Mohon tunggu...
Yohanes Bara Wahyu Riyadi
Yohanes Bara Wahyu Riyadi Mohon Tunggu... Penulis -

Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Hanya Ingin Menjadi Ibu

26 Oktober 2017   23:22 Diperbarui: 26 Oktober 2017   23:25 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya, bajuku basah kan resiko hujan, tanpa menawarkan mau atau tidak kok langsung meminjamkan baju. Aku juga bisa pulang sendiri kok, kenapa ojeknya disuruh pergi," gerutunya.

Saat ia mengerutu, bayangan masa lalu kembali lagi, gerutu Akita sama persis dengannya, kekasihku yang telah tiada. Mengerutu seperti anak kecil, pura-pura cemberut dan tak berani menatap mata. Tentu, gerutunya membuatku rindu dengan yang dulu.

Aku pun meminta maaf karena "memaksa", sekaligus menjelaskan kekhawatiranku akan kesehatannya jika memakai baju basah dan memaksa pulang dengan ojek saat hujan. Ia pun mereda namun menjadi bad mood,berusaha menutupinya dengan berpura-pura menikmati hal diluar kami, melihat keluar, bermain gawai, juga kadang menampakkan wajah bosan. Bukannya aku merasa tidak enak hati, sembari aku mengetik aku justru menikmati tinggah lugunya itu. 

"Oke, im done. Mari kuantar pulang," ajakku yang hanya dibalas gerakan pipinya keatas lalu turun dan manyunlagi. Heran, bukankah dia membutuhkan pekerjaan ini, bukankah dia tahu aku yang "berkuasa" disini, tapi ia seolah-olah tidak peduli siapa aku dan tidak mau memanfaatkan kesempatan. 

Dalam perjalanan kami hanya banyak diam, hujan semakin deras, jalanan semakin macet. Perutku juga sebenarnya sudah mulai lapar, tetapi enggan "memaksa" makan dengannya. Hingga Akita berucap yang memecah keheningan kami, "Kalau mampir makan dulu boleh nggak Mas Angkasa? Aku lapernih, hujan deras begini kalau sudah di kos malas keluar." Wah, ternyata getaran perutku bisa menggetarkan perutnya juga. 

Akita orang yang sederhana, dia menolak makan di restoran, ia justru menawarkan makan menu rica-rica balungan di selatan UGM. "Kamu ada keturunan Jepang po? Kok namanya kayak orang Jepang," tanyaku untuk membuka obrolan sembari menunggu pesanan tiba. "Nggak ada, namaku Anjani Kitaningtyas, waktu kuliah di Australia aku punya teman sekamar orang Jepang, dia termasuk mahasiswa pintar dan banyak dicari, tapi biasanya orang hanya tanya, 'You know student frrom Akita Japan?' karena dia dari Prefektur Akita. Sejak itu banyak orang panggil aku Akita, bisa jadi singkatan juga A itu Anjani, Kita itu Kitaningtyas," jelasnya detil.

--

Bulan demi bulan berlalu, kami semakin dekat.

Saat ini kami sedang menjalankan project di Batukliang, Lombok tengah.

Seperti biasa, setiap pagi hanya aku yang bangun pagi menikmati pemandangan tempat kami penginap sambil jogging, dan Kita yang hobi merajut dipagi hari. Sedang yang lain masih molor,maklum saja, kami bekerja tidak tergantung jam kantor, semalam kami mengedit video dokumentasi hingga jam satu dini hari. Hari ini bulan keempat kami bekerja sama, sudah tujuh provinsi kami selesaikan, meski personel tambahan, Akita nampak menikmati bersama kami.

Empat bulan bersama Akita semakin menyanderaku pada masa lalu. Jika hanya fisik saja yang mirip, mungkin aku bisa menahannya, tetapi hari ke hari yang ku lalui bersama dia justru aku menemukan kemiripan mereka hampir mendekati 100%. Tak hanya fisik, tapi sikap dan cara bertutur pun sama, bahkan hobi mereka sama, merajut. Gaya berpakaian juga sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun