Mohon tunggu...
Bun SiawYen
Bun SiawYen Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga yang hobi membaca, menulis dan menonton.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rona Jingga di Marrakesh: Nada Tanpa Melodi

8 Februari 2022   22:15 Diperbarui: 8 Februari 2022   22:17 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Jakarta

Minggu, 20 Februari 2018


"Usha, bisa bantu aku?"

Aku, Nastusha yang tak mampu menolak permintaannya. Selemah itu aku pada pesonanya . Dia yang berada hampir 13.000 kilometer dari Indonesia.

Aku bodoh? Entahlah.

*****

Marrakesh
Sabtu, 29 April 2018

Hari kedua di Marrakesh, kuawali dengan bersigap bangun dan segera bersiap. Dari jendela kamar penginapanku, langit kota ini seakan mengajakku bergegas. Warna birunya yang tampak cerah, berpadu serasi dengan  sekumpulan awan putih dan matahari yang muncul malu-malu, membangkitkan asaku untuk suatu alasan.

"Assalam. Selamat pagi, Seeda," sapaku pada pemanduku selama di Marrakesh.

"Ah, kamu sudah siap?"

Aku mengangguk seraya tersenyum dan mengajaknya sarapan. Sarapan kami pagi ini namanya B'ssara, sejenis sup buncis. Rasanya cukup enak, dipadukan dengan roti yang dominan rasa bawang putihnya. Namun, untuk lidah Indonesiaku, nasi goreng jauh lebih enak dan mengenyangkan.

"Jangan tanya nasi di sini," ujar Seeda tergelak ketika kutanya, di mana aku bisa menemukan nasi.

Kata Seeda, meskipun mayoritas penduduknya keturunan Arab, soal kuliner, pengaruh Prancis yang dominan. Jadi tak ada nasi di Marrakesh, yang ada roti dan kentang. Nasib.

Selesai sarapan, resepsionis memberitahuku jika ada seseorang yang sedang menunggu di lobi "riad", istilah orang Maroko untuk penginapan. Seeda menatapku dan tersenyum.

"Akhirnya, dia mau juga menemuimu."

Aku balas menatap Seeda dan mengangguk. Semoga semesta membiarkan asaku terwujud.

Di lobi, tampak seorang wanita dengan setelan tunik dan celana panjang longgar sedang duduk dan mengamati ponselnya. Rambut merahnya tampak berombak, tergerai sepunggung. Cantik.

"Salam, labass? Selamat pagi, apa kabar?" sapaku seraya menyodorkan tangan.

"Salam, bikhir. Selamat pagi. Baik-baik, terima kasih, " sahutnya seraya menyalamiku.

Dia, Nora Ahblain. Namanya terpampang di beberapa media internasional di penghujung tahun 2016. Keberaniannya menyuarakan perlawanan, terhadap tindak pelecehan yang kerap kali terjadi di Marrakesh membuatku tertarik untuk menuliskan kisahnya. Ya, dia salah satu alasanku ke sini.

"Sudah sarapan?" tanyaku lagi.

Dia mengangguk, "Sudah."

Lalu aku mengajaknya ke lantai paling atas dari penginapan ini. Ada teras setengah terbuka yang nyaman untuk melakukan wawancara.

"Baiklah, apa yang ingin Anda ketahui? Bukankah Anda sudah membaca berita tentang saya?"

Aku tersenyum, berusaha bersikap lebih bersahabat. Tak mudah membujuknya, dia akhirnya bersedia menemuiku adalah berkah untukku.

"Seperti saya bilang di email, saya berencana menuliskan kisahmu yang inspiratif."

"Tapi saya belum setuju, kenapa Anda nekat datang?"

"Saya memang sudah punya rencana ke Maroko, tapi ke Casablanca. Menemui seseorang."

Nora mengernyitkan dahi, memandangku dengan ekspresi menyelidik.

"Menemui seseorang, pacar?"

Aku tersenyum, lalu menggeleng.

"Bukan. Ada kerabat di sana."

Nora menatapku seperti kurang percaya.

"Maksudku, ada seorang sepupuku yang menikah dengan pria Maroko," lanjutku, berusaha meyakinkannya.

Aku merasa wanita di hadapanku ini sedikit frontal dalam berbicara. Membaca penuturannya di media internasional, dia memang cukup blak-blakan.

Bagi Nora Ahblain, kata "pelacur" bukan kata asing di kota asalnya, Marrakesh.
Kata tersebut dilontarkan, mulai dari pintu berwarna merah muda, sampai ke sepeda motor butut yang mesinnya berusaha tetap berjalan di kemacetan jalan utama kota. Tidak mudah bagi perempuan di kota ini untuk berjalan ke luar rumah, tanpa dilecehkan. Begitu katanya di media kala itu.

Dua hari berada di Marrakesh, aku paham apa yang dikatakan Nora. Meski sudah berpakaian tertutup, tetap saja ada mulut-mulut usil yang melontarkan kata-kata tak sopan. Kalau sudah begitu, Seeda pasti buru-buru menarikku untuk menjauh.

"Oh, semoga dia mendapatkan suami yang baik, " ujar Nora.

"Semoga. Mereka baru setahun menikah."

Dia kembali tersenyum, sinis.

"Di sini, apa pun yang Anda lakukan, Anda seorang pelacur," ujar Nora sedikit emosi, lalu melanjutkan, "Jika Anda memakai gincu, Anda seorang pelacur. Sekali pun Anda memakai penutup kepala, Anda tetap dianggap pelacur."

Dia terdiam sejenak.

"Sekali pun Undang-undang telah disahkan, tak langsung menyelesaikan masalah. Karena, masalah utamanya adalah perempuan segan melapor, polisi enggan menyelidiki dan jaksa malas mengajukan tuntutan."

Aku dan Seeda terdiam. Ironis sekali mendengar pernyataan Nora. Kusentuh tangan Nora yang terasa sedikit gemetar. Lalu dia membalas sentuhanku dengan balik menggenggam erat tanganku. Sorot matanya menajam, menyiratkan luka dan sakit yang mendalam.

"Asal kamu tahu, tidak semua perempuan di sini mau melawan. Sebagian besar berusaha hidup dengan menghindari pertentangan. Mengalah dengan keadaan, itu yang mereka lakukan."

Nora mendengkus, sedikit keras. Ada kejengkelan di dalamnya.

"Memang tidak mudah menjadi seorang perempuan di sini. Itu sebabnya yang membuat saya berani melawan. Harus ada yang berani memulai, meski tak banyak perempuan yang mau menanggapi. Mereka takut nanti malah diperlakukan lebih buruk."

Seeda yang dari tadi hanya diam, kemudian ikut bersuara.

"Nora benar. Saya juga punya pengalaman buruk."

Aku dan Nora menoleh ke Seeda.

"Apa? Ayo cerita," ujarku ingin tahu.

"Bekerja di hotel dan terkadang menjadi guide bagi turis perempuan, membuat saya berpikir untuk belajar bela diri. Tapi, rupanya tak semudah itu."

Dia mendengkus lagi, kali ini lebih keras.

"Kenapa? Kamu kan cuma perlu mendatangi tempat kursus bela diri. Pasti ada, kan?" tanyaku penasaran.

Seeda tertawa getir.

"Saya tak bisa mendaftar begitu saja. Harus ada surat izin dari pemerintah."

Aku terbelalak tak mempercayai pendengaranku.

"Aneh sekali, mengapa begitu?"

"Dan tak hanya sampai di situ," lanjut Seeda lagi, "Untuk mendapatkannya, saya malah dilecehkan. Pejabat yang berwenang malah menertawai dan berusaha melecehkan saya."

Aku tak menyangka ada kejadian seperti itu. Kasihan sekali, dalam hal ini perempuan di Indonesia jauh lebih beruntung. Kita bebas melakukan apa saja tanpa kekangan seaneh itu.

Nora menggeram, tangannya terkepal dan wajahnya tampak menegang.
 
"Mimpi besar saya, perempuan di sini, mau belajar cara untuk menghentikan pelecehan seksual," katanya.

"Ketika ada yang melecehkannya, saya berharap perempuan itu, siapa pun dia, akan menampar wajah pelecehnya. Bukan hanya diam dan menganggap hal itu wajar."

Seeda menatapku. Ada keterkejutan terbaca jelas di matanya. Aku memaklumi, Seeda bukan Nora. Yang satu perempuan kebanyakan dan yang lain, aktivis yang terbiasa bicara lantang.

Wawancara berlangsung sekitar dua jam. Ada banyak kisah dibalik cantiknya kota merah ini. Kisah yang warnanya tak secerah warna-warni tembok bangunan, yang memukau mata turis seperti diriku.

"Kita istirahat dulu. Ehm, aku ingin makan siang. Nora, bisa ikut, kan?"

Nora bilang akan mengecek jadwalnya dulu. Dia menelepon seseorang. Aku tak paham dia bicara apa, tetapi sepertinya campuran bahasa Arab dan Prancis. Kedua bahasa itu memang lazim dipakai warga negeri ini. Kurang lebih sepuluh menit, dia pun menyudahi percakapan.

"Oke, aku ikut. Jadwalku kosong sampai malam."

Penginapan tempatku menginap, letaknya kurang dari satu kilometer ke Djemaa El-fna, alun-alun kota Marrakesh. Jadi kami putuskan untuk berjalan kaki saja. Lagi pula, hari itu sepertinya cuaca cukup bersahabat.

Kami memilih sebuah kafe sederhana bernama Snack la Place. Seeda menyarankan agar aku mengobati kerinduan pada nasi dengan memesan "couscous", sejenis pasta yang rasanya mirip "spagheti".  Sementara Nora dan Seeda memesan "brochettes"  alias sate. Lalu untuk minumnya, kami memilih "whisky marocain", teh manis yang diberi daun mint. Segar.

Setelah kenyang, Seeda mengajakku berkeliling "souk", pasar tradisional yang  menjual aneka kebutuhan. Aroma rempah-rempah berbaur asap sepeda motor, juga teriakan para pemilik kios dan warna-warni warung-warung yang tampak dipenuhi dengan tumpukan gerabah dan tas kulit, merangsang mata, hidung dan telinga siapa pun saat memasuki "souk".

Pasar tradisional adalah jantung Madina, kota tua Marrakesh dan telah menjadi pusat perdagangan di kota ini selama seribu tahun lebih. Semua penjual tumpah ruah di situ. Mulai dari penjual baju, tas, aksesoris, jus jeruk, sampai foto dengan kera juga menjadi dagangan di situ!

Namun, Seeda sudah mengingatku untuk berhati-hati. Jangan tergiur dengan tawaran gratis. Itu hanya jebakan.  Mereka sering kali agresif dan memaksa meminta uang, kalau kita tergoda.

Yang menjengkelkan, tatapan mereka itu seperti orang yang tak pernah melihat perempuan. Lebih parah lagi, ini seperti yang tadi diceritakan Nora tadi pagi, mereka dengan entengnya melakukan "catcalling" *. Ini yang sering membuat "solo female traveler" * tak nyaman. Untung saja, hari ini ada aktivis perempuan yang sedari tadi sibuk melotot dan mengomeli para lelaki iseng itu.

Seeda tersenyum, melihat Nora dengan lantang meneriaki penjual kaftan yang sepertinya mengucapkan kata-kata tak sopan.

"Tukang kaftan itu bilang apa, kenapa Nora marah-marah?"

"Dia mengatai kita pelacur."

Aku melotot, melirik tajam ke arah penjual yang masih berteriak seraya mengacungkan kepalan tangan. Astaga, ternyata Nora benar, kata itu terlempar dengan mudah hanya karena kami tak jadi membeli dagangannya.

Aku melihat pakaian kami bertiga. Sopan. Kami semua mengenakan tunik lengan panjang dan celana panjang. Bukan, ini bukan masalah pakaian. Entah apa yang ada di pikiran pedagang itu.

Kami memasuki lorong demi lorong di souk. Bagi Seeda dan Nora, mungkin ini tak lagi menarik. Namun buatku, ini sungguh memanjakan mata. Lalu, kuputuskan untuk membeli beberapa jenis oleh-oleh yang tak terlalu mahal.

"Sudah hampir salat asar, kita ke Koutoubia?" tanya Seeda meminta persetujuanku.

"Oh, oke. Never mind. Ayo."

Sedang asyik berjalan di lapangan Jemaa el-Fna, tahu-tahu Nora berteriak lagi.

 
"La syukran!

Kulihat seekor monyet mendekati Nora, diikuti seorang lelaki berjubah panjang dan bertopi khas Maroko yang disebut "fez". Dia mengucapkan kata-kata yang tak kupahami. Nora menatap dengan jengkel.

"La syukran!

Nora memberi aba-aba agar kami berjalan lebih cepat, ketika pemilik monyet itu mulai berteriak. Aku dan Seeda mengikutinya. Sepertinya, lelaki pemilik monyet tersinggung, mungkin itu teriakan makian juga.

"Ayo cepat, aku malas meladeni mereka," seru Nora.

Tak lama kami sampai di Koutoubia, mesjid terbesar di Marrakesh. Ketika aku hendak ikut masuk, Seeda menahanku. Aku menatapnya dengan heran.

"Maaf, Nastusha. Yang boleh masuk ke dalam hanya muslim. Kamu tunggu di luar saja, ya?"

Ah, iya aku lupa itu.

"Oh, oke. Aku mau melihat-lihat ke sekeliling saja."

Sambil menunggu Nora dan Seeda, aku mengitari mesjid tua ini. Indah dan artistik. Asal-usul namanya pun, unik. Seseorang pernah memberitahuku, jika dulunya tempat ini adalah tempat berjualan buku, yang dalam bahasa Prancis disebut "koutou". Oleh sebab itu, mesjid ini diberi nama Koutoubia.

Keindahan langit siang menjelang sore di Marrakesh, memang sungguh cantik. Bagai semu kemerahan pipi  anak perawan yang sedang malu-malu kucing. Semburatnya membuat mata terbuai. Sembari menunggu Nora dan Seeda, kuabadikan saja semua dengan kamera ponsel.

Selang tiga puluh menit kemudian ....

"Nastusha ... Nastushaaa ... gawaaat!"

Dari arah mesjid, Seeda berlari dengan wajah panik. Dengan tubuh gemetar dan suara terputus-putus, gadis itu berusaha menjelaskan apa yang terjadi.

"Nora ... Nora ... d---dia ... d---dia diculik!"

"Apa? Bagaimana? Aduh, kamu bicara apa Seeda?"

Aku jadi ikut panik. Kakiku bergerak ke sana kemari, kebingungan merespons cerita Seeda. Apalagi, ketika kulihat wajah Seeda yang pucat pasi, sepertinya sudah tak mendapat pasokan darah. Aku makin tak karuan saat Seeda mulai menangis histeris.

"Seeda, jangan nangis dong. Jelaskan dulu, ada apa dengan Nora. Diculik bagaimana?"

Seeda pun mengurai cerita di antara sedu sedannya. Sementara aku mendengarkan dengan dada berdentam, seumpama kendang yang dipukul dengan entakan keras.

"Jadi, kau tak melihat siapa pelakunya?"

Seeda menggeleng.

"Aneh, di situ kulihat cukup ramai. Tak ada yang berniat menolong?"

Seeda, lagi-lagi menggeleng.

"K---karena mereka pasukan khusus. Tak ada yang berani melawan."

Aku mengernyit heran.

"Tunggu dulu. Tadi katamu, kamu nggak lihat siapa pelakunya, kan? Tapi kok, kamu tahu mereka pasukan khusus. Gimana, sih?"

Seeda menelan ludah sebelum menjawab.

"M---maksudnya, aku nggak lihat wajah mereka, tapi semua orang di sini mengenal topi mereka."

"Kita harus lapor polisi, ayo!"

Seeda menahan langkahku.

"Percuma. Polisi takut pada mereka."

Aku jadi benar-benar panik sekarang.

"Lalu, bagaimana cara kita menolong Nora?" tanyaku dengan putus asa.

Seeda menatapku, matanya pu menyorot rasa yang sama. Putus asa. Ehm, langkah alternatif kuambil, menelepon seseorang. Kuceritakan semua yang dikatakan Seeda dan dia memintaku untuk menemuinya.

Menutup telepon, aku melihat Seeda yang juga sedang menatapku. Kutarik tangan gadis itu.

"Ayo, ikuti aku!"

Setengah berlari, kami kembali ke arah souk. Menyusuri lorong-lorong sempit yang mulai remang-remang karena matahari yang mulai redup cahayanya, bukan hal mudah. Lorong-lorong itu tak hanya dilalui manusia, tetapi juga oleh gerobak, keledai, sepeda motor dan entah apalagi. Mengikuti petunjuk arah yang diberikan orang yang meneleponku tadi, juga bukan hal mudah.

Sampai akhirnya pencarian kami berhenti di titik yang ditunjuk dalam ponselku. Sebuah penginapan sederhana di depan kami. Seeda menatapku takut-takut, tampaknya dia ragu-ragu untuk masuk.

"Aku nggak mau masuk, takut."

"Tapi kita harus. Ayo!"

Kutarik tangan Seeda meski dia enggan. Kami naik ke lantai dua. Kuketuk kamar di ujung lorong.

"Masuk!"

Kuputar pegangan pintu yang sudah sedikit berkarat. Meski tadi aku berusaha menguatkan Seeda, nyatanya jantungku tak sekuat itu, hanya saja bukan karena takut.

"Halo Usha, apa kabar?"

Mataku mengerjap. Itu dia!

"H---hai Rayan."

Mataku mengerjap lagi. Jantungku berdentam tak karuan.  

"Duduk," ujarnya menunjuk sofa panjang di dekat jendela.

Aku menutupi kegugupan, dengan menarik tangan Seeda yang tampak bingung.  Perlahan kuatur napas, agar tak kentara terlalu kegalauanku.

"Ehm, jadi bagaimana? Kau bisa menolongku?"

Rayan menatapku tajam. Oh my goodness. Selama ini, tatapan itu hanya kulihat lewat foto di akun media sosialnya.

"Seharusnya kamu paham situasinya. Urusan dengan para penguasa bukan hal mudah, tapi akan kuusahakan. Beri aku waktu. Oke?"

Aku mengangguk mengiakan. Sebenarnya aku masih belum ingin pergi, tetapi aku harus melakukannya. Lalu, aku pun berdiri hendak pamit. Namun ....

Buuuk!

Seeda terjatuh ke lantai. Pingsan.

"Kenapa harus bawa teman?"

Eh, kok?

"Dia pemanduku. Aku kan nggak hafal jalan di sini."

Dia menatapku. Kali ini aku malah takut. Dia tak seramah tadi. Lututku sedikit bergetar ketika dia berjalan mendekatiku, jangan-jangan dia akan ....

"Kenapa menutup mata? Kamu takut padaku? Bukankah kamu selalu bilang ingin bertemu denganku?" tanyanya ketika punggungku membentur tembok.

Demi Tuhan, apa ini? Kedua tangannya  Suaranya dingin dan menakutkan.

"Aku memintamu untuk menolongku, bukan membuatku terjebak masalah."

Aku hampir menjerit ketika tangan kirinya memukul tembok di belakangku.

"T---tapi aku sudah membuatmu mendapatkan Nora, kan? Itu permintaanmu. Seharusnya kau pun tak muncul secepat ini. Aku baru mendapat sedikit bahas untuk tulisanku."

Kuberanikan diri menjawab, walau takut. Aku takut Rayan akan memukulku.

"Kamu naif sekali. Ah, bukan naif tapi bodoh!"

Aku menatap kesal.

"Sebenarnya apa maumu? Kamu sengaja merayuku, pura-pura menyukaiku supaya aku mendapatkan Nora untukmu. Licik!"

Kukira Rayan akan marah, tetapi dia malah terbahak. Aneh sekali dia dan aku kaget bukan main ketika pintu kamar mandi terbuka, lalu Nora keluar dan langsung memeluk mesra Rayan.

"K---kalian?!"

Nora tertawa sinis.

"Penulis bodoh! Kau pikir Rayan benar-benar suka padamu? Dan, aku benar-benar aktivis?"

"Kurang ajar. Kalian berdua menipuku!"

"Salah sendiri. Katanya penulis itu pintar, ternyata kamu tidak."

"Apa tujuan kalian? Mengapa melibatkanku?"

Rayan dan Nora saling pandang lalu kembali terbahak. Kurang ajar sekali mereka!

"Kamu mau tahu? Dengar ... menyeretmu ke sini adalah upaya membuat media barat melirik lagi pada Nora. Mereka bersedia membayar mahal, untuk wawancara eksklusif dengan aktivis perempuan dari negara Islam."

Aku terbelalak, sungguh tak menyangka aku diperalat demi uang! Padahal, kata Rayan, dia menculik Nora untuk kakak lelakinya. Dia bilang, kalau Nora menolak menikahi kakaknya, maka kami tak bisa menikah. Ya, Tuhan, mengapa aku mempercayai omong kosong itu!

"Sayang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Nora.

"Kita hapus saja jejak kedua orang ini. Lebih baik be---"

Suara gedoran, disusul dobrakan pintu membuat kami semua terkejut. Polisi! Wah, bagaimana ceritanya polisi bisa ada di sini?

"Diam! Jangan melawan! Dasar penipu, tak ada jera-jeranya. Rupanya penjara memang tempat paling nyaman untukmu, ya, Sa'id."

Sa'id? Aku menatap wajah penipu sialan itu dengan kesal.

"Jadi namanya Sa'id?"

"Ya, betul. Nona, sebaiknya Anda jangan terlalu mudah percaya laki-laki di dunia maya. Dia selalu menggunakan identitas berbeda untuk melakukan penipuan."

Aku mengangguk malu. Memalukan sekali aku ini. Terbang jauh-jauh, hanya untuk seorang penipu.

Baru akan bertanya, mengapa polisi bisa datang menyergap, tiba-tiba Seeda bangun. Aku maju ingin menolongnya berdiri, tetapi polisi wanita yang ada di situ lebih sigap membantunya.

"Seeda, kamu nggak apa-apa?" tanya si polisi wanita.

Eh, kok polisinya kenal Seeda?

"Seeda ini informan kami. Dia yang mengirim sinyal pelacak ke kami."

Ya, Tuhan. Apa hanya aku yang tak tahu apa-apa, di sini?

Epilog

Jakarta
Sabtu, 6 Maret 2021

Hampir tiga tahun berlalu, tetapi sakitnya masih berasa. Tanganku menggores bait-bait luka berbalut keperihan, yang entah kapan akan tersapu maaf. Ya, aku masih sulit memaafkannya.

Hidupku bagai nada tanpa melodi. Aku takut untuk percaya lagi. Entah sampai kapan.

Nada Tanpa Melodi

Wahai Tuan,
Sadarkah kau saat dusta terucap, hanya menunggu waktu untuk membuka pintu kebenaran
Seberapa cepat dustamu melesat, kebenaran akan mengejarnya juga

Wahai Tuan,
Kau bisa sembunyikan dustamu
Kau bisa beriku kata-kata manis penuh tipuan
Karena kebenaran akan selalu menemukan jalannya
Laksana bayangan selalu menemukan pemiliknya

Wahai Tuan,
Tahukah kau, sakit telah yang kau taburkan
Membuatku hidupku bagaikan  nada tanpa melodi
Hambar tanpa rasa
Datar tanpa rupa

Ini untukmu, siapa pun namamu. Rayan atau Sa'id!

-end-

Palembang, 8 Februari 2022


Note:

* bentuk pelecehan seperti siulan, atau komentar laki-laki saat sedang berada di jalan, yang membuat si perempuan tidak nyaman. Banyak yang menganggap jika itu hal biasa, hanya sekadar usil saat laki-laki menggoda perempuan. Tidak banyak yang tahu, bahwa hal itu ternyata memiliki arti kecenderungan seksual.

* perempuan yang melakukan perjalanan seorang diri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun