Kini, aku hidup dalam kerinduan mencekam. Inginnya aku berteriak memanggilmu dengan kepasrahan seorang anak  walau cuma dalam keheningan doa dengan kata yang rapuh"
Kata-kata yang ditulis merupakan hasil permenungan pribadi yang mendorongnya untuk kembali. Misel sungguh-sungguh merasa tergerak hatinya untuk kembali ke rumah, menjumpai ibunya. Kisah dalam Alkitab tentang Anak yang Hilang yang ingin pulang, terasa nyata dalam hidupnya.
Jantungnya berdegup kencang tatkalah hendak masuk area perkampungan. Ia melihat barisan orang-orang berbondong-bondong menuju rumahnya. Tak ada senda gurau di antara mereka. Perlahan ia berjalan mendekati rumah. Banyak orang  duduk berkumpul mengelilingi sosok yang terbaring kaku diselubungi sehelai kain tenunan.
Misel mendekati sosok itu. Tak ada kata terucap dari bibirnya atau pun sekedar bertanya dalam batinnya. Dibukanya selubung penutup sosok itu. Tampak olehnya wajah seorang ibu yang tak asing di matanya.
Misel menatapnya begitu dalam. Terbersit guratan kekecewaan terpancar dari wajah sang bunda. Kecut dengan amarah yang tak dapat terlampiaskan. Ia memeluk sosok nan kaku itu. Hati dan jiwanya bergetar. Matanya kunang-kunang. Dadanya teramat nyeri. Jantungnya berhenti berdenyut. Tak ada lagi nafas yang tersisa di sekujur tubuhnya.
Misel pun ikut terpaku dalam diam, membisu, kaku dan membeku bersama sosok ibunya dengan jiwa tersangkar oleh kecewa dan rasa salah hingga keabadian.
Waingapu, Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H