Mohon tunggu...
Yohanes Bara Wahyu Riyadi
Yohanes Bara Wahyu Riyadi Mohon Tunggu... Penulis -

Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Hanya Ingin Menjadi Ibu

26 Oktober 2017   23:22 Diperbarui: 26 Oktober 2017   23:25 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandangan matanya membuatku mengingat seseorang dimasa laluku, kekasihku yang meninggal 5 tahun lalu, meninggal di pelukku saat hampir sampai di rumah sakit. Caranya memainkan rambutnya, caranya menopang dagu dikala bosan, tertawanya, senyumnya, dan postur tubuh mereka yang sama.

Aku bimbang, akankah rasa ini kulanjutkan dengan pertaruhan atau kubiarkan terpendam dalam hati yang tak akan terlihat dia ataupun kekasihku yang kini. Rasa yang masih tertambat masa lalu dan imajinasi masa depan bersama yang "mirip" mengaduk-aduk perasaan, apakah dia sungguh "kembaran" yang dikirmkan untuk memberiku kesempatan kembali hidup, atau aku hanya terjebak, tak bisa bedakan masa lalu dan kini. Tetapi ia sungguh mirip, lugunya tiba-tiba saja menarikku ke keluguan kekasihku 5 tahun lalu itu.

Hai pembaca, kalau kamu jadi penulis cerita ini, bayangkan ini terjadi padamu, kekasihmu yang sudah meninggal hadir kembali dengan kemiripan hampir 100%. Resiko apa yang kau ambil? Menyembunyikan rasa atau melanjutkan rasa? Sedangkan kau telah memiliki kekasih yang luar biasa merawat hatimu.

Baiklah, mungkin sulit bagimu, akan ku karang ceritanya demikian:

Akita adalah Cyberpsikologi  yang sedang di hayer perusahaanku sebagai tim tambhan dalam projectbesar akhir tahun ini. Sebagai manajer operasional dalam proyek ini, aku yang menentukan apakah Akita cocok atau tidak.

Sembari mengerjakan laporan yang harus dikirim ke kantor pusat di Jepang sore ini, aku menunggunya di ruanganku. "Sa, tuhorangnya udah dateng . Gua suruh sini ya?" Kemudian Budi membawa masuk seseorang yang tak sedikitpun mengalihkan pandangku dari layar laptopku. "Mbak Akita, ini Angkasa, dia manajer operasional di projectini, jadi lu musti baik-baik sama dia supaya bisa masuk tim." kata Budi. "Sa, gua tinggal ya." Sontak saja aku harus mengalihkan pandang pada orang yang seudah dipasrahkan Budi padaku.

Manis, nampak lugu dan pendiam, badanku seperti membeku beberapa detik melihatnya. "Silahkan duduk Akita," sambil melambaikan tangan pada kursi di depan kami. Dia memakai rok panjang dengan motif bunga angrek yang cukup besar, atasannya berwarna hita, dengan tas jinjing dengan ukuran cukup dimasuki notebook 14 inci. 

Wajahnya, sekali lagi tubuhku terasa membeku sepersekian detik memandanginya, ia mirip seseorang. Hingga pipinya terangkat karena senyum lebarnya, mungkin ia tersadar aku sedang membeku. "Perkenalkan, saya Angkasa, manajer operasional dalam ini," bukaku sambil mengajukan untuk berjabat tangan.

"Kita akan mengadakan workshopdi 14 provinsi dengan lebih dari 700 desa. Kita akan ajarkan tentang desain grafis, teknologi informasi, website, pokoknya hal-hal tentang teknologi informasi pada anak-anak kampung. Tim ini butuh seorang  Cyberpsikologi untuk menganalisa jumlah pengakses dan konten yang di akses dari desa-desa itu, supaya materi yang kita berika sesuai dengan kebutuhan mereka. Intinya itu, semoga kamu sudah baca email yang saya kirim kemarin," jelasku padanya.

Akita lulus dari SMKN 4 Bandar Lampung, kemudian melanjutkan studi di University of Sydney di bidang teknologi informasi yang ia rampungkan tahun lalu, artinya dia masih sangat muda dengan minim pengalaman. "Sudah pernah kerja?" tanyaku. "Belum," jawab gadis berpirang itu. Dari hasil mewawancarainya, Akita hanyalah mahasiswa yang tekun dan kurang dolan,tapi ia memiliki kemampuan menganalisis internet dan media sosial, keterampilan yang tim kami butuhkan. 

"Oke, senin depan kita akan meetingdengan seluruh tim. Saya akan kirimi data wilayah proyek kita, kamu bisa mulai cicil untuk bahan presentasi meeting,"tutupku. "Oke Pak Angkasa, terima kasih sudah memberi kesempatan."

Setelah dia menutup pintu, seperti masih meninggalkan sesuatu, kemiripannya mereka berdua mengusik hatiku.

Aku bersama lima orang lain sudah bersiap menuju coffe shopyang tak jauh dari kantor, karena hari ini sedang ada kunjungan dari Jepang dan semua meeting room dipakai. "Duh, maaf Mas Angkasa, saya telat, hujan bikin jalan macet. Lho, kok diluar semua?" kata Akita, orang terakhir yang kami tunggu. Hari ini ia memakai jeans dan kemeja hitam, yang sebagian basah.

"Kalian tunggu disini ya. Kita, ikut saya sebentar," kataku pada tim dan Akita. Dengan wajah setengah tegang, Akita pun mengekor. Kerana rumahku berjarak 1 jam dari kantor dan aku sering sampai larut malam bahkan tidur di kantor, jadi aku punya stok beberapa potong pakaian. "Bajumu basah, kamu pakai punya saya dulu Ta," sambil mengulurkan lipatan kaus lengan panjang warna biru dongker. Karena kaus itu agak tipis dan sedikit menerawang, aku mengambilkan jaket untuknya. "Diluar lagi hujan, kamu pakai ini juga, supaya bra mu juga tidak terlihat orang."

Kami berangkat dengan dua mobil, sebagian dengan mobil kantor bersama Akita, lainnya dengan mobilku. Hanya butuh 10 menit perjalanan, karena jika tak hujan kami biasanya hanya berjalan kaki. Dalam meeting,Akita ternyata mempresentasikan semua data dengan detil. Hasil analisisnya menjadi pedoman penting bagi tim kami, aku pun mulai optimis bekerja sama dengannya. Meetingberjalan lancar hingga hampir pada akhir jam kerja, semua tim berpamitan untuk kembali ke kantor untuk pulang, kecuali aku yang masih merangkum laporan meeting ini untuk atasanku. 

Setelah semua dengan mobil kantor, aku masih melihat Akita tengak-tengok di lobby coffe shop seperti menantikan sesuatu, hujan pun nampak belum reda. "Akita, kok kamu gak bareng mereka? tanyaku. Ternyata kosnya berlawanan arah dengan kantor, aku pun kembali mengajaknya masuk dan menjanjikan mengantar pulang setelah selesai merangkum laporan. "Nggak ah Mas, aku sudah pesan ojek. Nah itu ojeknya," sambil tersenyum dan melambaikan tangan pada ojek online yang mendekat. "Mas, berapa ongkosnya?" tanyaku sambil memberikan uang sejumlah ongkos yang disebutkan. "Maaf ya Mas, gak jadi," kataku pada ojek itu sambil mengajak Akita kembali masuk.

"Kamu itu kemana-mana ngojek?" tanyaku.
"Iya Mas."

"Kos kamu dimana?"

"Di Gejayan Mas."

"Oke, tenang aja, nanti aku yang antar."

"Cowok itu gitu ya, arogan, suka maksa."

Aku pun terkejut, bukannya ia mengucap terima kasih malah mengataiku arogan. "Maksud kamu?"

"Iya, bajuku basah kan resiko hujan, tanpa menawarkan mau atau tidak kok langsung meminjamkan baju. Aku juga bisa pulang sendiri kok, kenapa ojeknya disuruh pergi," gerutunya.

Saat ia mengerutu, bayangan masa lalu kembali lagi, gerutu Akita sama persis dengannya, kekasihku yang telah tiada. Mengerutu seperti anak kecil, pura-pura cemberut dan tak berani menatap mata. Tentu, gerutunya membuatku rindu dengan yang dulu.

Aku pun meminta maaf karena "memaksa", sekaligus menjelaskan kekhawatiranku akan kesehatannya jika memakai baju basah dan memaksa pulang dengan ojek saat hujan. Ia pun mereda namun menjadi bad mood,berusaha menutupinya dengan berpura-pura menikmati hal diluar kami, melihat keluar, bermain gawai, juga kadang menampakkan wajah bosan. Bukannya aku merasa tidak enak hati, sembari aku mengetik aku justru menikmati tinggah lugunya itu. 

"Oke, im done. Mari kuantar pulang," ajakku yang hanya dibalas gerakan pipinya keatas lalu turun dan manyunlagi. Heran, bukankah dia membutuhkan pekerjaan ini, bukankah dia tahu aku yang "berkuasa" disini, tapi ia seolah-olah tidak peduli siapa aku dan tidak mau memanfaatkan kesempatan. 

Dalam perjalanan kami hanya banyak diam, hujan semakin deras, jalanan semakin macet. Perutku juga sebenarnya sudah mulai lapar, tetapi enggan "memaksa" makan dengannya. Hingga Akita berucap yang memecah keheningan kami, "Kalau mampir makan dulu boleh nggak Mas Angkasa? Aku lapernih, hujan deras begini kalau sudah di kos malas keluar." Wah, ternyata getaran perutku bisa menggetarkan perutnya juga. 

Akita orang yang sederhana, dia menolak makan di restoran, ia justru menawarkan makan menu rica-rica balungan di selatan UGM. "Kamu ada keturunan Jepang po? Kok namanya kayak orang Jepang," tanyaku untuk membuka obrolan sembari menunggu pesanan tiba. "Nggak ada, namaku Anjani Kitaningtyas, waktu kuliah di Australia aku punya teman sekamar orang Jepang, dia termasuk mahasiswa pintar dan banyak dicari, tapi biasanya orang hanya tanya, 'You know student frrom Akita Japan?' karena dia dari Prefektur Akita. Sejak itu banyak orang panggil aku Akita, bisa jadi singkatan juga A itu Anjani, Kita itu Kitaningtyas," jelasnya detil.

--

Bulan demi bulan berlalu, kami semakin dekat.

Saat ini kami sedang menjalankan project di Batukliang, Lombok tengah.

Seperti biasa, setiap pagi hanya aku yang bangun pagi menikmati pemandangan tempat kami penginap sambil jogging, dan Kita yang hobi merajut dipagi hari. Sedang yang lain masih molor,maklum saja, kami bekerja tidak tergantung jam kantor, semalam kami mengedit video dokumentasi hingga jam satu dini hari. Hari ini bulan keempat kami bekerja sama, sudah tujuh provinsi kami selesaikan, meski personel tambahan, Akita nampak menikmati bersama kami.

Empat bulan bersama Akita semakin menyanderaku pada masa lalu. Jika hanya fisik saja yang mirip, mungkin aku bisa menahannya, tetapi hari ke hari yang ku lalui bersama dia justru aku menemukan kemiripan mereka hampir mendekati 100%. Tak hanya fisik, tapi sikap dan cara bertutur pun sama, bahkan hobi mereka sama, merajut. Gaya berpakaian juga sama. 

Jika aku masih sendiri, mungkin beban ini tak terasa berat, tetapi aku punya Lisa. Kami sudah hampir 4 tahun pacaran, dia yang menyelamatkanku dari derita luka masa lalu. Kami berencana menikah tahun depan. 

Memilih perempuan yang 4 tahun bertahan, berdarah-darah menemani dan merawat hatiku yang padas, atau perempuan yang ku harapkan mengembalikan nyala apiku seperti dulu, merupakan pilihan yang sulit. Kegelisahan ini, kemiripan mereka, perasaan ini aku tuliskan dan tersimpan di google drive, perasaan yang tak tertahankan untuk disampaikan, tetapi tak mungkin kusampaikan pada Akita atau Lisa, keduanya akan memunculkan konsekuensi yang tak sederhana. Maka aku tuliskan, hanya untuk diriku. Namun Lisa marah besar ketika tak sengaja membacanya saat hendak mengambil file di google driveku. 

Lisa menangis, ia kecewa karena setelah sekian lama aku masih tertambat dengan masa lalu, ditambah saat ini menjadikan masa lalu sebagai tameng untuk selingkuh. Pesan WhatApps yang panjang juga sebagai ekspresi kemarahannya. Kali ini aku tak bisa apa-apa, aku pun akan melakukan demikian jika Lisa menulis ia masih sayang dengan mantannya yang sudah menikah dan ingin kembali padanya. 

"Aku minta maaf, aku akan selesaikan ini secepatnya." balasku singkat untuk Lisa.

Dibulan ke empat ini, perusahaan memberikan rewardpada tim karena telah menyelesaikan saparuh projectdengan waktu yang lebih singkat. Kami berhak berlibur selama tiga hari. Lagi-lagi tanpa disengaja, aku lebih memilih tetap di penginapan atau ke tempat yang dekat saja, lagi pula tempat menginap ini sangat dekat dengan Gunung Rinjani, suasana desa dan pegunungan sudah membuatku serasa berlibur meski sedang bekerja. Selain aku dan Akita, semua memilih berlibur ke Bali.

"Kamu nggak ikut liburan?"

"Kita ini udahkeliling tujuh provinsi kan Mas, bukannya ini kayak liburan, pindah-pindah tempat, ke daerah yang keren-keren, semua dibayarin pula. Pekerjaan ini serasa liburan buatku, termasuk disini. Tuh, Rinjadi seindah itu bisa dilihat dari jendela kamar kita," katanya sambil menunjuk Rinjani yang gagah. "Kalau aku kuat, bakalan ku daki tu gunung," tambahnya.

Percakapan kami pun berlanjut sembari sarapan, mulai dari kisah-kisah bersama teman, pengalaman menarik, keluarga, dan lain sebagainya yang pada satu titik membuat kami tertawa lepas, pada titik lain terhisap pada ketegangan cerita. Hingga tak terasa kami berkisah selama lebih dari empat jam.

"Ta, Rinjani yuk?"

"Ayook," jawabnya lugas tanpa basa-basi, tanpa pedulikan apa yang sedang bergetar di dadaku. Aku pun terbata dan menjawab sekenanya. "Serius mau?"

"Kenapa nggak, aku belum pernah naik gunung, mungkin 10 langkah pertama aku udah minta pulang, tapi patut dicoba kan. Katanya lihat langit dari atas langit itu indah banget, besok gimana?" sekali lagi seolah dia berkata tanpa berpikir dan tanpa merasa dampaknya bagiku. Seolah perempuan tak mengerti apa dampak dari kemudahan yang ia sajikan, pura-pura tak tahu atau sengaja dengan mudah melepas umpan bagi hati yang lapar. 

Obrolan kami lalu masuk dalam persiapan teknis yang ternyata mengejutkan Akita, dia tak menyangka perlu persiapan banyak untuk sebuah pendakian, tapi itu beres ketika aku mendapat jawaban dari penjaga penginapan, dia bisa menyewakan semua yang kami butuhkan.

"Aduh, seharian jalan kaki aja belum sampai ya, ntarkalau makanan kita habis gimana, kalau kebelet di hutan gimana, masaknya gimana, kalau longsor gimana, kalau kita hilang di hutan gimana?" tanyanya tak kunjung henti. Lalu aku menjelaskan kalau dia hanya membawa tas kecil berisi air, selebihnya aku yang bawa. "Kita naik sekuatnya, kita istirahat selama yang kamu butuh, kalaupun hanya sampai pos satu atau bahkan nggak sampai, kalau sudah sore kita akan berhenti dan buat tenda," jelasku yang masih membuatnya ragu, namun panggilan menjawab tantangannya lebih besar ketimbang rasa takut.

Pagi-pagi ternyata penjaga penginapan sudah menyiapkan semua peralatan dan logistik sesuai catatan yang kuberikan, kami berangkat menuju Senaru dengan rencana mulai mendaki siang hari. "Ini kok jam sebelas gak panas ya, udaranya sejuk banget, dingin," kata Akita setelah kami turun dari mobil. "Oke, kita makan dulu, jam satu kita mulai jalan," terangku. 

Jelas saja, setengah jam pertama serasa berjalan setangah hari. "Aduuh, jalannya terjal banget ya, ini kayak gini sampai atas?" keluh Akita. Belum sempat ku jawab kembali ia berujar. "Aduuh, pegel," sebari memegang pinggang dan mendorongnya sedikit ke depan. "Ayo, semangat, di atas indah lho Ta," semangatku.

Dua jam berlalu dengan lebih banyak istirahat ketimbang jalan, Akita pun tak lagi banyak mengeluh, mungkin ia mulai merasa bahwa keluhannya justru menghabiskan energi. Beberapa kali aku menarik tangannya saat melewati jalan yang cukup terjal.

"Waaah, bagus banget sih, fotoin aku dong," pintanya membelakangi awan. Di tempat ini aku beristirah agak lama, menikmati pemandangan. "Kita, aku mau bicara seuatu nih, tapi kamu jangan gimana-gimana ya? Jadilah seperti biasanya saja," pintaku. "Cerita apa Mas?" tanyanya penasaran. Namun karena hari mulai senja, aku mengajaknya melanjutkan perjalanan ke pos satu yang tak lagi jauh.

"Lho, kok banyak tenda sih Mas? Ini pada ngapain sih?" tanyanya dengan lugu.

"Ini tanda kita sampai di pos satu, ..." 

"Pos satu itu apa? Ada acara ya disini?" timpalnya tanpa meberi kesempatan untuk kujelaskan lebih jauh.

"Sepanjang perjalanan sampai pucak akan ada banyak pos semacam ini, ini lokasi untuk istirahat, mereka bikin tenda karena akan menginap disini, ada yang naik kayak kita, ada yang turun. Gitu Akita.." terangku.

"Mumpung masih terang yuk kita siap-siap. Aku pasang tenda, kamu masak nasi sama air. Bisa kan?"

Akita hanya menggeleng dengan wajah bingung sembari mengangkat nasting dan kaleng gas. 

"Aku bantu kamu pasang tenda aja, aku pernah ikut pramuka waktu SMP, tapi kok tendanya nggak pakai bambu sih?" tawarnya.

Keceriaan kami pun pecah, ia kebingungan memasang tenda, berkali-kali salah memasukan frame. "Kamu tidur disini, aku pakai hammock tidur di luar," tawarku ketika tenda kami selesai. "Hammock itu apa?" tannyanya lagi. "Hammock itu kayak ayunan di halaman tempat menginap kita itu lho, tapi lebih besar," terangku. Akita pun justru meminta untuk tidur dengan hammock tanpa terbersit bahayanya. "Nggak, bahaya, ntarkamu diculik aku nggak lihat."

--

"Mas, katanya kamu mau cerita sesuatu," tagihnya saat kami sedang menikmati kopi susu hangat.

"Oke, aku akan cerita, tapi kamu jangan gimana-gimana ya."

Aku bercerita tentang almarhum, bercerita kemiripannya dengan almarhum.

"Pantesan, aku kok merasa kamu mulai agak aneh, kok perhatian gitu. Masak sih mirip banget?"

"Nih, fotonya, cantik, kayak kamu," kataku sambil mengulurkan gawai."

Obrolan kami semakin dalam, kami saling menceritakan tentang keluarga, cinta, dan cita-cita.

"Aku lagi pingin nulis buku tentang dia," ceritaku dengan menjabarkan banyak impianku.

"Ibuku hanya di rumah, dia punya usaha katering gitu. Aku ingin jadi seperti Ibu, di rumah rawat anak sambil punya usaha kecil-kecilan untuk bantu suamiku besok," kisahnya.

--

Bekerja bersama Akita adalah sebuah resiko, Lisa sudah tahu apa yang sudah aku sampaikan malam ini pada Akita, tentu saja ia cemas. Jika saja aku cerita pada Lisa kalau kami kamping berdua, ia pasti lebih kecewa lagi. Tapi aku musti mencari jawaban, Lisa yang sudah sedemikian kuat dan hebatnya menemaniku, atau Akita yang seperti kekasihku dulu. 

Resikonya adalah Akita merasa apa yang kurasa dan membalas rasa yang sama, membuat wanita jatuh cinta itu sulit tapi tak sesulit meminta kembali rasa cinta itu. Akita atau Lisa pasti akan terluka jika aku mengambil sesuatu yang sudah kuberikan pada mereka. Tapi resiko harus diambil. Saat ini aku tidak sedang berselingkuh, tetapi mencari kepastian untuk teguh dengan Lisa.

Dapat,

Impianku tinggi, imajinasiku liar, aku punya banyak cita-cita yang satu per satu ku wujudkan. Aku butuh seseorang yang kuat untuk menemaniku mengapai cita-cita itu. 

Akita memang hampir 100% sama dengan almarhum, mungkin aku akan bahagian jika melanjutkan hidup dengannya, tapi tentu itu cinta nostalgia. Aku butuh perjalanan hidup yang luar biasa, tak sekedar bekerja dan bergaji, tetapi bisa berkolaborasi dengan pasanganku. 

Akita hanya ingin menjadi ibu rumah tangga, menjadi kepastian untukku. Pasti bukan dia.

Kini aku pasti dan yakin memilih bersama Lisa, biar bagaimanapun cantik akan menjadi kerutan, tetapi daya juang akan menghidupkan perjuangan hidup. Aku tak mau ambil resiko dengan hidup sekedarnya. 

Kami tetap berkisah ngalor ngiduldengan kegembiraan sampai jam satu tengah malam. Berkali-kali Akita menguap. "Tidur?" tanyaku dijawab dengan anggukan sambil mengusap matanya. "Selamat istirahat ya, jangan takut, aku nggak akan keman-mana, aku di hammock samping tenda," sekali lagi hanya menjawab dengan anggukan, entah karena percaya atau sudah lelah. 

Akita masuk ke tenda dan aku berbaring di hammock. Sambil memandang bintang ditemani riuh rendah banyak kelompok yang bercengkrama, aku melamunkan apa yang beberapa jam terakhir ini ku lalui. Mengaku atau tidak, hampir saja aku berpindah hati ke Akita. tetapi untung saja aku menemukan jawabannya. Tanpa sadar sampai mana lamunanku, terasa ada yang mencolek pundakku.

"Kenapa Kit? Kamu lapar?"

"Kebelet nih Mas, pipis dimana nih?"

"Udah bawa tisu?" Akita mengangguk.

Aku mengantarnya ke tempat yang agak jauh dari kerumunan, kami membawa senter masing-masing. 

"Kamu kesitu, aku tunggu disini, senterku menyala supaya kami lihat aku. Tapi kalau kamu sudah sampai, matikan senternya biar nggak kelihatan orang," terangku. Aku pun masih mengawasinya berjalan beberapa meter sampai padam senternya lalu aku berbalik badan, sampai ada nyala senter yang mengenaiku baru aku kembali mengawasinya.

Akita memegang tanganku, tak kencang pertanda bukan karena ia takut, genggamannya cenderung terasa menahanku untuk dekat dengannya. Aku mengantarnya sampai kembali ke dalam tenda. Baru saja hendak menaiki hammock, Akita kembali memangki lirih.

"Ada apa Ta?"

"Aku takut, tendanya gerak-gerak, sering ada bayangan juga," keluh Akita.

"Gerak itu karena angin Ta, gak papa kok. Kalau bayangan itu ada orang lewat yang kena cahaya dari tenda sebelah. Aman kok."

"Kamu tidur di tenda aja sih Mas, aku takut beneran nih," pintanya, kali ini genggaman tangannya kencang, pertanda ia sungguh takut.

Tanpa meminta, ia menggenggam tanganku, seolah memastikan agar aku tak pergi. Aku pun mulai ngantuk, tiba-tiba Akita menyandarkan kepalanya di pundakku, tangannya diletakkan di dadaku setengah memeluk. Jantungku berdetak, apakah ia tak tahu akibat dari kepolosannya ini, aku sudah ambil keputusan tetapi ia menaburkan bunga di hatiku. Rasa ini tak bisa dilawan, tanganku merangkul punggungnya, dibalas pelukannya yang semakin erat. Ku cium keningnya dan mengusap punggungnya.

Akita cepat sekali tertidur, sedang aku justru tak bisa tidur, selain tanganku mulai keram ditindih badannya, aku juga sadar, pundak ini selama ini hanya disandari Lisa, malam ini menjadi sandaran wanita lain. Aku cemas, apakah aku sudah menyemai bunga di hati Akita, aku tak mau menyakitinya atau Lisa.

Mati aku, Akita sudah bangun, menyadarkan separuh badannya padaku, yang lebih membuatku cemas adalah dia sedang memandangiku, entah sejak kapan. Aku pun pura-pura biasa saja.

"Kamu udah bangun?" sambil sedikit mengerakkan badanku, tanda agar dia segera menyingkir.

--

Sejak saat itu, justru apa yang tak ku harapkan terjadi. Setelah projectkami selesai, tak pernah lagi kami bertemu. Aku hanya sanggup melihat instastory tanpa berani menghubunginya. Pernah suatu kali aku mengajaknya jogging,semata untuk mengembalikan perasaanku bersama almarhum, agar aku segera menyelesaikan novel tentangnya. 

Untunglah ia mengerti bahwa kini aku sudah dengan Lisa dan tetap akan dengan Lisa. Ia pun tak mencoba-coba menebar harum bunga asmara. Biarpun kami tak lagi bertemu, aku yakin sudah meninggalkan setangkai bunga di hatinya, setangkai yang kupetik dari taman hati Lisa. 

Semoga Akita menjadi ibu yang baik, istri yang sempurna untuk suaminya kelak. Resiko telah kuambil, jawaban telah kudapat, aku tetap bersama Lisa.

Angkasa Raga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun