Seeda tertawa getir.
"Saya tak bisa mendaftar begitu saja. Harus ada surat izin dari pemerintah."
Aku terbelalak tak mempercayai pendengaranku.
"Aneh sekali, mengapa begitu?"
"Dan tak hanya sampai di situ," lanjut Seeda lagi, "Untuk mendapatkannya, saya malah dilecehkan. Pejabat yang berwenang malah menertawai dan berusaha melecehkan saya."
Aku tak menyangka ada kejadian seperti itu. Kasihan sekali, dalam hal ini perempuan di Indonesia jauh lebih beruntung. Kita bebas melakukan apa saja tanpa kekangan seaneh itu.
Nora menggeram, tangannya terkepal dan wajahnya tampak menegang.
Â
"Mimpi besar saya, perempuan di sini, mau belajar cara untuk menghentikan pelecehan seksual," katanya.
"Ketika ada yang melecehkannya, saya berharap perempuan itu, siapa pun dia, akan menampar wajah pelecehnya. Bukan hanya diam dan menganggap hal itu wajar."
Seeda menatapku. Ada keterkejutan terbaca jelas di matanya. Aku memaklumi, Seeda bukan Nora. Yang satu perempuan kebanyakan dan yang lain, aktivis yang terbiasa bicara lantang.
Wawancara berlangsung sekitar dua jam. Ada banyak kisah dibalik cantiknya kota merah ini. Kisah yang warnanya tak secerah warna-warni tembok bangunan, yang memukau mata turis seperti diriku.
"Kita istirahat dulu. Ehm, aku ingin makan siang. Nora, bisa ikut, kan?"