga membunuhnya” tegas Lila membenarkan.

“tidak, sama sekali tidak, Andi juga terlibat, kalaupun tak terlibat, kalaupun ia hidup, apa yang akan terjadi nanti? Dia sudah tak tertolong, mati buatnya adalah jalan yang terbaik”

“Bohong!! kau pembohong,” pekik Lila.

Kakek itu menimpalinya dengan tertawa yang dibuat-buat, lalu berkata “yang menciptakan ilusi istri Andi masih hidup, adalah keinginan Andi sendiri, Monster itu hanya mendorongnya, bukan membuatnya.” Wajahnya manjadi serius,” kau sama saja dengan Andi, terima kenyataan ini, sudahlah, aku tak mengerti megapa kau sampai mencintai orang beristri, tapi,” hendak melanjutkan namun ia terhenti.

“aku,  aku dan Andi dulunya adalah sepasang kekasih, lalu, karena aku dijodohkan aku meninggalkannya, bukan, bukan karena aku dijodohkan, itu karena kenangkuhanku sendiri, aku,” Lila menangis, terseduh seduh, dalam tangisnya ia masih bicara; “namun, setelah beberapa tahun aku bercerai, karena aku tak kunjung hamil, kukira masih ada Andi yang menungguku, kukira ia mencintaiku selamanya, namun,” terisak lagi, Lila tak kuasa melanjutkan.

“ah, kau memang terlalu sombong,”

Kata itu membuat Lila terdiam, lalu memandang si kakek seperti meminta pertolongan.

Si kakek menghela nafas panjang, “dengarkan aku, ingat ini, cinta-cintailah apapun didunia ini, cinta adalah keputusan secara sadar, kau dapat mencintai siapaun, apapun, karakter dan bentuk apapun dari semua manusia, namun, ingat, ketika kau mencintai, bersiaplah untuk ditinggalkan, sama halnya dengan hidup yang memiliki ajalnya, begitupun dengan cinta, siapapun atau apapun punya waktunya sendiri, ada awal dan akhir, lagi pula, kau tak akan merasa benar-benar memiliki, kalau tak kehilangan, nikmati saja hidup,” lalu kakek itu tertawa, beranjak dari kursinya, menaruh bunga liar yang disusunnya didalam bungkusan koran dimeja, “aku pergi dulu, banyak pekerjaan.”

Ditegah perjalannya menuju pintu kamar si kakek terhenti, lalu berkata “rawat gadis itu, walau bukan darah dagingmu, setidaknya, kalian pernah merasakan kegetiran yang sama, kurasa itu cukup untuk alasan membentuk keluarga” lalu kembali menghampiri Lila, ditarunya kartu nama di meja, “ini kartu namaku, hubungi aku kalau-kalau ada kejadian supranatural atau,..” terdiam seperti memikirkan sesatu, “kejadian aneh atau apalah, panggil saja aku, aku punya hutang budi pada Andi karena pernah mentraktirku, berbuat baik pada anaknya kurasa,” kemudian terdiam, berpikir, lalu melanjutkan “ah sudahlah, aku pamit” lalu ia pergi, keluar dari kamar dan menghilang.

Lila memandangi jendela, terdiam beberapa detik, kemudian tersenyum.

***

Seorang perempuan nampak bertanya-tanya pada resepsionis rumah sakit, sepertinya mencari pasien yang ingin dikunjunginya, resepsionis rumah sakit memberikan arahan dan penjelasan, sesekali memberikan peraga dengan tangannya.

Perempuan itu nampak senang dengan penjelasan resepsionis, lalu beranjak dan pergi munuju kamar yang ditunjukkan resepsionis, kamar a301.

Didapatinya seorang gadis berumur sembilan atau sepuluh tahun, duduk di ranjang, melamun dan tatapannya kosong, kurus, dan pucat, rambutnya panjang namun jarang, tanganya diinfus.

Perempuan itu duduk disebelahnya, menegurnnya dan berbincang. “maukah kau menjadi anakku, aku ingin memiliki keluarga, bukankah kau juga begitu?” kata perempuan itu dengan ramah dan senyum.

Tanpa berkata, gadis itu hanya memndanginya, dibenaknya penuh keraguan.  Perempuan itu memndangnya dengan iba, lalu mengelus lembut kepalanya, memeluk dan mencium pipinya.  Gadis itu memandang wajah perempuan itu, mereka saling berpandangan, senyum terlukis dari mereka, lalu gadis itu mengangguk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun