Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Watch

26 September 2016   15:41 Diperbarui: 26 September 2016   17:46 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Aku terpaku. Menatap tubuh-tubuh yang terserak di sekelilingku, mereka tak bergerak. Entah, mereka semua mati atau ada beberapa yang pingsan! Tapi aku baru saja memenangkan pertarungan sengit dengan mereka, aku tak tahu siapa mereka, dan mengapa mereka menginginkan kematianku?

Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku, nafasku tersengal. Kucoba untuk menelan ludah, tapi salivaku menguap entah kemana, menciptakan rasa sakit di dalam tenggorokkanku. Kusapukan pandanganku ke setiap sudut ruangan, lalu perlahan, kutundukkan kepala menatap kedua belah telapak tanganku yang diwarnai bercak merah. Aku yakin itu campuran darahku dan darah mereka, ada sedikit rasa perih di punggung tanganku. Dan sepucuk Glock - 17 masih tergenggam erat di tangan kananku, aku ingat tadi aku berhasil merebutnya dari salah satu mereka, benda yang membuatku masih bertahan hidup. Segera saja kulempar benda itu menjauh dari tanganku, aku tak mau lama-lama berurusan dengan senjata api. Kepalaku sedikit pening akibat hantaman bertubi, dan rasa panas merayap di sisi perutku sebelah kiri. Kuraba, basah, merah! Sebutir timah panas berkaliber 9mm menyerempetnya. Kurasa aku patut bersyukur.

Patut bersyukur?

Aku terjebak dalam hal gila ini dan haruskah aku bersyukur karena masih bertahan? Bukankah aku telah membunuh begitu banyak orang, meski itu kulakukan untuk mempertahankan nyawaku!

Kembali aku menatapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan disekitarku, entah bagaimana aku bisa mengalahkan mereka semua! Aku memang pernah bergabung ke Merpati Putih, tapi tak kusangka, keinginan untuk mengetahui kenapa kau harus mati itu bisa mengalahkan maut itu sendiri. Aku tahu ini tidak berakhir disini, justru mungkin ini adalah awal. Mungkin diluar sana masih banyak pemburuku yang lain, aku tidak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga aku pantas mati. Tapi aku tidak ingin mati, tidak sekarang tanpa tahu kenapa?

Kulangkahkan kakiku menghampiri tubuh yang paling dekat denganku, aku mulai memeriksa tubuhnya hingga menemukan sebuah Lencana.

LENCANA!

Dan kartu keanggotaan. Tunggu! Apa ini?

Mereka polisi, intel! Tubuhku melemas perlahan, kupikir mereka adalah anggota mafia atau apa! Sekali lagi kutelan sisa ludah yang mengering di dalam mulutku. Kujatuhkan kedua benda itu, aku sungguh tak mengerti. Kulirik beberapa tubuh lainnya, lalu menghampiri tubuh dari pihak yang berbeda. Aku yakin mereka berbeda pihak karena merekapun saling serang demi memperebutkan nyawaku.

Kuperiksa juga tubuh itu, aku menemukan handphone, pisau lipat di sepatunya. Dan juga..., sekali lagi aku tercengang. Lebih membuat tubuhku lemas. Dinas Rahasia!

Aku terduduk seraya menyeka wajahku. Kenapa mereka memburuku? Apakah mereka pikir aku seorang teroris atau gembong begitu? Sampai mereka harus mengirim agent demi membunuhku? Kenapa mereka tak datang secara baik-baik dan menginterogasiku dengan semestinya? Aku ingin tertawa. Pantaskah aku tertawa saat nyawaku di ujung tanduk?

Kepalaku tiba-tiba terasa berdenyut kembali, aku bangkit berdiri. Berjalan menjauh, apa yang harus kulakukan sekarang?

Beberapa saat kemudian aku hanya bisa terdiam. Dan tiba-tiba terhenyak. Bukankah ada handphone yang kutemukan tadi, pasti ada sesuatu!

Kuhampiri kembali tubuh itu. Segera kupungut handphonenya, kuperiksa, aku tak tertarik dengan nama-nama yang ada. Lalu kuperiksa bagian register, semoga bisa mendapat sesuatu. Aku yakin yang lain juga membawa handphone, tapi aku lebih tertarik pada agent Dinas Rahasia. Karena alasan mereka mengejarku akan menjadi alasan para polisi itu juga, aku yakin.

Ada sebuah panggilan keluar tanpa nama. Dan itu bukan nomor pribadi. Panggilan dilakukan satu jam lalu, mungkin dia lupa menghapus panggilan itu, sebuah keteledoran yang bisa memberiku sedikit celah. Kutatap nomor dilayar ponsel itu, dengan tangan sedikit gemetaran akupun menekan tombol dial.

* * *

Semua orang yang sedang sibuk di dalam ruangan itu terdiam mendengar suara telepon masuk yang menggema, termasuk pria yang sedari tadi gusar sambil sesekali memerintah dengan geram pada semua anak buahnya. Seorang pemuda yang memegang headphone pun memasang alat itu ke telinganya, menerima panggilan yang sudah ia ketahui nama si penelpon karena nomor dan namanya terpapar di monitor, itu adalah nama salah satu agent di kesatuan mereka. Pemuda yang bernama Verel itu sengaja menunggu sang penelpon bersuara lebih dulu, tapi tak ada yang ia dengar.

Nomor yang kuhubungi tersambung. Aktif, tak ada yang menanggapi. Aku pun masih diam, apakah mereka akan bersuara lebih dulu atau justru mematikan panggilan ini!

"Masukkan kodemu!"

Kudengar suara seorang pria menyuruhku memasukkan sebuah kode. Aku tak tahu kode apa yang mereka maksud, jadi aku tetap diam.

"Masukkan kodemu!"

Sekali suara pria itu menyuruhku memasukkan sebuah kode. Mungkin kode yang dimaksud adalah kode kusus yang dimiliki oleh setiap agent. Aku yakin siapapun di telepon itu mulai curiga, dan aku memang harus bicara dengannya.

"Dengan siapa aku bicara?"

Verel terhenyak, ia melepas headphonenya lalu menatap atasannya, "ini darinya," katanya lalu memakai headphonenya lagi dan membesarkan volum audionya, agar semua orang di ruangan itu mendengar. Pria yang sedari tadi hanya memerintah dalam kegusaran itupun mendekat ke mic,

"Dengan siapa aku bicara?" kuulangi pertanyaanku, jantungku mulai berdebar. Setetes keringat menetes dari dahiku, menunggu fakta apa yang akan kuketahui.

"Gilang Pratama," suara lain kini menggema di telingaku. Suara yang lebih berat dan pasti lebih berumur dari pria pertama, "kami senang ini kau!"

"Siapa kalian, kenapa kalian ingin membunuhku?" tanyaku langsung. Aku tak mau berbasa-basi, karena mau semua ini segera berakhir.

"Kami tak berniat membunuhmu!" sahutnya lalu menoleh pada Ditya. Ditya langsung mengerti isyarat yang diberikan oleh atasanya, iapun mengunci lokasi target dan mengirimkan pesan kepada regu yang telah mereka persiapkan untuk menyergap. Setlah done, ia memberi isyarat beres kepada atasnnya, "dengar Nak, akan lebih baik jika kita bertemu secara damai. Maka tak perlu ada kekerasan!"

Tak berniat! Lalu apa mereka? Sekelompok orang bersenjata datang menyerangku dengan beringas, bahkan dua kelompok. Mereka pikir aku sebodoh itu? Atau aku memang bodoh, mereka sepertinya tahu betul siapa diriku.

"Apa yang kalian inginkan, aku tak merasa melakukan kesalahan apapun?"

"Kesalahan?" desis pria itu, "kesalahanmu cukup fatal, Nak. Apa yang kau dan temanmu lakukan itu tidak baik!"

Aku mengernyit, "teman," lirihku, "apa yang aku lakukan!" aku heran dan tak mengerti apa yang mereka maksudkan, "apa yang aku lakukan?" aku bertanya lebih keras.

"Kau memiliki sesuatu yang seharusnya tak kau miliki, sesuatu yang harusnya tetap berada di tangan kami. Lebih baik kau serahkan barang itu secara baik-baik, maka kami tidak akan menyakitimu!"

Tidak akan menyakitiku! Aku tak yakin akan hal itu. Dan barang apa yang mereka maksud? Aku tak merasa memiliki apapun. Atau itu hanya alasan mereka saja?

"Mungkin kalian salah orang, aku tidak mengerti barang apa yang kalian maksudkan dan aku tidak memilikinya!"

"Jangan mencoba bermain-main dengan kami, Gilang. Serahkan saja barang itu, maka semua akan kembali seperti semula!" janjinya.

Seperti sebuah janji yang menggoda, tapi aku tahu itu hanya janji palsu. Jika mereka mendapatkan apa yang mereka mau, mereka pasti tetap akan membunuhku, tapi itupun jika apa yang mereka mau benar ada!

"Kembali seperti semula?" desisku getir, kusunggunginkan senyum kecut. Sayangnya mereka tak bisa melihatnya, "beberapa jam terakhir aku seperti di neraka, tetanggaku melihatku berkelahi dan membunuh lawanku. Mungkin sekarang, wajahku mulai terkenal di media!" kesalku.

"Ya, dan jika kau tak mau menyerahkan barang itu, sesegera mungkin..., wajahmu akan memenuhi berita kriminal sebagai buronan!"

Dia sungguh mgancamku. Aku menggerutu hingga gigiku bergemeretak, "jadi, kalian memang...dari Dinas Rahasia. Heah..., ini sulit dipercaya!"

"Kurasa kau tahu betul siapa kami, dan kau juga tahu...kami tak suka dipermiankan. Jadi Gilang, serahkan saja barang itu kepada kami!"

"Aku sungguh tak memiliki apapun barang yang kalian maksudkan," aku mulai geram, "dan kalaupun aku memilikinya..., mungkin sebaiknya kupikirkan dua kali untuk menyerahkannya pada kalian!" tegasku lalu menutup sambungan teleponku. Aku yakin aku membuat mereka kesal dengan sikapku. Dan akibat yang akan aku terima mungkin semakin buruk. Siapa peduli. Kubanting handphone itu hingga berkeping.

Pria itu sedikit tercengang karena sambungan teleponnya mati, "Gilang Pratama,____Gilang!" serunya. Tapi sudah pasti tak akan ada sahutan. Ia menggerutu kesal lalu menghentak meja dengan tangannya, beberapa anak buahnya tersentak, "Sial!" umpatnya. Ia menegakkan dirinya kembali dengan nafas sedikit tersengal oleh amarah, menaruh kedua tangannya di pinggang.

"Dimana kita?"

"Kita sudah mengepungnya, Pak. Dia tidak mungkin lolos dengan selamat!" sahut Ditya. Pria itu tersenyum kecut, "dia berhasil melewati semua agent kita, aku ingin dia hidup!" perintahnya.

Aku mulai mondar-mandir di dalam ruangan gudang perusahaan tempatku bekerja, sayup...terdengar seperti ada sirine mobil polisi diluar. Aku yakin mereka sudah mengepungku. Dan aku juga tahu aku tidak mungkin bisa lolos dengan nyawaku jika melawan, tubuhku pasti akan berakhir di kantung mayat. Tapi mungkin aku bisa mengetahui sesuatu dari mereka, masalah bagaimana nanti meloloskan diri, itu urusan nanti. Jadi kupuskan untuk menyerah. Aku membuka pintu utama, gudang ini memang kosong jika malam hari. Hanya ada satu satpam, pak Tono yang sudah tewas tertembak salah satu puluru mereka saat aku menyelinap masuk.

Seperti dugaanku, aku langsung disambut meriah oleh sorot light dan senjata api yang tersodor. Juga teriakkan agar aku menyerah, memang banyak mobil polisi yang bertengger, aku juga yakin mereka menyelipkan tim sniper di beberapa sudut. Aku sungguh merasa seperti penjahat kelas kakap oleh perlakuan mereka. Jika orangtuaku di kampung mengetahui hal ini, mereka bisa jantungan seketika. Bahkan mereka sendiri yang akan mencari telah untuk menggorok leherku.

Kuangkat kedua tanganku ke udara tanda menyerah. Lalu akupun tiarap dengan kedua tanganku menyatu di belakang kepala seperti instruksi mereka. Beberapa orang menghampiri dan memeriksa tubuhku, lalu memborgol tanganku ke punggungku. Mereka mendirikan aku dan menggiringku ke sebuah mobil box milik Dinas Rahasia.

* * *

Aku duduk berhadapan dengan seorang pria bersetelan jas yang cukup necis, pria yang sempat kudengar dipangil Kapten Alfian oleh beberapa anak buahnya. Dia sedang berbicara dengan seseorang melalui handphone, sesekali matanya mengarah padaku. Sementara di dekat pintu mobil ada seorang pria lagi, bersiaga jaga.

Setelah selesai berbicara dengan entah siapa, dia menyimpan kembali handphonenya ke saku dan fokus padaku. Mata kami terpaut, mencoba saling menyelami.

"Ok, Gilang Pramata. Aku senang akhirnya kita bisa berbicara, langsung!" ucapnya. Aku tak menyahut, lagipula dia juga tak meminta sahutanku.

"Sebaiknya kau serahkan pada kami apa yang kau miliki, itu sangat berbahaya jika jatuh ke tangan orang yang salah!"

Aku masih diam. Bergeming. Kurasakan sedikit goncangan pada mobil yang pastinya tengah menuju ke Markas Dinas Rahasia. Mungkin mereka akan menyiksaku untuk mendapatkan barang yang bahkan aku tak tahu wujudnya seperti apa! Lalu Kapten Afian melirik pria di pintu itu, seolah mengerti pria itu berdiri menghampiriku. Aku sudah bersiap jika seandainya ia menyerangku, tapi rupanya ia hanya melepaskan borgolku saja lalu kembali ke tempatnya. Segera kutarik kedua tanganku ke depan dengan tetap menatapnya.

"Kau masih hanya ingin diam?" tanyanya,

"Karena aku tidak mengerti apa yang anda bicarakan!" sahutku. Ia menghela nafas, menggerakan sedikit tubuhnya, "Maxda Haribuan!" desisnya. Aku terperanjat. Sedikit melotot.

"Bukankah kalian berteman akrab, dia menemuimu beberapa hari lalu. Kau yakin, dia tidak menitipkan apapun padamu?"

Kutelan ludahku. Sakit. Jadi ini tentang Max! Aku tahu Max memang sering berhubungan dengan para mafia, baik dalam maupun luar negeri. Kali ini apa lagi yang dilakukannya sampai melibatkan Dinas Rahasia dan Intelijent?

"Tidak!"

"Kau yakin?" Kapten Alfian meragukan jawabanku.

"Aku memang berteman dengan Max, tapi apapun yang dilakukannya itu tidak ada hubungannya denganku!" tegasku geram, "kalian salah mengejar orang, aku hanya warga sipil biasa!"

"Max membawa sesuatu, dan kau adalah orang terakhir yang ditemuinya. Kau tinggal katakan padaku, dimana kau simpan benda itu!"

"Sudah kukatakan, aku tidak tahu!"

"Jangan mempersulit dirimu Gilang, hukumanmu akan semakin berat jika kau tak mau bekerja sama!" ancamnya. Aku mengeraskan rahangku,

"Apa, membunuhku? Menyiksaku? Silahkah!" kutantang dia. Sengaja, "aku pikir keadilan di negeri masih berlaku, tapi sepertinya..., pihak-pihak seperti kalian sudah melupakan norma dan undang-undang!"

"Jaga ucapanmu, kau akan menyesal sekali lagi mengatakan hal itu!"

Kusunggingkan senyum getir, "itu membuktikan!" sahutku. Mimiknya berubah, ia menjadi tegang sekarang. Saat ini aku berganti menjadi pihak yang mengancam, entah keberanian darimana aku berani mengancamnya?

"Jangan membuang waktu, berikan saja benda itu padaku!" ia sedikit menghardik, "aku tidak yakin Max tidak memberikan apapun padamu!" amarah mulai muncul di garis wajahnya.

Aku diam berfikir, mencoba mengingat. Beberapa hari lalu Max datang ke rumahku seperti dikejar setan. Kupikir dia pasti sedang dikejar oleh seorang mafia atau penagih hutang. Itu sudah biasa! Kubiarkan dia menginap semalam. Keesokan harinya sebelum pergi..., dia memberikan arlojinya padaku. Katanya sebagai kenang-kenangan, ia juga berpesan agar aku tak menjualnya. Meski ia memberitahukanku bahwa harga arloji itu sangat mahal. Bahkan aku tak mempu membelinya dengan setahun gajiku. Siangnya, kusaksikan ia ditemukan tewas di dasar jurang. Dan sore harinya selelompok orang bersenjata yang tak kukenal sama sekali datang menyerangku. Membuatku harus terdampar ke dalam kasus yang masih tak kumengerti.

ARLOJI!

Apakah mungkin..., arloji yang kini masih melingkar di pergelangan tangan kananku inilah yang mereka cari? Benarkah? Jika iya, pasti mereka sudah mengambilnya. Tapi, hanyalah arloji ini yang Max berikan padaku. Dan jika kuberitahu, mereka pasti tidak akan percaya. Atau..., mereka akan mencari tahu, mungkin saja itu bukan sekedar arloji?

Kulirik arloji itu dengan ekor mataku. Semoga Kapten Alfian tidak mencurigainya.

"Ya, seingatku dia tidak menitipkan apapun. Dan aku sudah bosan berada di dalam sini," seruku. Dia melebarkan mata, sebelum dia mengendurkan matanya aku sudah lebih dulu menyerang dan meninjunya hingga terjerembat. Pria di pintu pun terkejut lalu menyerangku. Aku melawannya, membuatnya terhempas lalu kembali pada Kapten Alfian yang sudah siap meladeniku. Kami bertarung dalam ruangan sempit itu hingga membuat mobil oleng tak stabil. Karena amarah yang cukup membuatku kesal, aku jadi merasa lebih kuat dari sebelumnya. Berhasil ku pukuli Kapten Alfian hingga terjerembat. Tapi lengan orang yang satunya menyergap leherku, menarikku. Aku meronta. Mendorongnya kencang hingga terantuk dinding, menyiku tubuhnya beberapa kali hingga tangannya terlepas dari leherku. Dibantu dengan hentakan ketika mobil itu akhirnya berhenti. Membuat kami semua sedikit terpental. Tapi aku segera kembali menyerang orang itu.

Sementara kulihat Kapten Alfian mulai mendapatkan keseimbangannya, aku masih sibuk bertarung dengan anak buahnya. Lebih mudah melumpuhkan anak buahnya yang ternyata tak terlalu tangguh, hantaman keras di kepalanya membuatnya tak sadarkan diri. Baru saja aku mampu menghela nafas, punggungku terasa dihantam sesuatu. Aku terjerembat berlutut, kurasakan kepalaku ditodong sesuatu. Itu pasti pistol!

Hening. Hanya beberapa detik. Karena detik selanjutnya aku menarik salah satu kakinya kencang hingga penodongku terjungkal. Senjata apinya melayang saat orang itu jatuh mendaratkan punggungnya keras. Kutangkap senjata yang jatuh mengarah padaku, aku tak mau melewatkan kesempatan. Segera kuhampiri tubuh Kapten Alfian, menyeretnya sambil menodongkan senjata api ke arah kepalanya. Kini aku menyergapnya dari belakang, menodongnya dengan pistol miliknya. Kubawa dia menghampiri pintu, menyuruhnya membukanya. Seperti dugaanku, diluar sana seluruh anggota yang menggiring kamipun sudah siaga dengan senjata mereka. Bahkan ada beberapa mobil polisi patroli yang ikut mengepung, mereke memang sedikit terperanjat melihatku menyandra Kapten Alfian. Tapi mereka tetap siaga. Kuberikan gestur yang lebih mengancam pada mereka sehingga tercipta celah untukku melangkah, kuhampiri mobil polisi yang paling luar. Kutekan moncong senjata api di leher Kapten Alfian hingga membuatnya meringis, dua polisi itu menjauh dari mobilnya. Segera kuhempaskan tubuh kami ke dalam. Kusuruh sandraku yang mengemudi, mobil kami pun melaju. Aku tahu mereka mengikuti.

Kupungut borgol di pinggang Kapten Alfian, mengaitkan tangan kanannya dengan setir agar tangan kirinya tetap bisa bermanuver, masih kutodong kepalanya. Kupungut alat komunikasi yang tersedia di dalam mobil, menyodorkan padanya. "suruh mereka berhenti mengikuti atau kubunuh kau!" ancamku,

"Kau tidak akan membunuhku, Nak!"

"Oya, aku sudah cukup lihai membunuh orang-orang seperti kalian. Jika tidak, kita tak pernah bicara!" tegasku. Iapun melakukan perintahku. Beberapa saat kemudian aku memang tak melihat mereka dibelakang. Lalu kulihat ia melepas sesuatu dari lubang telinganya, sepertinya itu alat kamunikasi yang ia pakai sedari tadi. Ia juga mencabut sesuatu dari giginya, mungkin sejenis alat pelacak. Lalu dia menatapku sejenak.

"Sekarang hanya kita berdua, kau tak perlu menodongku. Dari caramu bertarung, aku yakin kau bisa membunuhku!" ucapnya.

Aku tak mungkin percaya begitu saja padanya, secara ia adalah salah satu dari mereka. Aku tetap menodongnya.

"Aku tak sependapat dengan Darco," katanya lagi. Aku sedikit menjinjing alis, sepertinya ia tahu ketidaktahuanku tentang orang yang disebutkannnya, "orang yang bicara padamu di telepon!" jelasnya. Aku memberi ekspresi mengerti, "mungkin saat ini kau memang tidak mengetahuinya, tapi tidak tahu bukan berarti tidak memiliki. Jika kau sudah menemukan dimana benda itu tersimpan, kuharap kau tidak salah langkah!" ia berkata seolah ia percaya padaku. Aku hanya diam menyimak. Tapi apa yang dikatakannya benar juga, mungkin memang ada sesuatu yang tak kuketahui tentang arloji yang Max berikan padaku!

Kami sudah cukup jauh melaju, kuminta dia menghentikan mobil itu di tepi jalan yang ramai. Dan saat aku hendak meluncur keluar ia berkata,

"Jika kau sudah menemukan apapun itu, berhati-hatilah pada barang itu sendiri!" lalu ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sesuatu dan menyodorkannya padaku. Secarik kertas, kupungut dan kubuka. Nomor telepon.

"Hanya istriku yang tahu nomor itu," katanya seperti meyakinkanku. Aku menatapnya sejenak lalu melenyapkan diri dari hadapannya. Sambil terus berfikir kenapa ia memberiku nomor hp yang sepertinya sudah ia persiapkan sebelumnya? Apakah ia tahu aku pasti akan melarikan diri? Jadi ia sengaja membiarkan dirinya kusandra?

Bagaimana kalau ini hanya permainan mereka?

Sambil terus berjalan menembus keramaian malam, kuhempaskan kertas itu ke tong sampah saat melewatinya. Aku tak membutuhkan kertas itu meski aku masih mengingat jelas setiap angka yang tertera di dalamnya.

* * *

Aku menyewa kamar hotel murah di daerah Jatinegara, daerah rawan seperti itu sengaja kupilih untuk bersembunyi. Siapa yang berfikir bersembunyi di tempat yang sarat dengan kehidupan malamnya! Sebagian orang bisa mengambil opsi itu. Sesampainya di kamar langsung kubuka arlojiku dan menlemparnya ke kasur. Kupandangi lama, lalu kupungut. Kuamati, tak ada apapun selain empat biji kristal Swarovsky yang berada di lingkarannya. Kubanting lagi ke kasur beserta tubuhku yang lelah. Lebih lelah dari sekedar bekerja seharian plus lembur sebagai teknisi komputer. Sepertinya enak jika bisa kupejamkan mata sejam-dua jam. Aku tergoda untuk lakukan itu, tapi...bagaimana jika ada yang meledakkan kepalaku saat aku terlena? Aku kembali duduk, mengusap wajahku dengan telapak tangan. Kulirik arloji itu kembali seraya berbisik dalam hati.

Benarkah semua ini tentang kau? ____sial!

Jika memang arloji itulah yang sedang Max coba sembunyikan, berarti memang ada sesuatu! Dan barang yang sangat rahasia sampai menjadi lebih berharga dari sekedar nyawa tidak akan ditaruh di tempat yang mudah terlihat. Maka aku segera membongkarnya hingga ke setiap sel rantainya, masih nihil. Kubuka komponennya juga sampai aku tergelitik untuk memusatkan perhatianku pada sebuah lempengan tipis yang ada diantara komponen arloji itu. Kupungut dan kuamati, sepertinya terbuat dari tembaga. Apakah benda itu sebenarnya?

Jika aku ingin tahu artinya aku harus pergi ke rental komputer, tapi masihkah ada yang buka dijam ini? Ini sudah hampir tengah malam. Kuputuskan besok saja, dan sekarang aku benar-benar ingin melepas lelah sejenak saja.

"Kurasa Kapten Alfian berkhianat!" seru Darco, ia berbicara dengan seseorang melalui handphone di ruangan pribadinya yang kedap suara.

"Kalau begitu lenyapkan saja dia, dan juga para agent on proses!"

"Aku berfikir lain tentang Kapten Alfian,____kasus ini, jika seandainya data itu bocor, atau pun kita salah tentang Gilang Pratama, kita bisa menyalahkan Kapten Alfian atas semua itu. Karena aku memang memberinya tanggungjawab penuh atas keamanan proyek kita!"

"Terserah apa yang mau kau lakukan, yang jelas aku ingin kekacauan ini clear!"

Matahari sudah merekah saat aku bersiap untuk check-out. Akupun bergegas meninggalkan kamar dan menuruni tangga, sebelum sampai di lobi aku melihat seseorang sedang berbicara dengan resepsionist seraya menunjukan selembaran yang sepertinya berisi foto seseorang. Mungkin fotoku! Aku berlari kembali ke kamar. Mereka tahu lokasiku! Aku segera melangkah keluar jendela, ini lantai dua tapi aku yakin aku bisa mengatasinya.

"Auw," raungku saat mendarat ke tanah karena sepertinya kakiku terkilir. Kudengar suara dari jendela kamarku, mereka! Akupun berlari terpincang dengan cepat. "itu dia!" aku seperti mendengar suara seseorang. Tapi aku terus berlari meski akhirnya aku harus menghindari berondongan peluru. Suara desingan peluru tak lagi terdengar, sepertinya mereka sedang berlari mengejarku. Kubelokkan diriku di dalam gang, tak peduli rasa sakit di kekiku, aku mendekati tukang ojek dan menyewa satu jasanya.

Entah aku mau pergi kemana, yang jelas saat ini aku tak bisa pergi ke Stasiun, Terminal atau sejenisnya. Kusuruh si abang ojek melaku jauh, lalu aku memintanya mencarikanku rental komputer. Setelah dapat segera kulakukan tugasku. Aku harus menahan nafas dengan semua yang kutemukan di dalam lembengan itu. Dugaanku benar, lempengan itu adalah sebuah chip. Chip yang berisi data-data penting Dinas Rahasia dan Organisasi Intelijent. Termasuk data sebuah proyek rahasia yang menyalahi aturan, beserta nama-nama yang terlibat di dalamnya. Proyek itu juga melibatkan salah satu Organisasi Intelijent asing. Sebuah kerjasama ilegal yang hanya disepakati beberapa nama saja. Kurasa..., itulah sebabnya benda ini begitu berharga bagi mereka, setidaknya..., bagi mereka yang namanya tertera di dalamnya.

Karena jika data ini jatuh ke tangan pihak asing, yang manapun! Akan sangat berbahaya bagi citra dan rahasia mereka. Kalau jatuh ke tangan pers, juga sama. Entah pada siapa Max berniat menyerahkannya? Tapi kenapa akhirnya ia berikan padaku? Dan menyeretku dalam hal seperti ini!

Brengsek kau Max! Sudah mati saja kau masih membuatku sial! Dan sekarang apa yang harus kulakukan? Dengan mengetahui isi data ini, aku yakin nyawaku kian berada diujung tanduk.

* * *

Satu minggu kemudian...,

Semua berita dimedia dihebohkan dengan kasus pemecatan langsung oleh Pak Presiden kepada beberapa perwira yang berkecimpung di dalam Dinas Rahasia dan Organisasi Intelijent yang kasusnya ditinjau secara tertutup. Sang nara sumber juga dirahasiakan demi keamanan.

Berita lain yang menghebohkan adalah ditemukannya mayat seorang pria di dalam sebuah mobil curian yang terdampar hangus di dasar jurang. Kondisinya hangus hingga sebagian tubuhnya menjadi abu. Dan dari dompet beserta kartu identitas, juga arloji yang dikenakan korban diidentifikasi sebagai Gilang Pratama. Pria yang sempat menjadi buronan minggu lalu. Tapi untuk lebih lanjut pihak Forensik akan melakukan autopsi.

* * *

Di sebuah kedai sederhana seorang pria duduk dengan secangkir kopi hitam yang sudah setengah dingin, ia mengenakan jaket dengan penutup kepala, kacamata hitam, dan sesekali ia mengelus kumisnya seolah memastikan kumis itu masih berada di tempatnya. Ia menyunggingkan senyum menyaksikan berita tv yang sedang ditonton oleh semua penghuni kedai yang beberapa diantaranya geleng-geleng kepala, lalu ia bangkit dan melenyapkan diri.

__________o0o__________

©Y_Airy | Jakarta, 26 September 2016

Dok. Fiksiana Community
Dok. Fiksiana Community
NB : Artikel ini pertama kali dipublikasikan di www.kompasiana.com,

untuk event Fiksi Horor dan Misteri FC.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun