"Oya, aku sudah cukup lihai membunuh orang-orang seperti kalian. Jika tidak, kita tak pernah bicara!" tegasku. Iapun melakukan perintahku. Beberapa saat kemudian aku memang tak melihat mereka dibelakang. Lalu kulihat ia melepas sesuatu dari lubang telinganya, sepertinya itu alat kamunikasi yang ia pakai sedari tadi. Ia juga mencabut sesuatu dari giginya, mungkin sejenis alat pelacak. Lalu dia menatapku sejenak.
"Sekarang hanya kita berdua, kau tak perlu menodongku. Dari caramu bertarung, aku yakin kau bisa membunuhku!" ucapnya.
Aku tak mungkin percaya begitu saja padanya, secara ia adalah salah satu dari mereka. Aku tetap menodongnya.
"Aku tak sependapat dengan Darco," katanya lagi. Aku sedikit menjinjing alis, sepertinya ia tahu ketidaktahuanku tentang orang yang disebutkannnya, "orang yang bicara padamu di telepon!" jelasnya. Aku memberi ekspresi mengerti, "mungkin saat ini kau memang tidak mengetahuinya, tapi tidak tahu bukan berarti tidak memiliki. Jika kau sudah menemukan dimana benda itu tersimpan, kuharap kau tidak salah langkah!" ia berkata seolah ia percaya padaku. Aku hanya diam menyimak. Tapi apa yang dikatakannya benar juga, mungkin memang ada sesuatu yang tak kuketahui tentang arloji yang Max berikan padaku!
Kami sudah cukup jauh melaju, kuminta dia menghentikan mobil itu di tepi jalan yang ramai. Dan saat aku hendak meluncur keluar ia berkata,
"Jika kau sudah menemukan apapun itu, berhati-hatilah pada barang itu sendiri!" lalu ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sesuatu dan menyodorkannya padaku. Secarik kertas, kupungut dan kubuka. Nomor telepon.
"Hanya istriku yang tahu nomor itu," katanya seperti meyakinkanku. Aku menatapnya sejenak lalu melenyapkan diri dari hadapannya. Sambil terus berfikir kenapa ia memberiku nomor hp yang sepertinya sudah ia persiapkan sebelumnya? Apakah ia tahu aku pasti akan melarikan diri? Jadi ia sengaja membiarkan dirinya kusandra?
Bagaimana kalau ini hanya permainan mereka?
Sambil terus berjalan menembus keramaian malam, kuhempaskan kertas itu ke tong sampah saat melewatinya. Aku tak membutuhkan kertas itu meski aku masih mengingat jelas setiap angka yang tertera di dalamnya.
* * *
Aku menyewa kamar hotel murah di daerah Jatinegara, daerah rawan seperti itu sengaja kupilih untuk bersembunyi. Siapa yang berfikir bersembunyi di tempat yang sarat dengan kehidupan malamnya! Sebagian orang bisa mengambil opsi itu. Sesampainya di kamar langsung kubuka arlojiku dan menlemparnya ke kasur. Kupandangi lama, lalu kupungut. Kuamati, tak ada apapun selain empat biji kristal Swarovsky yang berada di lingkarannya. Kubanting lagi ke kasur beserta tubuhku yang lelah. Lebih lelah dari sekedar bekerja seharian plus lembur sebagai teknisi komputer. Sepertinya enak jika bisa kupejamkan mata sejam-dua jam. Aku tergoda untuk lakukan itu, tapi...bagaimana jika ada yang meledakkan kepalaku saat aku terlena? Aku kembali duduk, mengusap wajahku dengan telapak tangan. Kulirik arloji itu kembali seraya berbisik dalam hati.