Mohon tunggu...
Yohanes Bara Wahyu Riyadi
Yohanes Bara Wahyu Riyadi Mohon Tunggu... Penulis -

Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Hanya Ingin Menjadi Ibu

26 Oktober 2017   23:22 Diperbarui: 26 Oktober 2017   23:25 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika aku masih sendiri, mungkin beban ini tak terasa berat, tetapi aku punya Lisa. Kami sudah hampir 4 tahun pacaran, dia yang menyelamatkanku dari derita luka masa lalu. Kami berencana menikah tahun depan. 

Memilih perempuan yang 4 tahun bertahan, berdarah-darah menemani dan merawat hatiku yang padas, atau perempuan yang ku harapkan mengembalikan nyala apiku seperti dulu, merupakan pilihan yang sulit. Kegelisahan ini, kemiripan mereka, perasaan ini aku tuliskan dan tersimpan di google drive, perasaan yang tak tertahankan untuk disampaikan, tetapi tak mungkin kusampaikan pada Akita atau Lisa, keduanya akan memunculkan konsekuensi yang tak sederhana. Maka aku tuliskan, hanya untuk diriku. Namun Lisa marah besar ketika tak sengaja membacanya saat hendak mengambil file di google driveku. 

Lisa menangis, ia kecewa karena setelah sekian lama aku masih tertambat dengan masa lalu, ditambah saat ini menjadikan masa lalu sebagai tameng untuk selingkuh. Pesan WhatApps yang panjang juga sebagai ekspresi kemarahannya. Kali ini aku tak bisa apa-apa, aku pun akan melakukan demikian jika Lisa menulis ia masih sayang dengan mantannya yang sudah menikah dan ingin kembali padanya. 

"Aku minta maaf, aku akan selesaikan ini secepatnya." balasku singkat untuk Lisa.

Dibulan ke empat ini, perusahaan memberikan rewardpada tim karena telah menyelesaikan saparuh projectdengan waktu yang lebih singkat. Kami berhak berlibur selama tiga hari. Lagi-lagi tanpa disengaja, aku lebih memilih tetap di penginapan atau ke tempat yang dekat saja, lagi pula tempat menginap ini sangat dekat dengan Gunung Rinjani, suasana desa dan pegunungan sudah membuatku serasa berlibur meski sedang bekerja. Selain aku dan Akita, semua memilih berlibur ke Bali.

"Kamu nggak ikut liburan?"

"Kita ini udahkeliling tujuh provinsi kan Mas, bukannya ini kayak liburan, pindah-pindah tempat, ke daerah yang keren-keren, semua dibayarin pula. Pekerjaan ini serasa liburan buatku, termasuk disini. Tuh, Rinjadi seindah itu bisa dilihat dari jendela kamar kita," katanya sambil menunjuk Rinjani yang gagah. "Kalau aku kuat, bakalan ku daki tu gunung," tambahnya.

Percakapan kami pun berlanjut sembari sarapan, mulai dari kisah-kisah bersama teman, pengalaman menarik, keluarga, dan lain sebagainya yang pada satu titik membuat kami tertawa lepas, pada titik lain terhisap pada ketegangan cerita. Hingga tak terasa kami berkisah selama lebih dari empat jam.

"Ta, Rinjani yuk?"

"Ayook," jawabnya lugas tanpa basa-basi, tanpa pedulikan apa yang sedang bergetar di dadaku. Aku pun terbata dan menjawab sekenanya. "Serius mau?"

"Kenapa nggak, aku belum pernah naik gunung, mungkin 10 langkah pertama aku udah minta pulang, tapi patut dicoba kan. Katanya lihat langit dari atas langit itu indah banget, besok gimana?" sekali lagi seolah dia berkata tanpa berpikir dan tanpa merasa dampaknya bagiku. Seolah perempuan tak mengerti apa dampak dari kemudahan yang ia sajikan, pura-pura tak tahu atau sengaja dengan mudah melepas umpan bagi hati yang lapar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun