"Hah? Kamu hamil? Nggak mungkin!!!" pekik Ernest dengan suara sangat panik.
Ernest adalah pacar saya sejak masih SMA. Saat itu saya dan dirinya sedang menuntut ilmu di Amerika. Kami berdua kuliah di sebuah College yang lebih baik tidak saya sebutkan di sini. Letaknya di selatan New York. Saya belajar Travel and Tourism, sedangkan Ernest belajar Business and Financial administration.
Karena biaya hidup terlalu mahal, kami sepakat untuk sharing appartment 1 kamar agar biaya penginapan bisa patungan. Tadinya saya agak ragu-ragu tapi karena dia pacar saya dan karena sudah lama berpacaran, akhirnya desakan finansial membuat kami memutuskan untuk tinggal bersama.
Dan akhirnya yang saya takutkan pun terjadi. Saya hamil. Dan seperti yang telah saya perkirakan, Ernest sama sekali tidak siap untuk menghadapi kenyataan ini.
"Kamu yakin kalau kamu hamil Yo?" tanya Ernest dengan suara parau.
"Iya saya yakin. Sudah saya uji 3X pakai test pack, semuanya positif."
Sejenak kami terdiam. Ernest menutup mukanya yang semakin memucat dengan kedua belah tangan.
"Huhuhuhu....." Tiba-tiba dia menangis meraung-raung seperti anak kecil. Saya hampiri dan peluk dia seerat mungkin untuk menenangkan hatinya. Akhirnya reda juga tangisnya. Dengan suara sesunggukan dia berusaha memulai percakapan kembali.
"Kok kamu bisa hamil, Yo?" Kepanikan yang teramat sangat membuatnya melemparkan pertanyaan bodoh.
"Menurut kamu kenapa?" tanya saya dengan suara lembut.
"Maksud saya, apa betul itu benih dari saya?" tanyanya lagi bertambah tolol.
"Kamu menuduh saya ML dengan orang lain?" Saya balik bertanya sambil mendorong tubuhnya dan menatap tajam kedua matanya.
Dia semakin panik, "Saya nggak tau. Yang saya tau, saya selalu keluarinnya di luar setiap kali kita ML." teriaknya lalu menangis lagi.
"Lalu bagaimana? Maksud kamu tadi mau bilang apa?"
"Kamu jangan paksa saya bersikap harus bagaimana. Saya nggak tau harus bersikap apa! Jangan paksa saya!"
"Saya nggak maksa kamu apa-apa kok..."
"Saya nggak siap jadi suami Yo. Kamu jangan menyudutkan saya."
"Saya nggak bermaksud menyudutkan kamu..."
"Saya nggak siap jadi seorang Ayah...!!! Saya nggak siaaaap!!!" Habis berkata begitu, Ernest berlari ke luar dan membanting pintu keras bukan main.
Saya cuma bisa menghela napas panjang. Kasihan Ernest, dia ternyata jauh lebih tidak siap daripada saya sendiri. Harus dipahami bahwa saat itu saya baru berusia 19 tahun, sedangkan Ernest 20 tahun. Siapa cowo yang siap menikah diumur segitu? Apalagi Ernest bukan hanya satu-satunya anak lelaki di keluarganya. Tapi dia juga anak tunggal. Kedua orangtuanya pasti mempunyai pengharapan besar pada masa depan puteranya ini.
Ernest tidak pulang ke appartment selama tiga hari. Di kampus dia juga bolos, entah pergi ke mana. Saya telepon, HPnya tidak aktif. Saya text semuanya tidak terkirim. Ketika saya mulai terpikir untuk menelpon orangtuanya yang tinggal di Indonesia, tiba-tiba saya menerima text dari dia. Isinya, 'Yoyo, nanti malam saya pulang. Kamu jangan ke mana-mana ya? Saya sudah punya solusi untuk menyelesaikan masalah kita."
Menjelang jam 9 malam, Ernest pulang. Saya sudah menunggu di meja makan dan menghidangkan Thai food kesukaannya. Dia memeluk dan mencium saya lalu duduk di meja makan. "Apa kabar Yo?"
"Saya baik-baik aja. Kamu?"
"Saya juga baik." sahutnya sambil melirik ke arah perut saya.
Sejenak keheningan menyela.
"Begini Yo, saya kemarin ketemu sama Victor, temen saya yang dulu kuliah di Denver. Sekarang dia sudah tinggal di New York.
"Oh Victor. Iya saya inget sama dia."
"Dia bersedia membantu kita untuk meminjami uang untuk aborsi kandungan kamu." ucap Ernest.
Saya mendengarkan omongannya tanpa memberi reaksi apa-apa.
"Dan yang lebih bagus lagi, dia juga punya chanel dokter kandungan yang mau melakukan aborsi ini. bagus kan yo?"
"Oh begitu?"
"Iya. Akhirnya masalah kita bisa terselesaikan."
Belum lagi saya menyahut, Ernest memeluk saya.
"Kita bisa belajar dengan tenang seperti biasanya, Yo. Lain kali kita harus hati-hati kalo ML lagi."
Keheningan kembali menyela. Ernest terlihat lebih tenang, rupanya solusi tersebut merupakan jalan terbaik untuknya.
Setelah menghela napas panjang, saya berkata,"Ernest..."
"Ya Yoyoku?" sahut Ernest sambil menggenggam tangan saya.
"Saya nggak mau aborsi. Saya mau memelihara anak ini."
"Hah???!!! Maksud kamu bagaimana Yo?" Persis seperti sebelumnya Ernest panik bukan main.
"Iya saya mau melahirkan anak ini."
"Tapi saya nggak siap jadi suami Yo!! Saya nggak siap jadi Ayah!!!"
"Saya tau. Saya nggak menuntut kamu untuk menikahi saya. Kamu nggak usah kuatir."
"Saya harus bagaimana, Yo? Apa kata Papa dan Mama saya kalau kamu nggak mau aborsi?"
"Kamu tenang dulu. Biarkan saya berbicara."
"Kamu Cina, saya pribumi. Kamu Budha, saya kristen. Masalah kita banyak Yo." Ernest terus berteriak-teriak.
"Kamu mau dengar omongan saya nggak?"
"Saya bisa dibunuh sama Papa dan Mama Yo. Huhuhu..."
"Papa sama Mama kamu nggak perlu tau kalau saya hamil." jawab saya berusaha membuatnya tenang.
"Aduh tolong saya Yo. Saya harus gimana?"
"Kamu nggak harus gimana2. Saya akan piara anak ini sendiri."
"Tapi Yo... kalau anak ini lahir, orang juga akan tau kalau saya bapaknya?"
"Saya nggak akan bilang siapa-siapa kok."
"Tapi saya nggak mungkin membiarkan kamu sendirian Yo. Saya jadi jahat banget kedengarannya. Huhuhu...." Tangis Ernest semakin meledak. Saya peluk dia seerat mungkin. Ernest balas memeluk saya.
"Buat saya kamu bukan orang jahat. Saya akan selalu sayang sama kamu." bisik saya sambil mengecup ubun-ubunnya.
Makanan Thailand favorit kami yang biasanya selalu kurang karena kami berdua selalu lahap memakannya, kini sama sekali tidak tersentuh. Saya dan Ernest tidak punya napsu makan lagi. Kami berdua menghabiskan malam dengan berbaring di ranjang saling memunggungi dengan pikiran kusut masing-masing.
Ya Tuhanku, berilah ketabahan untuk Ernestku ini Tuhan. Berilah dia tambahan kekuatan. Saya sangat mencintai Ernest Tuhanku. Tolonglah dia.... Saya terus berdoa dalam hati.
Tepat pukul 12 malam, saya terbangun, lalu menyalakan hio. Sebagai umat Budha saya ingin minta ampun dan minta petunjuk atas cobaan yang sedang menyelimuti kami berdua. Sebenarnya saya jarang menyalakan hio karena  tetangga sebelah beberapa kali terganggu oleh baunya dan mengadu pada landlord yang tinggal di appartment paling bawah. Tapi kali ini saya merasa perlu berdoa menyalakan hio.
Sambil memegang hio yang menyala, saya berdiri di atas lutut, kemudian pai kui (menyembah) sebanyak 3X dan mulai berdoa, ""aku berlindung kepada Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya."
Seraya memejamkan mata, saya lanjutkan, "aku berlindung kepada Amitabha Buddha/Namo Amitabha buddhaya/Namo Oh Mee Toh Fo."
"Wahai Buddha, aku bertekad untuk tidak melakukan perbuatan jahat dan bodoh lagi, karena sekecil apapun perbuatan jahat dan bodoh yang baru, pasti akan melahirkan penderitaanku yang baru.
Oh Buddha, aku selalu mengharap, agar orang-orang yang berada dalam hidupku, terutama Ernest, semoga bisa hidup lebih beruntung dan bahagia. Semoga semuanya bisa hidup lebih tentram dan damai. Semoga semuanya dapat bersama-sama memasuki jalan yang benar, memasuki pintu kesucian Dharma, melenyapkan penderitaan dan sampai terlahir di Tanah Suci Surga Sukhavati"
Esok paginya, kami sudah duduk kembali di meja makan sambil menikmati kopi dan croissant yang sudah dihangatkan dalam oven. Mata Ernest terlihat merah dan sembab, mungkin dia tidak bisa tidur nyenyak semalaman itu.
"Jadi rencana kamu bagaimana Yo?" tanyanya membuka percakapan.
"Seperti yang saya katakan kemarin, saya nggak akan menyusahkan kamu."
"Persisnya bagaimana Yo?"
"Saya akan melahirkan anak ini. Jadi saya nggak mungkin tinggal sama kamu. Saya harus pergi dari sini."
Ernest terdiam. Saya menghirup kopi sebelum terlanjur dingin.
"Kamu mau pulang ke Indonesia?" tanya dia lagi.
"Saya belum tau..."
"Kalau kamu pulang ke Indonesia, nanti orangtua kamu juga akan tau dong kalau itu anak saya?"
Saya tersenyum mendengar kekuatirannya. Saya genggam tangannya yang ada di atas meja untuk membesarkan hatinya. "Jangan kuatir. Saya akan pergi ke suatu tempat. Tapi yang pasti bukan ke Indonesia."
"Jadi kamu mau ke mana Yo?" Suara Ernest teramat lirih semakin mengikis hati saya.
"Nanti kalau saya sudah tau mau ke mana, saya akan kasih tau kamu."
"Yo.."
"Ya sayang..."
"Saya bukannya nggak mau mengakui anak ini adalah anak saya...."
"Iya saya ngerti. Kamu belajar aja yang rajin. Kamu harus menyelesaikan kuliah kamu." kata saya sambil memeluk dan mencium pipi anak manis itu
"Terus kamu mau ke mana Yo? Tolong kasih tau saya..."
"Bagaimana saya mau kasih tau? Saya kan belum tau mau ke mana..."
"Yo..."
"Iya sayang?"
"Kalau saya sudah mapan, sudah punya kerjaan, sudah punya uang sendiri, saya akan cari kamu..."
"Iya, saya percaya."
"Saya akan mengatakan sendiri pada anak itu, bahwa saya ayahnya."
"Iya sayangku."
Saya nggak mau kamu menganggap saya nggak bertanggung jawab dan nggak peduli sama anak kita."
Tangan kami saling menggenggam erat. Dan Ernest menangis lagi. Saya tau dia merasa sangat bersalah karena tidak mampu menghadapi masalah ini bersama saya. Ah..kasihan sekali dia. Saya pun bangkit dan memeluk dia sepuasnya.
"Jangan nangis sayangku. Kamu harus kuat. Saya melakukan ini karena nggak mau jadi peghalang cita-cita kamu. Okay?"
Kepalanya yang menempel di buah dada saya terasa sedang mengangguk mengiakan.
"Dan saya akan kecewa sekali kalau kuliah kamu nggak selesai. Jangan membuat kepergian saya sia-sia. Janji?"
Terasa kepalanya mengangguk lagi di balik sedu-sedannya.
Minggu depannya, sepulang kuliah, Ernest hanya menemukan appartment kosong. Saya pergi diam-diam tanpa meninggalkan surat atau pesan apapun. Saya tau dia sedih. Saya tau dia sangat kebingungan. Saya tau dia belum kuat untuk mendapatkan cobaan sebesar ini. Tapi seiring dengan waktu saya yakin pelan-pelan dia akan melupakan saya.
Dalam situasi seperti ini, orang lain tentu banyak yang menyalahkan Ernest sebagai orang yang tidak bertanggungjawab. Pasti ada yang bilang bahwa dia cowo pengecut yang mau enaknya sendiri.
Orang lain boleh berpendapat apa saja yang jelek-jelek tentang Ernest. Tapi saya tidak!
Memang saya hamil, tapi apakah itu kesalahan Ernest semata? Bukan! Itu adalah kesalahan saya juga. Bukankah saya juga mau melakukannya. Ketika kami melakukannya bersama, maka tidak ada yang berperan sebagai pemangsa, dan tidak ada yang berfungsi sebagai korban. Apalagi tidak pernah ada komitmen bahwa kalau hamil dia harus menikahi saya? Pernikahan tidak akan berhasil apabila dilakukan atas keterpaksaan.
Buat saya persoalan ini cuma masalah pilihan. Ernest memilih aborsi sebagai penyelesaian masalah. Sedangkan saya memilih untuk melahirkan dan memelihara jabang bayi ini. Pilihan saya berbeda dengan pilihan Ernest, karena itu tidak adil kalau saya memaksa dia untuk bersama menjalani pilihan saya tersebut. Saya mencintai Ernest dan saya ingin dia berbahagia.
Karena itulah saya memutuskan untuk menghadapi masalah ini sendiri. Saya paling tidak suka mengetahui ada orang menderita dan ternyata saya adalah bagian dari penyebab penderitaannya itu. Ada pepatah Cina yang mengatakan 'Kalau kamu tidak bisa membahagiakan orang lain, minimal jangan pernah menyusahkan orang lain.'
Hidup adalah tentang membahagiakan orang lain. Saya bersyukur ternyata Tuhan mendengar doa saya. Akhirnya saya mendapat tempat tujuan yaitu Long Island. Seorang teman SMP saya, Cindy, yang menikah dengan penduduk setempat bersedia menampung saya di rumahnya. Dia bersama suaminya tinggal dan menjalankan usaha Travel di sana.
Long Island adalah sebuah pulau di negara bagian New York. Luasnya 3567 km² dengan panjang sekitar 190 kilometer dan lebar sekitar 27 kilometer. Populasi penduduknya kira-kira 7,536 juta jiwa. Pulau ini merupakan pulau terpadat di Amerika Serikat. Secara administratif pulau ini dibagi menjadi empat county. County itu mungkin artinya hampir sama dengan kabupaten kalau dalam bahasa Indonesianya.
Dan yang menyenangkan, saya ternyata bisa bekerja membantu Cindy di perusahaan travelnya. Kadang saya membantu di bagian administrasi, kadang saya juga berfungsi sebagai tour guide. Intinya adalah saya bisa menghidupi diri saya sendiri. Betul apa yang dikatakan sebuah wisdom 'God always works in mysterious way' Saya yang drop out dari sekolah Travel and tourism justru mendapat pekerjaan sesuai dengan cita-cita saya. Terimakasih Cindy.
Ketika saat melahirkan tiba, saya beri anak saya namanya Cindy juga, sebagai ucapan rasa syukur pada Cindy sahabat yang telah rela menampung ketika saya sedang menghadapi cobaan.
Thank you Cindy. Thank you Lord.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H