Misel menaruh perhatian pada Juru Masak itu. Orang-orang di rumah karantina itu tidak memedulikan, apa lagi curiga. Teman-temannya juga berpikir bahwa tidak mungkin Misel jatuh cinta pada perempuan itu.
Apa yang dilakukan Misel sebenarnya sudah kelewat batas. Ia sering pura-pura tak sengaja menyenggol pantat juru masak yang hitam, gendut dan keriting itu. Perempuan juru masak itu sama sekali tak menyadari kalau Misel memang benar-benar ingin melampiaskan syawatnya.
"Aiish, Ini tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi. Aku harus menekan hasratku terhadap perempuan itu. Aku harus tahu diri."
Demikianlah Misel bergumul dalam hatinya. Namun, semakin ia mengekang dirinya, semakin hasratnya begitu kuat untuk menggauli perempuan juru masak itu.
"Aiissh...,hasrat, engkau terasa lebih kuat dari logika. Sebegitu dasyatnya engkau menguasai nalarku, hingga aku mengabaikan perbedaan antara benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Aku tak bedanya dengan binatang yang memiliki insting untuk kawin. Aiish..., apakah aku sama dengan babi di dalam kandang itu?"
Misel terus bergulat dengan hasratnya sendiri. Hasrat yang kian bergelora untuk menyetubuhi perempuan juru masak itu. Dalam kaca mata syawatnya, wanita itulah yang paling cantik. Tidak ada pilihan lain karena dialah satu-satunya wanita yang ada di rumah karantina itu.
Misel sadar betul kalau keberadaannya di sana adalah untuk menuntut ilmu, membentuk karakter yang dipersiapkan secara khusus guna menjadi pastor/imam selibater.Namun, ia tak kuasa menahan hasrat yang kian mempengaruhi pikirannya.
"Beranak cuculah, dan bertambah banyak, penuhilah  bumi dan taklukanlah itu."
Demikian kitab Kejadian pasal 1 ayat 28 menegaskan. Sebuah amanat kitab suci yang tentu saja mesti diamalkan dan dilaksanakan dalam hidup. Ayat kitab suci inilah yang kian bergemuruh dalam hati Misel. Nats tersebut dirasakan sangatlah mendukung hasrat-syawatnya yang menggebuh-gebuh itu.
Namun ia belum benar-benar ingin menuntaskannya. Ia terhalang oleh kuatnya aturan yang membelenggu syawatnya. Walau demikian ia berusaha mencari kesempatan agar bisa mengganyang dan menikmati tubuh gempal perempuan juru masak di rumah karantina itu.
Suatu waktu di pagi hari nan subuh, Misel berjalan mengendap-endap agar tidak kedengaran bunyi langkah kakinya menuju dapur. Seperti biasanya perempuan juru masak itu bangun lebih awal dari semua penghuni rumah karantina.