“kau tak makan nak?” tanya si Ayah.
“biarkan dia, jangan usik anakmu.” Hardik si Istri.
Si Ayah tak menjawab, langsung memalingkan wajahnya ke piringnya, diam seperti anak-anak yang di hardik orang tuanya.
***
Andi tak henti-hentinya melirik arloji di tanganya, berharap waktu cepat berlalu, dan memasuki jam makan siang, pekerjaan kian hari kian memberatkan, duduk dikantor, mengahadap layar monitor, membuat laopran kuangan, semuanya semakin menjenuhkan. Tak jarang ia mengelap dahinya yang berkeringat.
Tanganya kembali bergetar, entah apa yang menyebabkan, dirinya sendiri enggan menyakan sebabnya pada dirinya sendiri. Hanya getaran, getaran yang semakin menjalar sampai pikiran. Jarum jam sudah manunjukan jam dua belas kurang lima menit, kurang sediki saja waktu menuju istirahat makan siang, namun Andi sudah tak kuat menahan kejenuhan, ia pun beranjak dan keluar kantor.
Siang ini masih sama dengan siang kemarin, terik panas masih sama, membuat jalan beraspal nampak diatasnya fatomorgana.
Andi sudah siap untuk menyebrang, namun entah apa yang menghentikannya, ia gelisah dan terpaku, pikirannya hilang dalam lamunan atau kekosoangan, berdiri dibawah panasnya siang.
“hei” tegur Pak Tua sambil menepuk pundaknya yang entah muncul darimana, “apakah kau ingin mentraktirku makan lagi?” kemudian tertawa terbahak-bahak.
Andi yang kaget hanya menjawabnya dengan senyum lemas.
“ah sudahlah aku hanya bercanda.”