Mendengar jawabannya, saya langsung membeli 1 paket Bir Belanda merek Amstel yang berisi 6 botol. Saya juga membeli 2 hamburger untuk kami berdua. Tidak lama kemudian kami sudah berada di atas batu, duduk berdampingan sambil menikmati hamburger dan bir. Saya tidak begitu suka bir tapi untuk menyenangkan orang tua ini, saya memutuskan untuk ikut minum menemaninya.
"What kind of fish that are you fishing, Raoul?" tanya saya.
"Look at to the sky. And look at to the sea. Hear the sound of the waves. Feel the wind that touch your skin," jawabnya ngawur.
"You are not answering my question," sahut saya sambil meminum bir langsung dari botolnya.
"Stupid girl!" kata Raoul setengah membentak tapi mulutnya tersenyum.
"Yes, I know. I am stupid," jawab saya enteng.
Nelayan tua itu bangkit dan berdiri di atas batu karang lalu sambil menunjuk ke angkasa, dia berkata lagi dengan suara lantang, "It's a beautiful day, Yoyo. Think! I am fishing life. Not fish. Can't you see that?"
Sekali lagi saya terperangah mendengar jawaban filosofisnya. Rupanya Raoul lebih berbakat menjadi filsuf daripada pemancing ikan. Saya pun terus memancing percakapan dengannya tentang apa saja. Tentang cuaca, tentang laut, tentang langit, tentang angin, tentang hidup termasuk tentu saja tentang kehidupan di kampung nelayan ini.
Untungnya nelayan tua ini senang bercerita. Dia langsung berceloteh tentang apa saja yang diketahuinya. Ada satu cerita Raoul tentang Volendam yang sangat berkesan di hati saya. Untuk lebih memudahkan, saya akan ceritakan dalam bahasa Indonesia.
"Dulu rumah-rumah para nelayan di sini semuanya berbentuk sama, berdesain sama bahkan warnanya pun sama." Kakek tua ini memulai ceritanya
Sambil meraih botol bir yang kedua, saya mendekat ke arahnya. Angin laut bunyinya menderu-deru sehingga suara Raoul tidak begitu jelas terdengar kalau tidak dari dekat.