Melihat aksi Misel terhadap dirinya, perempuan juru masak itu menarik nafas dalam-dalam. Ia terpesona oleh kerlingan mata Misel. Mata seorang pria bertubuh atletis dan berwajah tampan yang jika disandingkan dengan dirinya akan terlihat kontras. Hitam versus putih, keriting versus lurus, gembrot versus langsing, rendah versus tinggi dan jelek versus tampan.
"Tapi..., mengapa Misel melakukan hal itu? Bukankah dia adalah pria berjubah putih yang kelak akan menjadi imam selibater? Adakah dia sedang menyembunyikan syawat di balik jubah?"
Inilah sekelumit pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran perempuan juru masak itu. Ia bingung bercampur gembira dengan keraguan yang teramat besar. Ia sadar betul jika paras dan postur tubuhnya sama sekali tidak membangkitkan minat pria pada umumnya.
Kalaupun ada pria yang kepingin, itu mungkin hanya berlaku untuk pria yang memiliki banyak riwayat ditolak oleh perempuan. Atau, bisa juga oleh pria yang tidak kebagian perempuan yang menjadi pasangan seksualnya.
Perempuan juru masak itu terus bertanya dalam hatinya:
"Bagaimana mungkin aku yang hitam keriting, gembrot pendek seperti ini, bisa memikat mata Misel, pria tampan berjubah putih nan imut itu? Jika badanku tidak membangkitkan daya tarik pria, mengapa pria seperti Misel  menaruh minat pada tubuhku?Ataukah aku hanyalah obyek pelampiasan syawatnya? Aiish..., pria memang begitu. Bertampang saleh dan luguh namun hatinya memendam syawat yang menjulang."
Perempuan juru masak itu tidak habis-habisnya berpikir tentang apa yang telah dilakukan Misel terhadap dirinya. Maklumlah sepanjang hidupnya ia belum pernah menjalin hubungan yang spesial apa lagi hubungan intim dengan laki-laki. Perempuan juru masak itu menyandang julukan sebagai ra-tu (perawan tua).
Fakta ini mempertegas kenyataan kalau dia memang tidak membangkitkan hasrat para pejantan tangguh yang ada di rumah karantina itu. Atau mungkin saja ada lelaki yang terpaksa memendam hasrat itu. Hal itu terjadi karena takut dinilai tak pantas untuk bertahan di rumah karantina.
O ya, rumah ini kadang disebut juga sebagai rumah suci karena para penghuninya belajar untuk hidup suci dengan menahan syawat. Mereka belajar dari para guru dan maha guru yang bergelar master pun doktor dalam bidang filsafat dan teologi jebolan universitas ternama di negara-negara benua biru, sebut saja Eropa.
Tidak tanggung-tanggung mereka memiliki nalar yang mumpuni untuk mengerti, memahami dan mengajarkan atau menjelaskan tentang Tuhan yang absolut dan manusia yang fana. Kelak hasil didikan mereka akan menjalani hidup suci dengan mengabdikan diri sebagai saksi dan pewarta kebenaran iman kristiani ke seluruh penjuru dunia yakni Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Australia.
Mereka menjelajahi dunia, menguasai bahasa internasional, menguasai ilmu pengetahuan tentang ke-Tuhan-an, ke-manusia-an, termasuk menguasai syawatnya. Slogan utama dalam menguasai syawat adalah menyangkal diri atau bisa juga disebut menipu diri. Mereka berani mengatakan tidak pada hasrat kodrati manusia, yaitu kawin.