"Siapa yang ke Amerika, Pa?" Makin sedih saya melihat keadaan Papa.
"Coba lihat kamar rumah sakit ini, Yo. Tidak ada bedanya dengan kamar rumah sakit di Cipto Mangunkusumo. Percuma kita jauh-jauh datang ke Amerika," kata Papa lagi semakin membingungkan.
Dengan perlahan saya berdiri lalu memegang tangan Papa sambil menangis terisak-isak, "Papa, kita masih di Rumah Sakit Cipto. Kita belum pergi ke Amerika. Nanti kalau Papa sudah kuat, Yoyo janji akan mengantarkan Papa ke sana dan menemani Papa sampai sembuh."
Papa menatap saya dengan pandangan aneh. Mendadak dia berusaha melepaskan tangannya tapi saya bertahan dan memaksa untuk terus menggenggamnya.
"Eh, Suster. Saya mau disuntik lagi ya?" Papa semakin linglung.
"Papa, ini Yoyo, Pa. Bukan suster," ucap saya dengan suara nelangsa.
"Suster, anak saya di mana tadi? Namanya Yoyo. Dia tadi di sini. Tolong carikan ya, Suster," Papa mulai meracau.
"Ini Yoyo, Papa!" kata saya dengan air mata semakin meluap.
"Yoyo!! Kamu di mana? Yoyo..!!! Yoyoooo...!!!!" Papa terus memanggil-manggil saya yang berada persis di sebelahnya.
Keesokan harinya, Mama, A Koh dan saya menemui dokter untuk menanyakan kondisi Papa yang semakin lama semakin kehilangan kesadarannya.
"Baiklah, Ibu. Sekarang saya akan menjelaskan keadaan suami Ibu," kata Dokter.