"Kamu menuduh saya ML dengan orang lain?" Saya balik bertanya sambil mendorong tubuhnya dan menatap tajam kedua matanya.
Dia semakin panik, "Saya nggak tau. Yang saya tau, saya selalu keluarinnya di luar setiap kali kita ML." teriaknya lalu menangis lagi.
"Lalu bagaimana? Maksud kamu tadi mau bilang apa?"
"Kamu jangan paksa saya bersikap harus bagaimana. Saya nggak tau harus bersikap apa! Jangan paksa saya!"
"Saya nggak maksa kamu apa-apa kok..."
"Saya nggak siap jadi suami Yo. Kamu jangan menyudutkan saya."
"Saya nggak bermaksud menyudutkan kamu..."
"Saya nggak siap jadi seorang Ayah...!!! Saya nggak siaaaap!!!" Habis berkata begitu, Ernest berlari ke luar dan membanting pintu keras bukan main.
Saya cuma bisa menghela napas panjang. Kasihan Ernest, dia ternyata jauh lebih tidak siap daripada saya sendiri. Harus dipahami bahwa saat itu saya baru berusia 19 tahun, sedangkan Ernest 20 tahun. Siapa cowo yang siap menikah diumur segitu? Apalagi Ernest bukan hanya satu-satunya anak lelaki di keluarganya. Tapi dia juga anak tunggal. Kedua orangtuanya pasti mempunyai pengharapan besar pada masa depan puteranya ini.
Ernest tidak pulang ke appartment selama tiga hari. Di kampus dia juga bolos, entah pergi ke mana. Saya telepon, HPnya tidak aktif. Saya text semuanya tidak terkirim. Ketika saya mulai terpikir untuk menelpon orangtuanya yang tinggal di Indonesia, tiba-tiba saya menerima text dari dia. Isinya, 'Yoyo, nanti malam saya pulang. Kamu jangan ke mana-mana ya? Saya sudah punya solusi untuk menyelesaikan masalah kita."
Menjelang jam 9 malam, Ernest pulang. Saya sudah menunggu di meja makan dan menghidangkan Thai food kesukaannya. Dia memeluk dan mencium saya lalu duduk di meja makan. "Apa kabar Yo?"