Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papa Koma (Lanjutan)

2 Februari 2018   02:12 Diperbarui: 2 Februari 2018   02:45 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papa koma huhuhu...

Pihak rumah sakit rupanya sudah siap mengantisipasi akan adanya peristiwa ini. Dari luar datang 4 perawat laki-laki yang semuanya bertubuh tegap. Salah seorang di antaranya bahkan membawa tali.

Dengan sigap mereka meringkus Papa dan mengembalikannya ke tempat tidur. Papa terus berontak. Dan entah mendapat tenaga dari mana, dia menendang salah seorang perawat sampai terpental jauh.

Tiga perawat yang lain menelikung tangan Papa sambil berteriak,

"Pegang kakinya. Langsung ikat ke tempat tidur."

"Ikat yang kuat" kata perawat satunya, "Okay. Sekarang saya ikat tangannya."

"Papaaaa..!!!! Huhuhuhuhu.....!!!"  Saya menangis melolong melihat keadaan Papa. Fase histeris yang diramalkan dokter, sekarang menjadi kenyataan. Sedih saya melihatnya diperlakukan seperti binatang yang mau disembelih. Tapi apa daya? Saya juga tidak mempunya ide yang lebih baik untuk meredakan amuknya.

Selama 3 hari fase histeris ini berlangsung. Selama tiga hari itu Papa tidak pernah tertidur. Dia bergerak terus, meronta dan mulutnya berteriak dengan suara keras bukan main.

"WAAAAAAAA....!!!!" Suara lolongan Papa terus menerus menggema membelah kepekatan malam.

Hari ke empat Papa masuk ke fase koma. Semua ikatannya sudah dilepas. Dia terbaring dengan mata setengah terbuka. Kulitnya semakin berwarna kuning. Sementara kulit di bagian punggung terkelupas di sana-sini karena terlalu lama berbaring telentang di tempat tidur.

Setiap hari saya membacakan cerita pada Papa. Walaupun sedang koma, saya yakin Papa bisa mendengar suara saya. Sambil membaca, sesekali mata saya melirik ke arah wajahnya berharap sebuah keajaiban akan terjadi. Siapa tau Tuhan berbaik hati membuat Papa tiba-tiba terbangun, tersenyum atau berbicara.

Apa yang terjadi pada keluarga kami membuat saya merenung. Penderitaan Papa yang begitu hebat membuat saya tersadar betapa berharganya kesehatan itu. Kita manusia sering lupa pada rahmat Tuhan tersebut. Kita sering lupa bersyukur bahwa kita telah diberi kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun