Menjelang berakhirnya jamuan makan malam, Misel tampil di hadapan semua kawan-kawannya:
"Selamat malam kawan-kawanku seperjuangan. Saya berdiri di sini untuk yang terakhir kalinya. Setelah menjalani waktu penuh pergumulan, akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri ziarah selibatku ini. Keputusan ini keluar dari kehendakku yang bebas tanpa ada intervensi dari pihak mana pun.
Ini memang berat bagiku dan mungkin bagi teman-teman semua. Tetapi, aku harus berani mengambil keputusan untuk kebaikan diriku sendiri dan terutama martabat jalan hidup selibat di rumah karantina yang kita banggakan ini.
Aku sungguh menyadari bahwa ada banyak  jalan yang mesti dilalui. Namun, dari sekian banyak jalan, semuanya dapat diringkas menjadi dua jalan, yakni jalan masuk dan jalan keluar. Saya telah memilih jalan keluar sekaligus membuka jalan masuk yang baru.
Terima kasih untuk kebersamaan yang telah kita rajut bersama di rumah ini. Terima kasih juga untuk kasih persaudaraan yang telah terjalin selama ini. Kita akan berpisah secara fisik namun hati dan jiwa kita akan senantiasa bersama dalam setiap lantunan doa-doa kita.
Mohon maaf, jika keputusan yang saya ambil di luar perhitungan logika teman-teman semuanya. Sekali lagi terima kasih untuk semuanya dan maaf untuk segalanya."
Inilah kata pisah yang diungkapkan Misel. Dengan demikian, ia resmi keluar dari rumah karantina. Rumah, tempat ia menempah diri hingga menemukan jalannya sendiri. Rumah, tempat ia menghabiskan hari-hari bahagia penuh canda ria bersama kawan-kawan seperjuangannya. Rumah, tempat ia boleh bermimpi tentang hari esok yang penuh harapan. Rumah, tempat ia bergumul dengan ilmu pengetahuan sampai ia mengenyam pendidikan tinggi. Rumah, tempat ia menemukan jati dirinya yang riil hingga berani memutuskan untuk tidak memilih jalan menjadi imam selibater tetapi memilih jalur lain dalam menjalani kehidupannya.
Misel meninggalkan jalan panggilan khusus yakni selibat yang dinilai suci berdasarkan ideologi agama yang dianutnya. Ia sadar betul betapa ibunya sangat mendukungnya untuk senantiasa berada di jalan panggilan yang khusus itu.
Jalan itu merupakan jalan untuk menjadi hamba Ilahi yang dikhususkan. Suatu jalan untuk menjadi pelayan dari semua pelayan, baik yang ada di bumi dan mungkin saja sampai di alam baka.
Jalan itu memang ibaratnya sebagai jalan yang sangat sempit, penuh duri, mendaki dan liku-liku. Jalan itu merupakan jalan penyangkalan unsur kodrati manusia, yakni kawin. Dan, sudah pasti tidak semua orang sanggup melewatinya.
Ya, termasuk Misel. Ia sungguh menyadari keadaan dirinya sehingga ia berani mengatakan tidak pada jalan hidup selibat. Dan, bahwa ia benar-benar tak sanggup untuk menghayati dan mengamalkannya dalam hidup.