"Kamu Cina, saya pribumi. Kamu Budha, saya kristen. Masalah kita banyak Yo." Ernest terus berteriak-teriak.
"Kamu mau dengar omongan saya nggak?"
"Saya bisa dibunuh sama Papa dan Mama Yo. Huhuhu..."
"Papa sama Mama kamu nggak perlu tau kalau saya hamil." jawab saya berusaha membuatnya tenang.
"Aduh tolong saya Yo. Saya harus gimana?"
"Kamu nggak harus gimana2. Saya akan piara anak ini sendiri."
"Tapi Yo... kalau anak ini lahir, orang juga akan tau kalau saya bapaknya?"
"Saya nggak akan bilang siapa-siapa kok."
"Tapi saya nggak mungkin membiarkan kamu sendirian Yo. Saya jadi jahat banget kedengarannya. Huhuhu...." Tangis Ernest semakin meledak. Saya peluk dia seerat mungkin. Ernest balas memeluk saya.
"Buat saya kamu bukan orang jahat. Saya akan selalu sayang sama kamu." bisik saya sambil mengecup ubun-ubunnya.
Makanan Thailand favorit kami yang biasanya selalu kurang karena kami berdua selalu lahap memakannya, kini sama sekali tidak tersentuh. Saya dan Ernest tidak punya napsu makan lagi. Kami berdua menghabiskan malam dengan berbaring di ranjang saling memunggungi dengan pikiran kusut masing-masing.