Mohon tunggu...
Yohanes Bara Wahyu Riyadi
Yohanes Bara Wahyu Riyadi Mohon Tunggu... Penulis -

Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Hanya Ingin Menjadi Ibu

26 Oktober 2017   23:22 Diperbarui: 26 Oktober 2017   23:25 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Obrolan kami lalu masuk dalam persiapan teknis yang ternyata mengejutkan Akita, dia tak menyangka perlu persiapan banyak untuk sebuah pendakian, tapi itu beres ketika aku mendapat jawaban dari penjaga penginapan, dia bisa menyewakan semua yang kami butuhkan.

"Aduh, seharian jalan kaki aja belum sampai ya, ntarkalau makanan kita habis gimana, kalau kebelet di hutan gimana, masaknya gimana, kalau longsor gimana, kalau kita hilang di hutan gimana?" tanyanya tak kunjung henti. Lalu aku menjelaskan kalau dia hanya membawa tas kecil berisi air, selebihnya aku yang bawa. "Kita naik sekuatnya, kita istirahat selama yang kamu butuh, kalaupun hanya sampai pos satu atau bahkan nggak sampai, kalau sudah sore kita akan berhenti dan buat tenda," jelasku yang masih membuatnya ragu, namun panggilan menjawab tantangannya lebih besar ketimbang rasa takut.

Pagi-pagi ternyata penjaga penginapan sudah menyiapkan semua peralatan dan logistik sesuai catatan yang kuberikan, kami berangkat menuju Senaru dengan rencana mulai mendaki siang hari. "Ini kok jam sebelas gak panas ya, udaranya sejuk banget, dingin," kata Akita setelah kami turun dari mobil. "Oke, kita makan dulu, jam satu kita mulai jalan," terangku. 

Jelas saja, setengah jam pertama serasa berjalan setangah hari. "Aduuh, jalannya terjal banget ya, ini kayak gini sampai atas?" keluh Akita. Belum sempat ku jawab kembali ia berujar. "Aduuh, pegel," sebari memegang pinggang dan mendorongnya sedikit ke depan. "Ayo, semangat, di atas indah lho Ta," semangatku.

Dua jam berlalu dengan lebih banyak istirahat ketimbang jalan, Akita pun tak lagi banyak mengeluh, mungkin ia mulai merasa bahwa keluhannya justru menghabiskan energi. Beberapa kali aku menarik tangannya saat melewati jalan yang cukup terjal.

"Waaah, bagus banget sih, fotoin aku dong," pintanya membelakangi awan. Di tempat ini aku beristirah agak lama, menikmati pemandangan. "Kita, aku mau bicara seuatu nih, tapi kamu jangan gimana-gimana ya? Jadilah seperti biasanya saja," pintaku. "Cerita apa Mas?" tanyanya penasaran. Namun karena hari mulai senja, aku mengajaknya melanjutkan perjalanan ke pos satu yang tak lagi jauh.

"Lho, kok banyak tenda sih Mas? Ini pada ngapain sih?" tanyanya dengan lugu.

"Ini tanda kita sampai di pos satu, ..." 

"Pos satu itu apa? Ada acara ya disini?" timpalnya tanpa meberi kesempatan untuk kujelaskan lebih jauh.

"Sepanjang perjalanan sampai pucak akan ada banyak pos semacam ini, ini lokasi untuk istirahat, mereka bikin tenda karena akan menginap disini, ada yang naik kayak kita, ada yang turun. Gitu Akita.." terangku.

"Mumpung masih terang yuk kita siap-siap. Aku pasang tenda, kamu masak nasi sama air. Bisa kan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun