Lila tak menjawab, airmatanya keluar merembes kepipinya, membasai bantal.
“ah sudahlah, begitulah kalau kau tak merelakan seseorang yang kau cinta, mungkin kau ingin seperti kekasihmu Andi itu, mudah sekali diperalat oleh mahkluk sialan itu, taukah kau?”
Lila kemudian berusaha untuk duduk, menyeka airmatanya dengan telapak tangan yang tak berinfus.
“apa yang terjadi, mengapa Andi menjadi seperti itu? Itu semua karena monster sialan itu, bukan Andi, ia diperalat! Mengapa kau juga membunuhnya” tegas Lila membenarkan.
“tidak, sama sekali tidak, Andi juga terlibat, kalaupun tak terlibat, kalaupun ia hidup, apa yang akan terjadi nanti? Dia sudah tak tertolong, mati buatnya adalah jalan yang terbaik”
“Bohong!! kau pembohong,” pekik Lila.
Kakek itu menimpalinya dengan tertawa yang dibuat-buat, lalu berkata “yang menciptakan ilusi istri Andi masih hidup, adalah keinginan Andi sendiri, Monster itu hanya mendorongnya, bukan membuatnya.” Wajahnya manjadi serius,” kau sama saja dengan Andi, terima kenyataan ini, sudahlah, aku tak mengerti megapa kau sampai mencintai orang beristri, tapi,” hendak melanjutkan namun ia terhenti.
“aku, aku dan Andi dulunya adalah sepasang kekasih, lalu, karena aku dijodohkan aku meninggalkannya, bukan, bukan karena aku dijodohkan, itu karena kenangkuhanku sendiri, aku,” Lila menangis, terseduh seduh, dalam tangisnya ia masih bicara; “namun, setelah beberapa tahun aku bercerai, karena aku tak kunjung hamil, kukira masih ada Andi yang menungguku, kukira ia mencintaiku selamanya, namun,” terisak lagi, Lila tak kuasa melanjutkan.
“ah, kau memang terlalu sombong,”
Kata itu membuat Lila terdiam, lalu memandang si kakek seperti meminta pertolongan.
Si kakek menghela nafas panjang, “dengarkan aku, ingat ini, cinta-cintailah apapun didunia ini, cinta adalah keputusan secara sadar, kau dapat mencintai siapaun, apapun, karakter dan bentuk apapun dari semua manusia, namun, ingat, ketika kau mencintai, bersiaplah untuk ditinggalkan, sama halnya dengan hidup yang memiliki ajalnya, begitupun dengan cinta, siapapun atau apapun punya waktunya sendiri, ada awal dan akhir, lagi pula, kau tak akan merasa benar-benar memiliki, kalau tak kehilangan, nikmati saja hidup,” lalu kakek itu tertawa, beranjak dari kursinya, menaruh bunga liar yang disusunnya didalam bungkusan koran dimeja, “aku pergi dulu, banyak pekerjaan.”