Mohon tunggu...
Yano Sanbein
Yano Sanbein Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

kegemaran dalam hal-hal yang berangkat dari keinginan merupakan suatu sikap dimana seseorang aktif dalam berpikir. sejatinya tidak begitu menarik jika kegemaran dan keinginan tidak diaktualisasikan dalam hal meluapkan pikiran kritis. filosofi tentang apa yang seharusnya dan tanpa tanda sikap yang sadar dan mati dalam kelogisan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi budaya Dalam Masyarakat Dawan Noemuti

13 Desember 2023   11:56 Diperbarui: 13 Desember 2023   20:02 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KOROLELE DALAM MASYARAKAT DAWAN NOEMUTI

(Memaknai Tradisi Dalam Era globalisasi)

 

PENDAHULUAN

Budaya bangsa Indonesia beranekaragam, termasuk didalamnya sistem religi atau system kepercayaan yang hidup dan dihayati oleh masyarakat di setiap suku bangsa. Perlu disadari dan dipahami, bahwa kontribusi kepercayaan masyarakat bagi bangsa Indonesia jelas tidak sedikit. Selain merupakan salah satu akar bagi tumbuh kembangnya kebudayaan Indonesia, kepercayaan masyarakat/komunitas adat juga memberi ciri kebudayaan daerah setempat. Yang lebih hakiki lagi, kepercayaan-kepercayaan masyarakat (komunitas adat) mengandung makna dan nilai yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

 

Masyarakat Dawan yang ada di Noemuti sejak dahulu telah memiliki kesadaran akan sejarah dan budaya yang cukup baik. Kesadaran itu tercermin dari sikap social dan keberagaman yang terus mengakomodasi tradisi dan budaya lokal sebagai warisan dari leluhur. Dalam hidup keseharian, masyarakat Dawan Neomuti selalu mengadakan ritual-ritual yang dirasa perlu sebagai suatu penghormatan khusus misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, juga pada momen-momen seperti saat ingin membangun rumah baru, ketika akan menempati rumah baru, setelah panen, dan juga pada kematian.  

 

Praktek tradisi yang diterima dari leluhur tidak dapat dipisahkan dari adanya unsur kepercayaan, karena jauh sebelum agama masuk (khususnya agama Katholik) masyarakat Dawan telah memiliki kepercayaan pada suatu substansi yang diyakini lebih tinggi daripada manusia sendiri. Masyarakat Dawan sebelum adanya agama, menyebut Hakikat tertinggi itu dengan sebutan Usi Neno (Tuhan Maha Tinggi Sang Pencipta). Uis Neno ini disebut juga sebagai Amoet Afakaet, yang artinya pencipta dan berkarya. Jadi Uis Neno lah diyakini sebagai pencipta manusia.

 

Salah satu tradisi dari masyarakat suku Dawan Noemuti yang dilakukan saat memperingati kematian seseorang adalah Korolele. Praktik ini sangat khas dan diminati oleh semua kalangan masyarakat baik dewasa maupun muda-mudi sehingga semua akan berusaha untuk ikut ambil bagian saat menumbuk padi secara bersama-sama di sebuah lesung yang panjang sambil diiringi dengan lagu Korolele dan dipandu oleh dua orang tua adat yang fasih dalam melakukan pantun adat. Pelaksanaan Korolele ini dilakukan untuk menghormati arwah leluhur atau anggota keluarga yang telah berpulang seturut kepercayaan bahwa dia sedang menuju ke tepat Usi Neno. Korolele biasanya mengundang perhatian yang besar dari masyarakat sekitar dan akan dihadiri oleh suku-suku tetangga.

 

Seiring berjalannya waktu, dengan kuatnya arus globalisasi yang dibarengi dengan perkembangan teknologi yang kian pesat, kearifan budaya lokal perlahan-lahan mulai pudar. Banyak tradisi mulai dilupakan karena anak-anak jaman sekarang yang lebih memilih untuk menghidupi dunia modern ketimbang kembali pada tradisi yang dipandang tradisional. Akibatnya, proses pelaksanaan tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur perlahan-lahan mulai terlupakan bagian demi bagian. Hal yang ditakutkan, ialah bahwa suatu saat nanti masyarakat akan lupa cara melaksanakan tradisi yang telah diwariskan. Kehilangan identitas seperti ini dapat menyebabkan karakter anak bangsa mulai menurun dan akhirnya bisa merusak citra diri bangsa Indonesia yang menghormati budaya lokal. Bertolak dari masalah ini, penulis merasa tertarik untuk membuat sebuah kajian budaya untuk menyadarkan anak bangsa mengenai pentingnya menghargai dan menghudupi budaya lokal. Dengan demikian penulis membuat sebuah kajian budaya dengan Judul: KOROLELE DALAM MASYARAKAT DAWAN NOEMUTI (Memaknai Tradisi pada Era globalisasi).

 

PEMBAHASAN

Asal-usul Suku Dawan

 

Dawan biasa pula dinamakan suku bangsa Atoni. Suku bangsa ini merupakan salah satu kelompok penduduk asal di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka berdiam terutama dalam wilayah Kabupaten Kupang, Kabupaten TimorcTengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Orang Dawan ini merupakan kelompok etnik yang terbesar di daratan Pulau Timor. Dalam berbagai tulisan, baik tulisan sejarah maupun dari hasil laporan etnografis menyebutkan bahwa penduduk di Timor Tengah Utara merupakan hasil pembauran ras dari kelompok etnis yang sudah berlangsung sejak awal mula. Ada penduduk asli (Melanesia), penduduk Mogran (Austronesia dan Deutro Melayu), penduduk campuran (Topasses) pada para pedagang dan lain sebagainya. Dalam pandangan orang Dawan atau Atoni pada umumnya, mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari timur yang mereka katakan sebagai dari arah matahari terbit "Man Sesaen". Mereka datang dari 4 (empat) bersaudara yaitu Ato, Bana, Lake dan Sanak yang kemudian mendiami wilayah Kefetoran Bikomi. Menunjuk arah timur dari TTU tentunya yang dimaksud adalah Kabupaten Belu atau Timor Leste dengan suku bangsa dan bahasa Tetun. Empat bersaudara tadi sekarang menjadi 4 suku besar di Bikomi yang memegang peranan adat. Beberapa informan mengatakan, perjalanan orang Dawan atau Atoni Pah Meto atau orang gunung berasal dari daratan Malaka (Asia) yang berlayar menuju ke arah timur. Dalam perjalannya dari Malaka hingga ke Timor beberapa kali singgah antara lain di Jawa dan di Flores hingga akhirnya sampai di Timor dan mendarat di wilayah Belu bagian selatan yang disebut dengan Malaka, dan sebagian lagi meneruskan perjalanan ke Sabu dan ke Rote. Orang-orang yang mendarat di Malaka sebagian tetap bertahan dan sebagian lagi melanjutkan perjalannya ke arah gunung, ke arah utara dan barat. Adapun mereka yang bertahan di Malaka (Belu Selatan) membuat pemukiman di wilayah Malaka (Belu selatan) yang kemudian di sebut dengan Tetun, karena daerah Malaka (Belu Selatan) ini tanahnya relatif datar dan subur. Sedangkan mereka yang melanjutkan perjalanan terutama ke arah gunung disebut dengan Dawan atau orang gunung.

Kepercayaan orang Dawan sebelum masuknya Agama

 

Kepercayaan akan Adanya Roh-Roh dan Wujud Tertinggi

 

Pada prinsipnya, Atoni Meto Noemuti telah lama mengenal 'yang Kudus' dalam seluruh tata pergumulan mereka dengan alam dan sesama setiap hari. Wujud tertinggi sudah dikenal dan disembah oleh Atoni Meto Noemuti jauh-jauh hari sebelum masuknya ajaran Iman Kristiani oleh para biarawan Dominikan. Pada masa tradisional, Atoni Meto Noemuti tidak memiliki nama tertentu yang eksklusif untuk menyebut Wujud Tertinggi itu. Mereka mempunyai suatu alasan tersendiri untuk tidak menyebut wujud tertinggi itu, dengan berpersepsi bahwa yang maha tinggi itu bersifat sakral (le'u). Apalagi menyebut nama Wujud Tertinggi dengan suatu istilah tertentu, berarti orang itu akan mati. Untuk itu, pada masa tradisional Atoni Meto Noemuti, berpendapat secara komunal untuk tidak perlu diberi nama tertentu kepada wujud tertinggi ini, agar tidak membawa celaka bagi kehidupan mereka baik secara keolompok atau secara pribadi. Selain wujud tertinggi ini, Atoni Meto Noemuti juga percaya akan adanya roh-roh dan arwah. Roh-roh ini dikenal sebagai roh yang membawa malapetaka (maufinu ma amleut) kepada manusia. Sering roh-roh inilah yang mendapat penghargaan istimewa dari manusia, dengan alasan: supaya tidak mengirim maufinu kepada anggota masyarakat. Ada yang menyebut roh-roh ini sebagai ni'jabu, yang selalu datang menarik manusia dari kehidupan yang baik kepada suatu perbuatan yang jahat dan merugikan orang lain. Akan tetapi ada juga roh yang baik yaitu roh yang membimbing manusia pada kebaikan. Atoni Meto Noemuti juga percaya akan arwah-arwah (pah nitu). Arwah atau nitu dianggap oleh mereka sebagai jembatan emas yang menghubungkan manusia yang masih hidup di atas dunia dengan wujud tertinggi. Misalnya kerapkali Atoni Meto mengadakan berbagai ritus adat di rumah adat (ume le'u), pada kesempatan itu mereka selalu memangil arwah dari para leluhur.

 

Konsep Tentang Usi Neno

 

Komunitas adat Dawan mempunyai keterkaitan dengan sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus. Ritus-ritus keagamaan yang dijalani. Menurut orang Dawan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Pencipta yang menjadikan langit dan bumi disebut dengan Uis Neno (Uis = Tuhan atau dewa; Neno = matahari) atau disebut juga sebagai amoet afakaet, yang artinya pencipta dan berkarya. Sepanjang kehidupan ini manusia berada di bawah lindungan langit dan bumi tersebut. Konsep Uis Neno ini secara mikro manusia meniru bentuk langit dan bumi itu, dan ini diterapkan pada bentuk rumah tinggal orang Dawan yang berfungsi sebagai tempat perlindungan sepanjang kehidupan. Rumah tempat tinggal orang kebanyakan yang disebut ume tue yang dibedakan dengan Sonaf (ume Usif) pada orang Dawan puncak atapnya berbentuk sanggul wanita atau palung terbalik (ume ba'i). Rangka atap yang berbentuk bulat dan kerucut itu menjuntai ke bawah disesuaikan dengan bentuk alam semesta. Bentangan langit yang melingkupi bumi berbentuk bulat, sedangkan bumi yang dilingkupi langit itu juga bulat. Langit dan bumi itu merupakan lingkungan kehidupan manusia. Oleh karena itu, orang Dawan menirukan bentuk langit dan bumi dalam wujud rumah. Hal ini, karena menurut orang Dawan, langit dan bumi dijadikan oleh Uis Neno. Manusia dalam hidupnya berada di antaranya. Uis Neno dikelilingi oleh rombongan roh-roh sebagai kekuatan yang tidak kelihatan. Oleh karena itu manusia selalu berkontak sapa secara intensif dengan roh-roh ini untuk menenteramkannya melalui doa-doa, dimana Uis Neno menduduki posisi sentral. Hal ini, karena dalam kepercayaan Uis Neno, bahwa setiap orang tidak dapat berhubungan secara langsung dengan Tuhan, melainkan harus melalui perantara yaitu leluhur orang tua kita yang telah meninggal, karena dianggapnya orang yang telah meninggal rohnya sudah bergabung dengan Tuhan sehingga dapat menjadi perantara bagi yang hidup dengan Tuhan. Menurut kepercayaan suku Dawan, semua roh nenek moyangnya yang telah meninggal dunia berkumpul di Gunung Mutis, yaitu di sebuah pegunungan yang terletak di sebelah Timur. Roh-roh tersebut masih mempunyai keterikatan dengan manusia yang hidup. Oleh sebab itu di dalam upacara-upacara ritual, meskipun tidak diadakan di Gunung Mutis, tetapi roh-roh yang berada di gunung tersebut selalu disebutkan dalam doa-doanya. Uis Neno lebih dari dewa alam. la adalah asal-mula segala sesuatu. la lebih tinggi dari langit dan bumi, wujud transendental dalam dunia tersembunyi dengan manifestasinya adalah matahari. la adalah pribadi yang berkilau-kilau (apinat-aklahat).

 

Agama Katolik Menjadi Mayoritas

 

Pada zaman dahulu, para leluhur Atoni Meto Noemuti telah memeluk suatu agama tradisional yang mempunyai allah yang luhur bagi mereka yaitu; Usi Neno. Pada abad ke-17, ketika agama Katolik Roma dibawa masuk ke wilayah Timor melalui Lifao Oe'cusse, maka Noemuti menjadi salah satu tempat sasaran bagi para biarawan Dominikan untuk menyebarkan agama Katolik. Hal ini disebabkan, Noemuti adalah salah satu benteng pertahanan para tentara Portugis waktu itu. Para biarawan Dominikan ingin memperbarui iman Atoni Meto Noemuti waktu itu dengan menjelaskan allah yang mereka sembah, puji dan membuat korban kepadanya, sebenarnya adalah Tuhan Allah yang ada dalam ajaran iman Kristen Katolik. Rencana ini sepertinya telah didukung oleh para tentara Portugis Hitam (Topases) yang pada waktu itu sedang mendiami wilayah Noemuti, dengan latar belakang ber-agama Katolik. Maka rumah adat yang merupakan representasi dari berbagai marga atau suku (kanaf) di Noemuti, dahulunya menjadi tempat pertemuan untuk melakukan ritual adat sebelum dan sesudah perang, tempat penyimpanan barang-barang pusaka yang bersifat sakral (le'u), dijadikan sebagai kapela-kapela kecil oleh para biarawan Dominikan untuk tempat berdoa dan pembinaan iman Atoni Meto Noemuti waktu itu. Selain itu, berbagai barang pusaka yang dianggap sakral oleh Atoni Meto Noemuti di dalam rumah adat, digantikan oleh para biarawan dengan menempatkan berbagai arca orang kudus atau patung-patung kudus. Oleh sebab itu, rumah suku adat Atoni Meto Noemuti yang sebelumnya disebut sebagai ume le'u (rumah Pemali atau sakral) diubah namanya menjadi ume Usi Neno (rumah Tuhan). Hal ini dilakukan sebagai pencegahan bagi terulangnya praktik kegiatan keagamaan asli masyarakat setempat. Kemungkinan besar berbagai hal yang terjadi seperti digambarkan di atas, bertolak dari pemahaman Atoni Meto Noemuti waktu itu, tentang suatu Pribadi Ilahi yang tidak mereka kenal. Jadi para misionaris waktu itu mengajarkan kepada Atoni Meto untuk menyebut Sang Ilahi dengan sebutan 'Usi Neno' yang adalah raja langit dan Tuhan Allah dalam ajaran Iman Katolik. Dari latar belakang singkat di atas tentang bagaimana agama Katolik dapat diimani oleh Atoni Meto Noemuti. Atoni Meto Noemuti ditarik dari praktik animisme dan dinamisme kepada Allah yang benar yaitu Allah yang diimani dalam iman Kristen Katolik.

 

Kondisi Kesenian dan Kebudayaan di Era Globalisasi

 

 Era globalisasi dapat menimbulkan perubahan pola hidup masyarakat yang lebih modern. Akibatnya masyarakat cenderung untuk memilih kebudayaan baru yang dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal. Salah satu faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan dimasa sekarang adalah; kurangnya generasi penerus yang memiliki minat untuk belajar dan mewarisi kebudayaannya sendiri, dan akibatnya adalaha perubahan budaya terjadi di dalam masyarakat tradisional, yaitu perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Dampak Globalisasi terhadap Seni dan Budaya Indonesia Indonesia terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja.

 

Perubahan Tata Nilai di Masyarakat

 

Secara tradisional, bangsa-bangsa di wilayah Timur, pada umumnya memiliki orientasi nilai budaya yang bersifat mistis, magis, kosmis dan religius. Bangsa yang berorientasi pada nilai Budaya seperti ini, secara umum ingin hidup menyatu dengan alam karena mereka menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari alam. Alam sebagai sumber kehidupan memiliki kekuatan atau potensi tertentu yang memberi atau mempengaruhi hidupnya (Ratna Kutha, Nyoman 2007:63). Oleh karena itu segala sesuatunya diarahkan untuk menuju kehidupan yang harmoni dengan alam dan berusaha menghindari segala hal yang berakibat bertentangan dengan atau melawan alam. Dalam pandangan seperti itu alam adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos. Oleh karena itu jika ingin kehidupan ini sejahtera dan selamat, maka manusia sebagai mikrokosmos haruslah berusaha menyatukan, menyelaraskan atau mengharmoniskan kehidupannya dengan alam sebagai makrokosmos.

 

Karya-karya seni tradisional yang dihasilkan baik seni rupa, seni musik maupun bentuk seni yang lainnya ketika terjadi peristiwa upacara atau ritual seperti halnya daur hidup, bersih desa, pesta panen, minta hujan ataupun sedekah bumi. Tari dan seni pertunjukan yang lainnya sering dikemas untuk suatu kepentingan peristiwa budaya tertentu, misalnya dalam berbagai upacara adat atau keagamaan. Karena kegiatan estetik semacam itu lebih dirasakan sebagai aktivitas yang bersifat mistis atau religius. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa bentuk kesenian Nusantara.

 

Globalisasi tanpa disadari telah membawa perubahan tata nilai di masyarakat. Perubahan itu nampak terjadinya pergeseran sistem nilai budaya serta sikap dan pandangan yang telah berubah terhadap nilai-nilai budaya. Pengaruh global tanpa disadari telah menimbulkan mobilitas sosial, yang diikuti ol eh hubungan tata nilai budaya yang bergeser dalam kehidupan masyarakat. Dampak globalisasi dan kemajuan di bidang tekhnologi komunikasi yang masuk secara tidak disadari membawa dampak terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari luar. Khususnya dengan kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan saja intensitasnya menjadi besar, tetapi juga penyebarannya berlangsung dengan cepat dan luas jangkauannya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang kadangkadang menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat.

 

Menghadapi era globalisasi, maka kita dituntut mampu mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya yang memiliki (kearifan-kearifan lokal/ lokal genius). Oleh karena itu pentingnya memahami budaya-budaya daerah yang dimiliki bangsa ini serta mengembangkan karya-karya seni melalui pendekatan filsafat Nusantara yang dikenal sebagai Filsafat Mistika (2012:2).

 

Pemaparkan di atas menjelaskan bahwa mempelajari Filsafat Mistika (Mystical Philosophy), adalah mencari kesempurnaan sejati (ngudi kasampurnan jati). Pandangan yang menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, disertai dengan sifat ikhlas terhadap segala peristiwa yang terjadi, sambil menempat individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (hubungan makrokosmos dan mikrokosmos). Yakni barang siapa hidup selaras dengan dirinya sendiri, akan selaras dengan masyarakatnya, maka hidup selaras juga dengan Tuhannya dan mampu menjalankan hidup yang benar.

 

Ahimsa Putra berpendapat bahwa "Kearifan lokal adalah kebiasaan suatu komunitas yang mengandung tata nilai, sumber moral yang dihargai oleh komunitas itu. Kearifan lokal juga memiliki pengertian sebagai perangkat pengetahuan dan praktek yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan/kesulitan yang dihadapi dengan cara yang baik, benar dan bagus (2009 : 2). Kearifan lokal (local wisdom), secara singkat diartikan sebagai kebijaksanaan lokal, sedangkan secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil pengolahan masyarakat secara lokal, dan berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan masyarakat serta pragmatis, karena konsep yang terbangun sebagai hasil pengolahan fikir dalam sistem pengetahuan bertujuan untuk memecahkan masalah sehari-hari.

 

Kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan yang bernilai tinggi, atau mengandung nilai-nilai yang luhur. Budaya yang tercipta membentuk serta menumbuhkan identitasnya sebagai manusia seutuhnya. Setiap orang memiliki identitas yang dibangun oleh budayanya, dan kearifan lokal hadir dalam budaya yang membentuk identitas manusia itu.

 

Indonesia memiliki wilayah yang luas, serta memiliki kekayaan budaya dan dan kearifan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air di Indonesia. Perubahan kebudayaan yang berakibat pada perubahan pola fikir, gaya hidup, dan kebudayaan masyarakat yang berdampak pada perubahan kearifan lokal, terjadi pergeseran atau mulai ditinggalkannya kearifan lokal.

 

Pemberdayaan kearifan lokal dalam pengembangan kebudayaan daerah perlu dilakukan karena hilangnya kearifan lokal di Indonesia bisa berdampak ketahanan budaya dan terhambatnya pencapaian tujuan nasional. Sementara itu pengembangan kebudayaan daerah ditekankan pula pada keberlanjudan kehidupan seni tradisi, baik kesenian keraton maupun kesenian rakyat. Upaya pelestarian dan pengembangan melalui pendidikan formal dan non formal.

 

Pengembangan budaya yang secara terus menerus dilakukan dapat mendukung keberlangsungan kehidupan budaya, yang berpengaruh dan berkarakter, identitas, dan integritas bangsa Indonesia. Hal itu menjadi salah satu faktor yang menentukan kekuatan atau ketangguhan budaya Indonesia terhadap pengaruh budaya dari dalam maupun dari luar atau disebabkan oleh faktor internal dan eksternalnya. Menurut Sedyawati, ketahanan Budaya diartikan sebagai kemampuan sebuah kebudayaan untuk mempertahankan jati dirinya, tidak dengan menolak semua unsur asing, melainkan dengan menyaring, memilih, dan jika perlu memodifikasi unsur-unsur budaya luar, sedemikian rupa sehingga tetap sesuai dengan karakter dan citra bangsa (Edi Sedyawati 2007:7).

 

Untuk menghadapi pengaruh budaya asing itu, maka diperlukan kreatifitas atau daya kreatif dan kritis untuk menanggapi segala pengaruh dalam kehidupan. Kreativitas itu pada dasarnya terdapat pada semua masyarakat, baik yang konservatif maupun progresif. Pada kenyataannya budaya Indonesia selalu berubah sesuai dengan zamannya. Selain itu, dapat pula meningkatkan kreativitas seniman agar produktif di dalam menciptakan karyakarya seni, menyediakan sarana dan prasarana.

 

Konsep Tentang Korolele dalam masyarakat Dawan Noemuti

 

Gambaran Umum Mengenai Korolele

 

Korolele telah melekat dan menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat Dawan di wilayah Noemuti, serta menjadi tradisi yang terus dilangsungkan secara turun-temurun oleh masyarakat di wilayah itu. Dalam melangsungkan persiapan untuk menggelar Korolele, banyak hal penting yang harus diperhatikan dan yang perlu diperhatikan secara khusus adalah berkaitan dengan marga dan status social suku yang menyelenggarakan Korolele, karena silsilah atau keturunan akan menjadi petunjuk dalam mempersiapkan segala sesuatu, sejak hari perencanaan hingga hari pelaksanaan, agar tidak menyalahi penentuan adat yang telah berlaku turun-temurun.  

 

Tradisi ini, umumnya dilakukan untuk menghormati arwah leluhur atau anggota keluarga yang telah berpulang, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat suku Dawan sangat menghormati arwah para leluhur yang diyakini sebagai jembatan yang menghubungkan manusia dengan UsiNeno. Pada hari pelaksanaannya, Korolele akan mengundang perhatian dari banyak anggota masyarakat, baik yang ada di sekitar maupun dari suku dan desa tetangga. Waktu pelaksanaan Korolele dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan keluarga besar yang menyelenggarakannya. Ada yang melangsungkan tradisi ini selama tiga hari, ada pula yang berlangsung seminggu, dan tidak menutup kemungkinan selama empat puluh hari. Semuanya kembali pada kesepakatan dan kemampuan dari keluarga besar yang ingin menyelenggarakan tradisi ini.

 

Tata cara Korolele

 

Korolele merupakan ritual adat yang dilaksanakan dengan menumbuk padi secara bersama-sama oleh banyak orang sambil diiringi lagu Dawan sebagai ungkapan hati keluarga besar untuk mengenang arwah leluhur atau anggota keluarga yang telah berpulang. Korolele dipandu oleh dua orang tokoh adat yang fasih dalam melakukan pantun adat. Kemampuan untuk berpantun itu, dalam bahasa Dawan dikenal dengan sebutan Amnaitne. Korolele dilakukan hanya oleh sebuah keluarga besar yang sudah mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaannya dalam jangka waktu yang terbilang lama. Tujuannya jelas bahwa persiapan ini harus dilaksanakan dengan matang sebelum mulai untuk melaksanaknnya agar tidak menemui halangan yang berarti dan dapat dilaksanakan dengan baik.

 

Sebagai sebuah ritual, Korolele mempunyai aturan dan tata cara tersendiri yang umumnya meliputi: waktu, tempat, orang-orang yang ikut ambil bagian, dan persipan yang cukup panjang. Musyawarah adalah hal penting yang selalu dilakukan oleh keluarga besar dalam mempersiapkan segala sesuatu. Dalam musyawarah itu, biasanya dapat ditemukan persembahan/sesaji yang ditujukan kepada roh para leluhur dan dilakukan oleh orang yang dianggap mampu berkomunikasi dengan para leluhur, untuk mencari petunjuk serta menentukan segala sesuatu dalam balutan kebersamaan agar diketahui oleh semua anggota keluarga. Ketika musyawarah telah tercapai, maka hal selanjutnya yang diperlukan adalah mencari alat dan bahan yang akan digunakan saat Korolele.

 

Alat utama yang dibutuhkan adalah sebuah lesung panjang yang dalam bahasa Dawan disebut Bai serta tongkat untuk menumbuk padi yang disebut dengan alu/Hanu. Lesung yang diperlukan biasanya diberi kisaran panjang 20-25 meter. Lesung ini dibuat dengan terlebih dahulu mencari kayu sebagai bahan mentah di hutan. Proses pencariannya dimulai dengna menggunakan ritual adat sebagai tanda untuk memohon restu dari para leluhur untuk pengambilan dan pemotongan kayu untuk dijadikan bai serta hanu. Setelah selesai dipotong, kayu akan dibawa ke kampung. Saat kayu yang diusung memasuki kampung, tua adat bersama keluarga besar akan menerima para pengusung dalam sebuah tutur adat ibarat menerima tamu istimewa yang akan memasuki kampung. Selain alat, bahan utama yang diperlukan adalah padi. Padi diperoleh dengan cara dikumpulkan dari sumbangan setiap kepala keluarga dalam sebuah keluarga besar.

 

Sebelum memulai tradisi ini, keluarga besar melaui seorang tua adat yang dipercaya mampu berkomunikasi dengan para leluhur akan melakukan upacara untuk meminta petunjuk dengan menyembelih seekor hewan. Biasanya hewan yang digunakan adalah ayam atau babi. Petunjuk untuk memulai tradisi ini biasanya dilihat dari usus pada ayam dan hati pada babi. Tradisi ini disebut Taelilo. Masyarakat Dawan percaya bahwa roh leluhur biasanya akan memberi petunjuk melalui hewan-hewan yang disembelih. Jika tua adat mengatakan bahwa tanda yang diberikan baik, maka Korolele akan segera dimulai tetapi jika pertanda yang diberikan kurang baik, upacara akan ditunda oleh keluarga besar dan akan dilakukan musyawarah bersama untuk membahas dan menentukan hari yang tepat untuk memulainya lagi.

 

Jika tanda yang diberikan melalui hewan yang disembelih menunjukan tanda yang baik, maka Korolele akan dimulai dengan melakukan ritual adat di rumah adat. Kemudian keluarga akan mengundang orang-orang untuk ambil bagian dalam acara Korolele yang dilaksanakan. Umumnya, suku-suku dari desa tetangga akan diundang untuk bergabung dalam tradisi ini. Penting untuk diingat bahwa Korolele hanya dilaksanakan pada malam hari saja dari pukul 6 sore sampai pukul 5 pagi. Acara tumbuk padi menjadi sangat unik karena para peserta akan menyanyikan lagu dalam syair Dawan yang disertai dengan motif bunyi yang sama dalam setiap tumbukan padi. Nyanyian juga akan diselingi dengan pantun berbalas-balasan yang dilakukan oleh dua tua adat. Hal ini akan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang pagi.

 

Fungsi Korolel

 

Era Globalisasi menandai sebuah perubahan besar dalam kehidupan umat manusia di segala penjuru dunia. Hal ini tak lepas dari kuatnya pengaruh yang ditimbulkan dari globalisasi terhadap segala aspek dalam kehidupan manusia seperti di bidang ekonomi, teknologi, gaya hidup, kebudayaan serta social dan politik hingga pada tatanan nilai-nilai kehidupan yang telah dihidupi masyarakat. Majunya sistem teknologi membawa begitu banyak hal positif bagi bangsa Indonesia, tetapi tak bisa dipungkiri juga bahwa telah merongrong budaya Indonesia. Masuknya sistem-sistem nilai dari bangsa Barat diangap membuka cakrawala berpikir masyarakat tetapi dapat memiliki dampak buruk yang timbul dalam masyarakat berkaitan dengan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun yaotu bahwa masyarakat mulai kehilangan identitasnya sebagai manusia budaya yang menjaga warisan leluhur. Berkaitan dengan tradisi Korolele yang telah dihidupi oleh masyarakat Dawan di Noemuti, kebudayaan ini dapat saja menjadi tinggal cerita apabila masyarakat tidak mampu menjaganya dengan baik.

 

Terlepas dari semua itu, Korolele adalah sebuah kebudayaan yang memiliki nilai seninya tersendiri. Dalam berbagai wujud, pengekspresiannya dapat dijadikan sebagai cermin budaya, karena selalu bergerak bersama dengan hati masyarakat. Dalam masyarakat sendiri, terdapat beberapa jenis kesenian dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada tradisi yang sama sekali tidak berhubungan dengan nilai religi dan hanya dilakukan sebagai hiburan semata, namun ada juga yang memiliki nilai religi, dalam artian bahwa pelaksanaan tradisi yang dilakukan disertai dengan suatu keyakinan atau kepercayaan tertentu. Tradisi Korolele yang masih dihidupi oleh masyarakat suku Dawan Noemuti adalah salah satu contoh kesenian yang dipercaya memiliki nilai sakral yang telah ada sebelum ajaran agama masuk ke wilayah Noemuti. Proses pelaksanaannya sangat berkaitan erat dengan nilai kepercayaan masyarakat dan juga hubungannya dengan alam sekitar.

 

Berkaitan dengan kodrat manusia, dijelaskan bahwa manusia memiliki pengetahuan dan daya nalar yang terbatas. Keterbatasan itu memaksa masyarakat untuk mengakui dan menerima hal-hal yang di luar jangkaun manusia. Atas dasar keterbatasan itu, lahirlah agama yang lahir sebagai ekspresi ketidakmampuan manusia untuk menangkap atau menerangkan dengan akal pikiran segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pada sisi yang lain, agama juga dapat muncul sebagai akibat adanya krisis dalam diri manusia. Agama menjadi jawaban dari kegelisahan itu.

 

Adapun hal-hal yang mendorong mausia melaksanakn aktivitas-aktivitas yang bersifat keagamaan terjadi karena adanya emosi dan getaran jiwa yang sangat mendalam dan disebabkan karena rasa takut, terpesona pada sesuatu yang gaib atau keramat, di samping sebagai sebuah harapan yang menginspirasi perjalanan kehidupan manusia (Murthannari, 2007: 103). Perasaaan itu terpancar dari daya misterius yang merupakan prinsip penyatuan dengan alam semesta. Pada masyarakat primitif, manusia mengaitkan perasaan itu dengan binatang, tumbuhan atau benda keramat yang dijelmakan sebagai daya misterius tersebut.

 

Pemahaman masyarakat tradisional di perkampungan menekankan bahwa agama dan adat istiadat adalah dua hal yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak berbeda kalaupun terdapat sifat yang sedikit kabur. Hal ini bisa dijelaskan dengan melihat tradisi ketika Pentekosta di dalam masyarakat Dawan Noemuti yang mana umat biasanya membawa jagung yang dalam tradisi dibesut pen'tauf. Hal ini dipandang pleh umat sebagai sebuah kewajiban agama sekalihgus kewajiban adat. Ritual-ritual semacam ini memberikan masyarakat sebuah cara berpikir tentang keterkaitan yang erat antara budaya, alam dan kepercayaan. Pemikiran tersebut hadir pila dalam tradisi Korolele yang mana tradisi tersebut merupakan sebuah hal wajib yang selalu dilaksanakan sebelum keluarga besar melangsungkan kenduri untuk mengenang arwah leluhur atau anggota keluarga yang telah meninggal dunia.

 

 

Daftar Pustaka

 

Maria, Siti, dan Julianus Limbeng. (2006). Kepercayaan Komunitas Adat Suku Dawan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

 

Ridi, S. (2020). Upacara Kure Atoni Meto Noemuti Dalam Relasi Dengan Pelaksanaan Tiga Tugas Gereja. Skripsi. Maumere: STFK Ledalero.

 

Setyaningrum, N. B. (2021). BUdaya Lokal di Era Globalisasi. diakses pada Mei 26, 2021, pukul 17.05, from https://journal.isi-padangpanjang.ac.id,

 

Silab, Wilfridus, dan Soleman Bessie. (1990). Rumah Tradisional Suku Bangsa Atoni-Timor. Kupang: CV. Nalalu.

 

Surahman, S. (2021). Dampak Globalisasi Media Terhadap Seni dan Budaya Indonesia. diakses pada 26 Mei, 2021, pukul 16.44, from https://core.ac.uk/download/pdf/327233018.pdf,

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun