Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jiwa Tersangkar

18 Desember 2017   11:56 Diperbarui: 18 Desember 2017   12:21 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hidup itu bingung. Bingung. Bingung.  Ya, bingung saja. Bingung itu  linglung. Linglung itu konyol. Dan, konyol itu ideot. Aish.., aku ini ideot?"

"Ya, kau ideot. Bukankah kau menjalani hidup yang bukan pilihanmu?

"Betul. Tapi, aku ingin membuat ibuku bahagia."

Bahagia? Bukankah dia memperalatmu untuk menutupi perilaku bobroknya terhadap ayahmu?"

"Aku sudah memaafkannya dan tak pernah ingin mengingatnya lagi."

"O, ya? Tapi bukankah kau lebih memilih untuk kawin dari pada menjadi imam selibater yang berarti kau tidak boleh kawin?"

Inilah pergulatan batin Misel dalam permenungan pribadinya. Ia sungguh merasa terpenjara dalam kebingungan, antara memilih untuk mengikuti ibunya yang menghendaki agar ia menjadi imam/pastor berjubah putih dan tidak kawin, ataukah mengikuti dorongan batinnya untuk hidup sesuai kodratnya sebagai manusia yaitu kawin.

Saat itu matahari telah pergi. Gelap menyelimuti jagat. Suasana sepi, sunyi, hening, mengitari dan menyelimuti rumah karantina. Misel dan teman-temannya asyik bergulat dalam kesendirian. Semuanya taat dan setia menjalankan rutinitas pribadi dalam kamar masing-masing.

Tak ada bunyi-bunyian yang mengganggu. Selain teriakan babi di kandang yang sedang berebut makanan. Atau, mungkin sedang saling merayu dan berjuang menyetubuhi satu sama lain.

Teriakan babi memang bukanlah hal yang asing bagi Misel dan teman-temannya. Teriakannya sudah sekian akrab di telinga mereka sehingga tidak lagi merasa terganggu. Mungkin jika babi tidak berteriak akan muncul rasa kangen pada teriakan hewan tersebut.

Babi adalah binatang favorit. Setiap hari Sabtu malam, daging babi menjadi santapan yang selalu hadir di meja makan. Semua menyantapnya dengan penuh suka cita. Tidak ada haram-haraman atau najis-najisan. Semuanya halal. Dan, tak ada efek buruk yang dihasilkan kecuali badan yang tambun mirip tubuh hewan yang disantap.

Malam itu Misel bertugas sebagai piket pemegang waktu. Ia bak raja penguasa jagat sehingga waktu pun bisa dikuasainya. Tapi ia tidak dapat menjalankan fungsi itu dengan sewenang-wenang. Sebab jika hal itu terjadi, ia bakalan dipecat dengan tidak terhormat.

Ia sesungguhnya adalah suruhan dari seperangkat aturan yang sudah dibuat. Semuanya taat-tunduk pada aturan tersebut. Doa, belajar, kerja, makan dan berolah raga. Semuanya sudah dijadwalkan dengan rapi dan teratur.

Konon aturan ini akan membentuk karakter mereka guna menjadi pribadi yang benar-banar siap untuk mengabdi dalam tugas pelayanan sebagai imam. Mereka dilatih untuk menahan syawat karena kelak mereka tidak akan menikmati kemolekan tubuh perempuan meski hal itu selalu terlintas dalam benak mereka untuk melakukannya berkali-kali. Mereka telah memutuskan untuk tidak kawin seumur hidup.

Jarum jam menunjukkan pukul 19.00. Misel bangun dari meja belajarnya, menggerak-gerakan badan sejenak. Kemudian, merapikan tumpukan buku-buku filsafat dan teologi yang sudah dipelajari dan yang akan dipelajarinya. Ia membuka pintu kamarnya dan menutupnya kembali. Ia menuju menara Kapela(gereja) kemudian membunyikan lonceng sebanyak tiga kali.

"Teng...teng...teng..."

 Bunyi lonceng itu memecahkan keheningan sekaligus memberitahukan kepada semua penghuni rumah karantina untuk meninggalkan kesibukan dirinya. Penanda waktu merupakan hal yang sangat penting.

Bunyi lonceng adalah instruksi tunggal untuk aneka jadwal kegiatan yang telah disusun. Ini sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Semuanya sudah baku dan sulit terbantahkan.

Bunyi lonceng malam itu mewajibkan Misel dan teman-temannya, serta semuanya menuju ruang makan. Ruang makan yang sangat luas, yang bisa menampung hingga tiga ratusan orang. Penghuni rumah karantina memang bisa mencapai jumlah sekian.

O ya, penghuni rumah karantina ini tergolong spesial. Spesial karena penghuninya hanya sejenis, yakni berjenis kelamin laki-laki. Mereka semua adalah pejantan tangguh nan tampan gaga perkasa sekaligus perjaka. Hal inilah yang membuat mereka dikagumi, dihargai, dihormati oleh masyarakat, juga oleh para perempuan, perawan, janda, duda, kakek, nenek, bayi, anak-anak, yatim, piatu dan yatim piatu.

Jamuan makan malam merupakan sesuatu yang paling ditunggu. Maklum, malam itu itu adalah malam minggu dengan menu spesial soup daging babi. Menu kesukaan mayoritas penghuni rumah karantina. Lagi pula tidak ada menu lain yang menjadi alternatif. Semua menikmatinya dalam nuansa senda gurau, persaudaraan nan kokoh dalam satu suara yakni suara para pejantan tangguh.

Tidak ada tampang perempuan di rumah karantina selain seorang juru masak dengan penampilan seadanya. Meski demikian, dia menjadi yang paling cantik  dari semua yang ada di sana. Karena memang hanya dialah satu-satunya perempuan yang ada di rumah itu. Kadang ia terlihat genit. Kadang juga cuek dan sombong tatkalah Misel mengganggunya dengan candaan penuh gelak tawa.

Misel menaruh perhatian pada Juru Masak itu. Orang-orang di rumah karantina itu tidak memedulikan, apa lagi curiga. Teman-temannya juga berpikir bahwa tidak mungkin Misel jatuh cinta pada perempuan itu.

Apa yang dilakukan Misel sebenarnya sudah kelewat batas. Ia sering pura-pura tak sengaja menyenggol pantat juru masak yang hitam, gendut dan keriting itu. Perempuan juru masak itu sama sekali tak menyadari kalau Misel memang benar-benar ingin melampiaskan syawatnya.

"Aiish, Ini tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi. Aku harus menekan hasratku terhadap perempuan itu. Aku harus tahu diri."

Demikianlah Misel bergumul dalam hatinya. Namun, semakin ia mengekang dirinya, semakin hasratnya begitu kuat untuk menggauli perempuan juru masak itu.

"Aiissh...,hasrat, engkau terasa lebih kuat dari logika. Sebegitu dasyatnya engkau menguasai nalarku, hingga aku mengabaikan perbedaan antara benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Aku tak bedanya dengan binatang yang memiliki insting untuk kawin. Aiish..., apakah aku sama dengan babi di dalam kandang itu?"

Misel terus bergulat dengan hasratnya sendiri. Hasrat yang kian bergelora untuk menyetubuhi perempuan juru masak itu. Dalam kaca mata syawatnya, wanita itulah yang paling cantik. Tidak ada pilihan lain karena dialah satu-satunya wanita yang ada di rumah karantina itu.

Misel sadar betul kalau keberadaannya di sana adalah untuk menuntut ilmu, membentuk karakter yang dipersiapkan secara khusus guna menjadi pastor/imam selibater.Namun, ia tak kuasa menahan hasrat yang kian mempengaruhi pikirannya.

"Beranak cuculah, dan bertambah banyak, penuhilah  bumi dan taklukanlah itu."

Demikian kitab Kejadian pasal 1 ayat 28 menegaskan. Sebuah amanat kitab suci yang tentu saja mesti diamalkan dan dilaksanakan dalam hidup. Ayat kitab suci inilah yang kian bergemuruh dalam hati Misel. Nats tersebut dirasakan sangatlah mendukung hasrat-syawatnya yang menggebuh-gebuh itu.

Namun ia belum benar-benar ingin menuntaskannya. Ia terhalang oleh kuatnya aturan yang membelenggu syawatnya. Walau demikian ia berusaha mencari kesempatan agar bisa mengganyang dan menikmati tubuh gempal perempuan juru masak di rumah karantina itu.

Suatu waktu di pagi hari nan subuh, Misel berjalan mengendap-endap agar tidak kedengaran bunyi langkah kakinya menuju dapur. Seperti biasanya perempuan juru masak itu bangun lebih awal dari semua penghuni rumah karantina.

Dari balik jendela dapur, Misel menatap seksama tubuh perempuan juru masak itu yang asyik membersikan ketel air. Misel terlelap dalam hasrat yang sulit terbendung. Ia bagai buaya lapar yang siap mencabik dan menelan mangsanya.

Apa dayanya bunyi lonceng di menara Kapela menghentikan lamunan dan hasrat liarnya.

"Teng...teng...teng...!"

"Aiish... lonceng. Engkau lagi-lagi menjadi penguasa atas diriku. Bukankah engkau benda mati? Tapi bagamana mungkin yang mati bisa menguasai yang hidup? Engkau benda mati yang hanya bisa berbunyi jika dibunyikan. Namun siapa gerangan yang membunyikan lonceng itu. Mungkinkah  angin yang menggerakkannya?"

Kata-kata yang diungkapkan Misel dalam hatinya tak lebih sebagai ekspresi kekesalannya atas bunyi lonceng yang membuyarkan libido tak terbendungnya. Namun, ia juga dikagetkan oleh perempuan gembrot yang tanpa ia sadari memperhatikan gerak-geriknya di balik jendela dapur.

Rupanya perempuan itu tahu apa yang telah dilakukan Misel yakni menggerak-gerakan kepalanya, tangannya, pantatnya, dan kakinya. Entah, bersetubuh dengan tembok, angin, jendela atau bayangan dirinya sendiri.

Misel terperanjat tatkala perempuan pembangkit hasratnya berdiri tegap di hadapannya dengan senyum penuh kemenangan.

"Misel, mengapa engkau ada di sini? Apa yang sedang engkau lakukan di pagi yang subuh ini?"

Tanya wanita itu dengan lembut dan pura-pura menyelidiki. Padahal ia sudah tahu apa yang telah dilakukan Misel dalam kesendirinya. Misel menatap perempuan itu dan meresponnya dengan tergagap-gagap.

"Hhmm... a...a...ku, a...a...ku, aku sed...sed...dang ber...ber...ber...do...do..do...a."

Sejenak mereka saling beradu pandang. Misel tak sanggup mengelak hasrat liarnya lewat kerlingan mata kirinya ke arah perempuan juru masak itu. Namun kesempatan itu terpaksa harus dilewatkan, soalnya semua penghuni rumah karantina sudah bangun.

Melihat aksi Misel terhadap dirinya, perempuan juru masak itu menarik nafas dalam-dalam. Ia terpesona oleh kerlingan mata Misel. Mata seorang pria bertubuh atletis dan berwajah tampan yang jika disandingkan dengan dirinya akan terlihat kontras. Hitam versus putih, keriting versus lurus, gembrot versus langsing, rendah versus tinggi dan jelek versus tampan.

"Tapi..., mengapa Misel melakukan hal itu? Bukankah dia adalah pria berjubah putih yang kelak akan menjadi imam selibater? Adakah dia sedang menyembunyikan syawat di balik jubah?"

Inilah sekelumit pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran perempuan juru masak itu. Ia bingung bercampur gembira dengan keraguan yang teramat besar. Ia sadar betul jika paras dan postur tubuhnya sama sekali tidak membangkitkan minat pria pada umumnya.

Kalaupun ada pria yang kepingin, itu mungkin hanya berlaku untuk pria yang memiliki banyak riwayat ditolak oleh perempuan. Atau, bisa juga oleh pria yang tidak kebagian perempuan yang menjadi pasangan seksualnya.

Perempuan juru masak itu terus bertanya dalam hatinya:

"Bagaimana mungkin aku yang hitam keriting, gembrot pendek seperti ini, bisa memikat mata Misel, pria tampan berjubah putih nan imut itu? Jika badanku tidak membangkitkan daya tarik pria, mengapa pria seperti Misel  menaruh minat pada tubuhku?Ataukah aku hanyalah obyek pelampiasan syawatnya? Aiish..., pria memang begitu. Bertampang saleh dan luguh namun hatinya memendam syawat yang menjulang."

Perempuan juru masak itu tidak habis-habisnya berpikir tentang apa yang telah dilakukan Misel terhadap dirinya. Maklumlah sepanjang hidupnya ia belum pernah menjalin hubungan yang spesial apa lagi hubungan intim dengan laki-laki. Perempuan juru masak itu menyandang julukan sebagai ra-tu (perawan tua).

Fakta ini mempertegas kenyataan kalau dia memang tidak membangkitkan hasrat para pejantan tangguh yang ada di rumah karantina itu. Atau mungkin saja ada lelaki yang terpaksa memendam hasrat itu. Hal itu terjadi karena takut dinilai tak pantas untuk bertahan di rumah karantina.

O ya, rumah ini kadang disebut juga sebagai rumah suci karena para penghuninya belajar untuk hidup suci dengan menahan syawat. Mereka belajar dari para guru dan maha guru yang bergelar master pun doktor dalam bidang filsafat dan teologi jebolan universitas ternama di negara-negara benua biru, sebut saja Eropa.

Tidak tanggung-tanggung mereka memiliki nalar yang mumpuni untuk mengerti, memahami dan mengajarkan atau menjelaskan tentang Tuhan yang absolut dan manusia yang fana. Kelak hasil didikan mereka akan menjalani hidup suci dengan mengabdikan diri sebagai saksi dan pewarta kebenaran iman kristiani ke seluruh penjuru dunia yakni Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Australia.

Mereka menjelajahi dunia, menguasai bahasa internasional, menguasai ilmu pengetahuan tentang ke-Tuhan-an, ke-manusia-an, termasuk menguasai syawatnya. Slogan utama dalam menguasai syawat adalah menyangkal diri atau bisa juga disebut menipu diri. Mereka berani mengatakan tidak pada hasrat kodrati manusia, yaitu kawin.

Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa perempuan juru masak itu tak pernah mendapat belaian lembut lelaki di rumah karantina itu. Pasalnya, ia berada di tempat di mana hal itu haram dan najis untuk dilakukan.

Namun, pengalaman perjumpaannya dengan Misel memunculkan keraguan dan tanda tanya besar akan integritas diri pribadi dari para penghuni rumah karantina. Hal itu pula yang mendorongnya untuk terus bergumul guna mencari dan menemukan jawaban, sekurang-kurangnya untuk memuaskan dahaga keingintahuannya:

"Jika semua pria tampan berjubah putih di sini adalah manifestasi keagungan Ilahi maka sesungguhnya Misel tak seharusnya berperilaku genit terhadapku. Mungkinkah perilaku Misel menggambarkan perilaku mereka pada umumnya? Tapi..., rasa-rasanya itu tidak mungkin. Mereka semua yang ada di sini dekat dengan Tuhan. Mereka selalu mendaraskan mazmur dan kidung pujian setiap pagi, siang, sore dan malam hari menjelang tidur. Mereka semua tidak mudah dijatuhkan oleh godaan apa pun bahkan paha perawan yang tersingkap sulit mereka tatap. Tetapi mengapa Misel cowok tampan itu? Aiish..., aku harus menasehatinya dengan nalar sederhana yang kumiliki agar ia menekuni cara hidup selibat secara benar dan jujur."

Juru masak ini memang satu dari sekian banyak orang yang mendukung perjalanan hidup kaum selibater. Dukungannya sangat tulus dan tanpa pamrih. Sebuah dukungan yang mengikat namun tetap membiarkan untuk bebas memilih antara menjadi imam selibater yang memang wajib tidak kawain, atau hidup berkeluarga yang sudah pasti kawin.

Perempuan juru masak itu berusaha mencari waktu yang tepat untuk bisa berbicara empat mata dengan Misel lelaki bermata mesum itu. Tetapi, bukanlah hal yang mudah baginya untuk bertemu Misel, pria yang terpenjara dalam ketatnya aturan dan padatnya kegiatan akademik yang menjadi rutinitas warga di rumah karantina nan suci itu. Ia sendiri juga terjebak dalam beratnya pekerjaan sebagai juru masak yang ia emban sendirian.

Walau demikian, perempuan juru masak itu memiliki keyakinan sendiri:

"Besok pagi aku akan bangun lebih awal dari biasa. Aku yakin si mata mesum itu akan bangun lebih awal lagi untuk melakukan aktivitas abnormalnya."

Begitulah keyakinan perempuan juru masak itu. Dan keesokan harinya, sebagaimana biasa, juru masak itu melaksanakan tugasnya. Ia menyiapkan sarapan pagi bagi para penghuni rumah karantina.

Ia sudah menduga kalau Misel akan melakukan perbuatan seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya, yaitu mengintipnya dari balik jendela dapur sembari menyetubuhi bayangan dirinya. Ia yakin benar kalau Misel masih melakukan hal serupa. Dan, demikianlah adanya.

Dengan penuh was-was bersama jantung yang berdegup kencang, perempuan juru masak itu memberanikan diri mendekati Misel yang asyik menyetubuhi dirinya sendiri dengan mata terpejam.

"Misel..., aku tahu apa yang sedang engkau lakukan. Rasanya, ini bukan kali pertama engkau melakukan itu sembari mengintipku dari balik jendela."

Sergap wanita itu dengan penuh kelembutan dan sopan santun. Tak ada bunyi-bunyian. Suasana pagi subuh yang sangat lengang. Tak ada orang lain selain mereka berdua, yang satu memendam syawat dan berusaha melampiaskannya sedangkan yang lain lagi menyimpan nasehat saleh nan suci. Sergapan wanita itu membuat Misel kaget hingga terjatuh.

"Haaaa??? Apa katamu? Aku tak mengerti maksudmu."

Meski begitu Misel tersenyum gembira dalam hatinya. Karena perempuan dalam lamunannya ternyata mengetahui apa yang telah dilakukannya. Ia menaruh harap agar perempuan juru masak itu bakal mengerti maksudnya. Ia menghendaki agar ia menuntaskan hasratnya saat itu juga.

Namun, hal itu di luar perhitungannya. Lagi-lagi bunyi lonceng di menara Kapela membuyarkan segalanya.

"Teng...teng...teng..."

Dalam kesempatan itulah ia mendapat nasehat saleh nan suci dari perempuan juru masak itu:

"Misel, dari kodratnya manusia dilahirkan untuk kawin. Manusia bisa melahirkan karena ia kawin. Keberadaanmu di dunia ini adalah hasil dari perkawinan dua jenis manusia yang berbeda kelamin. Tuhan menciptakan demikian agar pria dan wanita itu saling melengkapi. Jika engkau tak sanggup mempertahankan cara hidupmu yang sekarang, pilihlah cara hidup yang sesuai dengan kodratmu sebagai manusia. Kawinlah! Tapi jika tidak, berhentilah mengintipku sembari menyetubuhi dirimu sendiri. Aku tak ingin engkau mengeksploitasi tubuhku dengan lamunanmu. Carilah cara hidup yang normal yang sesuai dengan kodratmu sebagai laki-laki yang normal."

Perkataan perempuan juru masak itu membuat Misel tertunduk malu dengan amarah yang mulai membara dalam hatinya. Ia tak menduga kalau pernyataan seperti itu bisa dilontarkan dari mulut seorang perempuan yang hanya bermodalkan pengetahuan setingkat sekolah dasar.

Perasaan malu dan jengkel bercampur menjadi satu. Ia ingin berteriak untuk melampiaskan kemarahannya tetapi ia malu jika semua orang akan mendengar teriakannya dan ketahuan kalau ia sedang berduaan dengan seorang perempuan yang tentu saja hal itu tidak boleh terjadi untuk pria seperti dia.

Misel hendak berlalu. Tetapi, perempuan juru masak itu menarik tangannya sambil berkata:

"Aku tak peduli bagaimana reaksimu atas perkataanku. Tapi aku harus mengatakan sesuatu yang benar. Aku sadar aku bukanlah apa-apa. Pengetahuanku tentang kehidupan tak sesempurna yang engkau miliki dan dapatkan. Maklumlah, aku tidak mengenyam pendidikan tinggi sepertimu. Tapi aku berharap engkau bisa menekuni jalan hidup yang telah engkau pilih sedari awal. Jika engkau sudah tidak sanggup untuk menjalaninya, engkau tentu saja bisa mengundurkan diri secara bijak dengan mengatakan tidak pada jalan hidupmu yang sekarang. Aku  yakin engkau sangat mengerti maksudku. Hanya inilah caraku untuk memperhatikanmu dan mendukungmu guna memilih mana yang terbaik untuk engkau jalani. Melihat gelagatmu yang sekarang, jujur aku hanya bisa mengatakan carilah perempuan dan  kawinilah dia seumur hidupmu."

Perempuan itu berkata lugas penuh percaya diri. Ia tak menyangka kalau ia bisa berbicara layaknya seorang yang memiliki pengetahuan tinggi. Misel tak sanggup menanggapinya. Ia berlalu dari perempuan juru masak itu dan kembali ke kamarnya. Suasana hati dan pikirannya benar-benar kacau. Hancur. Berantakan.

"Aiishh, Tuhan...! Apa yang terjadi pada diriku? Aku sedemikian konyol di hadapan perempuan juru masak itu. Harkat dan martabatku hancur. Wahai perempuan pemuas syawat, sebegitu cerdaskah engkau di hadapanku hingga lidaku kelu menanggapi perkataan dan nasehat salehmu? Dan, tak berkutik di hadapanmu? Ketahuilah aku mengenyam pendidikan tinggi dan memahami segala sesuatu. Engkau, perempuan adalah degradasi laki-laki. Engkau diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Engkau ada setelah laki-laki ada. Bagaimana  engkau bisa menasehatiku seperti itu hingga seakan-akan perempuan diciptakan lebih awal dari laki-laki?"

Misel mengungkapkan kemarahan dan kegusaran di dalam kamarnya. Tetapi, percuma. Karena, hal itu tidak didengar oleh perempuan juru masak itu. Sekiranya perempuan juru masak itu mendengar kegusaran dan kemarahan Misel yang bernada penghinaan terhadap perempuan yang adalah dirinya, mungkin ceritanya berbeda.

Walau demikian, Misel menaruh dendam pada perempuan itu. Ia ingin agar perempuan juru masak itu mendengarkan secara langsung isi kemarahannya. Dan, kesempatan untuk bisa menjumpai perempuan itu hanya pagi hari. Itu pun jika ia bangun lebih awal dari semua penghuni rumah karantina.

Sebab, mereka sama sekali tidak diperkenankan untuk berduaan dengan perempuan. Dan adagium yang selalu hidup kekal dalam pikiran mereka ialah perempuan sebagai biang kerok atau faktor pencetus jatuhnya laki-laki ke dalam dosa.

Keesokan harinya Misel bangun lebih awal. Hasrat amarahnya menggebuh-gebuh untuk menghina perempuan juru masak itu. Pagi itu ia menunggu lebih awal dari balik jendela dapur. Tatkala perempuan itu datang, kemarahannya lenyap seketika. Yang muncul hanyalah hasrat seksual yang kian memuncak. Ia tidak bisa marah.

Perempuan juru masak itu datang dan melakukan aktivitasnya seperti biasa di dapur. Terbersit dalam pikirannya kalau Misel sedang mengintipnya dari balik jendela. Perempuan itu pun diam-diam menceknya. Dan ternyata benar. Misel sedang asyik dalam kesendiriannya. Melihat hal itu, muncul perasaan kasihan dalam dirinya:

"Misel, Misel. Engkau masih belum mengerti juga perkataanku kemarin. Engkau masih terjebak dalam perilaku yang sama. Aku kasihan padamu. Tapi aku tak berdaya. Aku tak mungkin melakukan hal seperti yang kau inginkan dan hal itu memang tidak sepatutnya aku lakukan."

Melihat tubuh Misel yang tampan, gaga perkasa, muncul keinginan perempuan itu untuk memuaskan hasrat seksual Misel. Namun hal itu urung ia lakukan. Ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya bahwa Misel adalah pribadi yang dipersiapkan secara khusus untuk menjadi hamba Ilahi.

Dan, entah roh apa yang mendorong perempuan juru masak itu. Tiba-tiba mengambil sepotong balok. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Misel. Kali ini, ia tidak menyergapnya dengan suara lembutnya tetapi dengan sebatang balok yang ia tabuhkan dengan sekuat tenaga ke punggung Misel.

"Braaakkk! Mampus kau lelaki bermata mesum. Aku ingin menghentikan perilaku anehmu dengan balok yang digunakan sebagai alas untuk mencincang  daging babi kesukaan kalian semua di rumah karantina ini."

Misel jatuh tersungkur. Pada saat yang sama bunyi lonceng di menara Kapela berdentang:

"Teng...teng...teng..."

 Semua penghuni rumah karantina bergegas bangun dari tempat tidurnya masing-masing. Perempuan juru masak itu kembali melakukan aktivitasnya seakan tak terjadi apa-apa. Misel masih terkapar tak sadarkan diri. Dari dapur terdengar teriakan:

"Toloooonng, tolooooonng, tolooonng..."

Teman-teman Misel bergegas menuju dapur, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Mereka melihat Misel sedang tak sadarkan diri. Teman-temannya beramai-ramai mengangkat Misel dan membawanya ke klinik terdekat. Selanjutnya, mereka membiarkan perawat menanganinya.

Setelah memukul Misel, perempuan juru masak itu menjadi tegar, bersemangat dan penuh kemenangan. Ia merasa bahwa ia sudah berhasil mengalahkan kesombongan laki-laki.

Apa yang dilakukanya itu adalah bentuk pembalasan terhadap lelaki pada umumnya, dan terlebih para pejantan tangguh nan tampan di rumah karantina itu. Pasalnya, mereka cenderung menghina dan meremehkannya dengan guyonan yang mengiris kalbu yakni sebagai perempuan terjelek yang tak tahu merawat tubuhnya agar terlihat cantik dan seksi.

Perempuan juru masak itu pun berkata dalam hatinya:

"Baru tahu rasa! Itulah pembalasanku atas perbuatanmu dan perbuatan semua pria yang ada di rumah karantina ini. Kalian semua selalu menertawakan kejelekanku. Padahal kalian tahu bahwa tubuhku yang demikian bukanlah kehendakku. Kalian juga tahu kalau aku manusia sama seperti kalian yang diciptakan Tuhan, yang merupakan wujud gambaran diri Allah. Kalian lebih mengerti tentang konsep ke-Tuhan-an dan ke-manusia-an. Tetapi toh perilaku kalian tak bedanya dengan orang idiot. Konsep dan pemikiran kalian tak sejalan dengan perilaku kalian. Ini baru awal dari kemarahanku yang belum memuncak. Aku ingin kalian sadar sampai pengetahuan mulia yang kalian miliki akan mengubah karakter dan perilaku kalian."

Walaupun sudah mencederai Misel di pagi nan subuh, perempuan juru masak itu tak sedikit pun merasa bersalah. Ia tetap tenang menjalankan pekerjaannya sebagai juru masak. Sementara Misel harus berbaring lemas dengan luka lebam di punggungnya. Ia berjuang untuk mengingat kembali peristiwa sebelum ia berada di klinik:

"Ooww...aduuuuhhh, mengapa aku berada di tempat ini. Siapa yang berani memukulku separah ini. Ini pasti ulah perempuan jelek itu. Dasar perempuan  jelek. Hatinya jelek sejelek tampangnya."

Sementara Misel asyik dengan perasaan amarah dalam hatinya, perempuan juru masak itu datang dan menjamah testanya. Misel kaget. Namun, tidak mengatakan apa-apa. Perempuan juru masak itu tersenyum melihat Misel berbaring tak berdaya. Dengan nada yang lembut namun tegas, ia berkata kepada Misel:

"Aku bisa saja mencekikmu sekarang. Tapi aku bukanlah seorang pembunuh. Aku perempuan yang tengah berjuang menyadarkanmu. Aku mencintai cita-citamu untuk menjadi pastor, imam selibater. Aku sama sekali tidak mencintai kemunafikanmu. Engkau ingin menjadikan aku sebagai pelampiasan syawatmu. Dan, aku membenci itu. Aku perempuan jelek dalam penilaian matamu dan mungkin saja menurut mata semua pria yang ada di sini. Tapi, aku masih memiliki harga diri, harkat dan martabat sebagai manusia yang layak dicintai dan bukan cuma sebagai obyek pemuas hasrat."

Mendengar itu, perasaan Misel semakin terpukul. Kini ia menyadari kalau apa yang dikatakan perempuan juru masak itu benar adanya. Ia tidak sanggup menanggapinya. Ia berusaha tersenyum meski hatinya kesal. Tapi dalam posisi seperti ini ia mengaku kalah untuk beradu argumentasi. Perempuan juru masak itu menghela nafasnya sejenak kemudian melanjutkan perkataannya:

"Jika engkau tidak menyadari perbuatanmu dan mengubah perilakumu, aku akan memberitahukan kepada pimpinanmu bahwa engkau sudah tidak layak lagi berada di rumah karantina. Aku akan melaporkan semua perbuatanmu terhadapku selama ini."

Perempuan juru masak itu sebenarnya tidak ingin melaporkan kejadian itu. Ia juga tidak mau menjadi penyebab seseorang menjadi gagal. Lagi pula ia memang senang menatap wajah Misel untuk waktu yang tak pasti.

Perkataan perempuan juru masak itu membuat Misel merasa terancam. Ia belum siap menerima kenyataan dikeluarkan dari rumah karantina. Wajahnya pucat dan berkeringat. Perempuan juru masak itu tahu kalau Misel benar-benar tidak menginginkan agar perbuatannya dilaporkan kepada pimpinannya. Hal itu akan membuatnya malu dan ia bakal diusir dari rumah karantina. Perempuan juru masak itu pun berlalu dan membiarkan Misel terpekur dalam kecemasannya sendiri:

"Aish...! Sialan! Baiklah. Aku tak bisa membantah perkataan perempuan juru masak itu. Semua yang dikatakannya benar adanya. Sebelum semuanya terjadi alangkah baiknya kalau aku menyatakan pengunduran diriku. Ini jauh lebih terhormat bila dibandingkan dengan hukuman dikeluarkan dari rumah karantina ini."

Misel menyiapkan batinnya. Sendiri dalam keheningan. Ada dorongan yang begitu kuat dalam dirinya untuk menanggalkan jubah putih, busana ekslusif untuk seorang rohaniwan dan calon rohaniwan. Ia memilih untuk melepaskannya secara terhormat. Ia tidak membenci busana itu. Tetapi, ia merasa bahwa ia sudah tidak layak lagi mengenakan busana yang menjadi simbol relasi yang khusus dengan Sang Ilahi. Ia akhirnya membulatkan niatnya untuk mengundurkan diri dan pamit di hadapan teman-temannya.

"Teng...teng...teng..."

Lagi-lagi, bunyi lonceng pecahkan kesunyian. Mengajak semua penghuni rumah karantina agar meninggalkan aktivitas pribadinya menuju perjamuan bersama. Misel juga ikut bergegas dengan hati gembira.

Jamuan makan malam bersama memang selalu membawa kenikmatan tersendiri baginya. Ia telah mempersiapkan diri untuk secara jujur dan berani menyampaikan kepada teman-temannya apa yang telah ia putuskan.

Menjelang berakhirnya jamuan makan malam, Misel tampil di hadapan semua kawan-kawannya:

"Selamat malam kawan-kawanku seperjuangan. Saya berdiri di sini untuk yang terakhir kalinya. Setelah menjalani waktu penuh pergumulan, akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri ziarah selibatku ini. Keputusan ini keluar dari kehendakku yang bebas tanpa ada intervensi dari pihak mana pun.

Ini memang berat bagiku dan mungkin bagi teman-teman semua. Tetapi, aku harus berani mengambil keputusan untuk kebaikan diriku sendiri dan terutama martabat jalan hidup selibat di rumah karantina yang kita banggakan ini.

Aku sungguh menyadari bahwa ada banyak  jalan yang mesti dilalui. Namun, dari sekian banyak jalan, semuanya dapat diringkas menjadi dua jalan, yakni jalan masuk dan jalan keluar. Saya telah memilih jalan keluar sekaligus membuka jalan masuk yang baru.

Terima kasih untuk kebersamaan yang telah kita rajut bersama di rumah ini. Terima kasih juga untuk kasih persaudaraan yang telah terjalin selama ini. Kita akan berpisah secara fisik namun hati dan jiwa kita akan senantiasa bersama dalam setiap lantunan doa-doa kita.

Mohon maaf, jika keputusan yang saya ambil di luar perhitungan logika teman-teman semuanya. Sekali lagi terima kasih untuk semuanya dan maaf untuk segalanya."

Inilah kata pisah yang diungkapkan Misel. Dengan demikian, ia resmi keluar dari rumah karantina. Rumah, tempat ia menempah diri hingga menemukan jalannya sendiri. Rumah, tempat ia menghabiskan hari-hari bahagia penuh canda ria bersama kawan-kawan seperjuangannya. Rumah, tempat ia boleh bermimpi tentang hari esok yang penuh harapan. Rumah, tempat ia bergumul dengan ilmu pengetahuan sampai ia mengenyam pendidikan tinggi. Rumah, tempat ia menemukan jati dirinya yang riil hingga berani memutuskan untuk tidak memilih jalan menjadi imam selibater tetapi memilih jalur lain dalam menjalani kehidupannya.

Misel meninggalkan jalan panggilan khusus yakni selibat yang dinilai suci berdasarkan ideologi agama yang dianutnya. Ia sadar betul betapa ibunya sangat mendukungnya untuk senantiasa berada di jalan panggilan yang khusus itu.

Jalan itu merupakan jalan untuk menjadi hamba Ilahi yang dikhususkan. Suatu jalan untuk menjadi pelayan dari semua pelayan, baik yang ada di bumi dan mungkin saja sampai di alam baka.

Jalan itu memang ibaratnya sebagai jalan yang sangat sempit, penuh duri, mendaki dan liku-liku. Jalan itu merupakan jalan penyangkalan unsur kodrati manusia, yakni kawin. Dan, sudah pasti tidak semua orang sanggup melewatinya.

Ya, termasuk Misel. Ia sungguh menyadari keadaan dirinya sehingga ia berani mengatakan tidak pada jalan hidup selibat. Dan, bahwa ia benar-benar tak sanggup untuk menghayati dan mengamalkannya dalam hidup.

Kata pisah yang diucapkan Misel membuat kaget kawan-kawan seperjuangannya. Hati dan pikiran mereka bercampur baur antara percaya dan tidak percaya, yakin dan tidak yakin. Pasalnya, empat pilar utama penopang bangunan panggilan untuk hidup selibat yang Misel tunjukan yakni kerohanian, intelektual, kepribadian dan humaniora sama sekali tidak diragukan berdasarkan pengamatan dan penilaian mereka.

Namun, akhirnya mereka juga sadar dengan berlandaskan kebenaran iman kristiani bahwa jalan panggilan khusus untuk menjadi imam selibater itu memiliki aspek kemisteriannya. Sebab, hal itu bukanlah perkara manusia semata tetapi tetap dalam campur tangan Sang Ilahi.

Seusai makan malam, Misel kembali ke kamar dan mengemas barang-barangnya. Kawan-kawannya datang hendak menyampaikan salam perpisahan. Ia berjuang menahan air mata. Entah mengapa, ia benar-benar merasa sedih. Padahal kata pisah yang dia ungkapkan di ruang makan sangat berapi-api.

Waktu terus berjalan. Malam pun kian larut, satu persatu  kawan-kawannya meninggalkan Misel dan pergi ke kamar masing-masing untuk urusan rutinitas pribadi. Tinggalah Misel seorang diri dalam kamarnya yang sepi. Ia sungguh mengalami kesendirian. Ia belum bisa memejamkan matanya. Kalaupun ia menutup mata, hatinya tetap bangun.

Ia ingat pada ibunya yang tergolong fanatik dalam mendukung perjuangannya. Ibunya memiliki kehendak yang kuat agar Misel tetap bertahan di rumah karantina, selalu mengenakan jubah putih, dan harus menjadi seorang imam selibater.

Semenjak ditinggal pergi sang ayah yang memilih bunuh diri karena ulah ibunya yang doyan sekamar dengan pria lain, Misel bergantung sepenuhnya pada ibunya. Ibunya pun berjuang sendirian membiayai sekolah dan kehidupan Misel yang merupakan anak semata wayang.

Misel tak lagi mengingat masa lalu ibunya. Ia sudah memaafkannya dan bahwa ia tidak memiliki siapa-siapa, selain ibunya yang mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayang untuk dirinya. Ia tahu persis watak ibunya, perjuangan serta pengorbanannya. Misel selalu ingat wejangan sederhana yang tak pernah letih keluar dari mulut ibunya:

"Nana (sayang), engkau kuliah baik-baik, belajar yang rajin biar selesai tepat waktu. Bersikaplah ramah kepada teman-temanmu. Ingatlah perjuangan dan penderitaan ene(ibu )mu."

Pesan inilah yang selalu disampaikan ibunya setiap kali Misel meninggalkan kampung halaman guna melanjutkan pendidikan. Selama ia mengenyam pendidikan, wejangan yang sama selalu diuncapkan ibunya.

Misel membayangkan kembali bagaimana ibunya selalu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan pagi, selanjutnya membangunkan Misel yang tengah terlelap dalam tidur. Kadang Misel memberontak. Namun, kasih keibuannya sanggup meluluh-lantakan ketegaran hatinya. Ibunya selalu membuat kripik pisang kesukaan Misel.

"Ini buat makan di jalan supaya jangan keluar uang lagi untuk beli jajan dalam perjalanan."

Demikian ibunya menegaskan. Kripik buatan ibunya memang sangat enak berbeda dengan kripik buatan orang lain dan Misel benar-benar menikmatinya. Suatu ketika, Misel pernah melarang ibunya agar tidak usah membuat kripik. Alasannya, ia tidak tega melihat ibunya repot mengiris pisang kemudian meniup api saat menggorengnya.

Namun, ibunya tidak memedulikannya. Diam-diam ibunya menyimpan kripik kesukaannya itu ke dalam tas pakaian yang telah disiapkan. Misel sungguh sadar bahwa ibunya melakukan semuanya karena cinta dan dukungannya terhadap ziarah panggilanya menjadi imam yang selibater.

Kini, Misel sadar kalau ia benar-benar telah mengkhianati kasih ibunya yang begitu tulus terhadapnya. Ia benar-benar merasa kilaf.

"Ene (ibu)..., seandainya ene (ibu) ada bersamaku saat ini akan kucium kakimu tuk ungkapkan maafku yang teramat dalam."

Tetapi apa daya, ibunya berada jauh di kampung halaman. Di malam yang sepi itu ia hanya bergumul dalam kesendirian hingga ia tak sanggup menahan air mata yang membanjiri kedua pipinya. Ia mencoba untuk tegar walau terpaksa.

Sementara ia bergulat dengan rasa bersalahnya, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu kamarnya. Bunyi ketukan itu sangat halus dengan suara yang halus pula:

"Tok...tok...tok. Misel buka pintunya. Aku tahu engkau belum tidur.

Misel terperanjat dari lamunannya. Ia kenal betul suara di balik pintu kamarnya itu. Dialah perempuan juru masak yang membuatnya berani mengambil keputusan untuk hengkang dari rumah karantina.

"Apa gerangan dia menghampiriku tengah malam seperti ini? Aiish, perempuan sekiranya engkau tidak dilahirkan mungkin aku tidak bakalan seperti ini. Apakah ia ingin melampiaskan sawatnya, ataukah ia ingin mengejekku karena ternyata aku begitu lemah di hadapannya?

Misel ragu antara menghardik perempuan itu dari dalam kamar atau membukakan pintu dan mempersilakan perempuan juru masak itu masuk ke kamarnya. Berduaan dengan perempuan di dalam kamar tengah malam tentu merupakan suatu kesalahan besar dan tergolong aib di rumah karantina.

"Misel, buka pintunya...!

Suara perempuan juru masak itu makin kencang terdengar. Misel kalang kabut. Ia tidak ingin semua orang terbangun dan menyaksikan seorang perempuan berdiri di depan pintu kamarnya. Dalam keadaan panik, Misel membukakan pintu kamarnya.

Malam semakin suntuk, hening, tak ada bunyi-bunyian seperti jengkrik, longlongan anjing dan percikan air di kamar mandi pun tak kedengaran. Perempuan juru masak itu mengenakan gaun tidur tipis berwarna putih hingga membuat wajah hitamnya bercahaya. Ia menatap Misel dengan wajah garang penuh sindiran:

"Aku tak habis pikir, mengapa orang yang memiliki pengetahuan tinggi sepertimu begitu egois. Padahal bila dibandingkan dengan aku yang berpendidikan rendah dan hanya seorang perempuan juru masak, rasanya aku lebih cerdas dibandingkan kau. Ha...ha...ha..., kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Keputusanmu untuk meninggalkan rumah karantina ini hanyalah keputusan sepihak. Kau hanya berpedoman pada hasrat murahan dan bukannya pertimbangan logika. Pikiranmu telah dikaburkan oleh hasrat egomu. Ha...ha...ha..., betapa bodohnya kau. Apakah kau tidak mempertimbangkan bagaimana ibumu yang selalu mendukungmu dengan harapan serta doanya yang tulus?"

Perempuan juru masak itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghebuskannya kembali dalam sekejab. Pria tampan nan gaga perkasa seperti Misel hanya bisa diam dan tertunduk dengan wajah penuh penyesalan. Kemudian perempuan juru masak itu melanjutkan perkataannya:

"Sesungguhnya kau telah mengecewakan ibumu yang adalah seorang perempuan sebagaimana aku juga kecewa padamu. Kau pasti menyesal namun Penyesalanmu tidak memiliki dampak apa-apa. Kau resmi keluar dari rumah karantina ini. Pergilah...! Semoga hari-harimu menyenangkan. Ha...ha...ha..."

Perempuan juru masak itu pun berlalu dalam sekejab mata. Malam kian larut. Semua penghuni rumah karantina terlelap dalam mimpinya masing-masing. Sementara Misel harus menerima cercaan dan hinaan dari perempuan juru masak. Perasaannya semakin hancur. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa hingga pagi menjemputnya.

Misel tentu tidak boleh lagi berlama-lama ada di rumah karantina. Ia sudah harus mengemas barang-barang bawaannya untuk segera pergi. Entah mengapa Ia merasa waktu seakan berjalan begitu cepat.

Pagi yang sebenarnya indah namun terasa menyesakan dada. Kawan-kawannya bergegas ke tempat kuliah. Mereka melambaikan tangan dan perlahan-lahan menghilang. Sungguh suatu lambaian perpisahan yang tak mungkin bersatu kembali seperti keadaan semula. Dan, benarlah bahwa segala sesuatu berubah, segala sesuatu mengalir.

Misel kembali terpekur bisu dalam kesendirian menunggu bus angkutan umum. Tak lama setelah itu, bus pun datang. Ia masuk ke dalam bus yang tak banyak penumpangnya. Dalam bus ia tidak ditemani siapa-siapa. Perasaan dan pikirannya bercampur baur, antara cercaan perempuan juru masak semalam dan upaya mempertanggungjawabkan keputusannya di hadapan ibunya.

Ia pun dihantui perasaan bersalah, karena telah menodai ketulusan dan perjuangan ibunya dalam menyekolahkannya. Ia juga telah menghancurkan obsesi ibunya yang menginginkannya untuk tetap menjadi pria berjubah putih dan menjadi imam selibater.

"Ene (ibu)..., tidakkah ene (ibu) tahu kalau aku sedang dalam perjalanan kembali ke rumah? Aku tidak membawa hasil sebagaimana yang ene (ibu) impikan. Aku hanya membawa segudang kekecewaan buat ene (ibu). Aku tak tahu, harus bagaimana. Inilah keputusan yang aku ambil bukti ketidaksanggupanku. Ene (ibu)..., kuharap ene (ibu) memahami keadaan serta keterbatasanku."

Misel menatap jauh ke depan, kosong dan sepertinya tak tahu arah. Tak terasa bus sudah berhenti di warung makan. Di situ ia membayangkan kembali teman-tamannya kala makan bersama di warung tersebut pada kesempatan pergi berlibur atau pun kembali dari liburan.

Kini, hal itu hanyalah bayangan berlalu. Semuanya tak akan mungkin terulang lagi. Misel berusaha untuk ceria walau hati diliputi kesedihan. Ia benar-benar sendiri dengan hanya menikmati gado-gado kesukaannya.

Perjalanan berlanjut. Hati dan pikirannya serba kalut. Ia tidak tahu bagaimana mempertanggungjawabkan keputusan di hadapan ibunya yang telah banyak berkorban. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan jalan panggilan khusus yang menjadi hasrat, keinginan, dan idealisme ibunya. Dan kini, ia mencoba memilih jalan lain yang ia sendiri tidak tahu harus memulainya dari mana.

Dalam kekalutan itulah, Misel berbelok arah. Ia tidak langsung kembali ke rumah menjumpai ibunya. Ia malah memilih untuk menjauhinya. Ia pun memulai petualangan yang penuh tantangan.

Ia berjalan kian kemari mencari pekerjaan yang sesuai. Suatu usaha yang hanya menuai peluh air mata. Malang baginya. Ia gagal fokus sehingga tak satu pun pekerjaan yang pas di hati dan pikirannya. 

Dalam situasi yang tak menentu itu, ia juga sungguh terbebani oleh kuatnya perasaan bersalah. Ia benar-benar ingat dan selalu membayangkan ibunya. Ia sungguh yakin kalau ibunya menghendaki agar secepatnya ia kembali. Sebab, kabar tentang keberadaan dirinya sudah diketahui ibunya. Misel pun kembali larut dalam kesedihan. Ia mengambil notebook dan menuliskan curahan hatinya:

"Ene (ibu)..., bila kita kembali bersama kan kuceritakan isi hatiku padamu. Tentang usaha dan perjuangan tiada akhir, tentang sesuatu yang tidak kita duga, tentang kasih yang lintas batas, tentang bahasa hati dari semua orang yang berkehendak baik.

Ene (ibu)..., engkau sendiri tak pernah berhenti berdoa demi keberhasilanku. Kini aku tahu engkau sangat menderita karena ulahku yang pergi menjauh, menanggalkan jubah putih dan meninggalkan rumah karantina yang ene (ibu) impikan.

Ene (ibu)..., aku janji bila kita kembali bersama 'kan kukisahkan pergulatan jiwaku saat berhadapan dengan situasi batas. Ada banyak hal yang kita cita-citakan. Tapi, sayangnya kita tak punya apa-apa.

Keadaan ini mendorongku 'tuk pergi jauh sebagai protes di hadapan situasi tak menentu. Aku melakukan semuanya dengan penuh kesadaran. Telah memikirkan konsekwensi terburuk yang bakal aku alami.

Ene (ibu)..., situasi itu sedang aku jalani meski ada setitik cahaya remang tengah menerangiku. Kuyakin, ini berkat doamu.

Kini, aku hidup dalam kerinduan mencekam. Inginnya aku berteriak memanggilmu dengan kepasrahan seorang anak  walau cuma dalam keheningan doa dengan kata yang rapuh"

Kata-kata yang ditulis merupakan hasil permenungan pribadi yang mendorongnya untuk kembali. Misel sungguh-sungguh merasa tergerak hatinya untuk kembali ke rumah, menjumpai ibunya. Kisah dalam Alkitab tentang Anak yang Hilang yang ingin pulang, terasa nyata dalam hidupnya.

Jantungnya berdegup kencang tatkalah hendak masuk area perkampungan. Ia melihat barisan orang-orang berbondong-bondong menuju rumahnya. Tak ada senda gurau di antara mereka. Perlahan ia berjalan mendekati rumah. Banyak orang  duduk berkumpul mengelilingi sosok yang terbaring kaku diselubungi sehelai kain tenunan.

Misel mendekati sosok itu. Tak ada kata terucap dari bibirnya atau pun sekedar bertanya dalam batinnya. Dibukanya selubung penutup sosok itu. Tampak olehnya wajah seorang ibu yang tak asing di matanya.

Misel menatapnya begitu dalam. Terbersit guratan kekecewaan terpancar dari wajah sang bunda. Kecut dengan amarah yang tak dapat terlampiaskan. Ia memeluk sosok nan kaku itu. Hati dan jiwanya bergetar. Matanya kunang-kunang. Dadanya teramat nyeri. Jantungnya berhenti berdenyut. Tak ada lagi nafas yang tersisa di sekujur tubuhnya.

Misel pun ikut terpaku dalam diam, membisu, kaku dan membeku bersama sosok ibunya dengan jiwa tersangkar oleh kecewa dan rasa salah hingga keabadian.

Waingapu, Juli 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun