Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Watch

26 September 2016   15:41 Diperbarui: 26 September 2016   17:46 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kusunggingkan senyum getir, "itu membuktikan!" sahutku. Mimiknya berubah, ia menjadi tegang sekarang. Saat ini aku berganti menjadi pihak yang mengancam, entah keberanian darimana aku berani mengancamnya?

"Jangan membuang waktu, berikan saja benda itu padaku!" ia sedikit menghardik, "aku tidak yakin Max tidak memberikan apapun padamu!" amarah mulai muncul di garis wajahnya.

Aku diam berfikir, mencoba mengingat. Beberapa hari lalu Max datang ke rumahku seperti dikejar setan. Kupikir dia pasti sedang dikejar oleh seorang mafia atau penagih hutang. Itu sudah biasa! Kubiarkan dia menginap semalam. Keesokan harinya sebelum pergi..., dia memberikan arlojinya padaku. Katanya sebagai kenang-kenangan, ia juga berpesan agar aku tak menjualnya. Meski ia memberitahukanku bahwa harga arloji itu sangat mahal. Bahkan aku tak mempu membelinya dengan setahun gajiku. Siangnya, kusaksikan ia ditemukan tewas di dasar jurang. Dan sore harinya selelompok orang bersenjata yang tak kukenal sama sekali datang menyerangku. Membuatku harus terdampar ke dalam kasus yang masih tak kumengerti.

ARLOJI!

Apakah mungkin..., arloji yang kini masih melingkar di pergelangan tangan kananku inilah yang mereka cari? Benarkah? Jika iya, pasti mereka sudah mengambilnya. Tapi, hanyalah arloji ini yang Max berikan padaku. Dan jika kuberitahu, mereka pasti tidak akan percaya. Atau..., mereka akan mencari tahu, mungkin saja itu bukan sekedar arloji?

Kulirik arloji itu dengan ekor mataku. Semoga Kapten Alfian tidak mencurigainya.

"Ya, seingatku dia tidak menitipkan apapun. Dan aku sudah bosan berada di dalam sini," seruku. Dia melebarkan mata, sebelum dia mengendurkan matanya aku sudah lebih dulu menyerang dan meninjunya hingga terjerembat. Pria di pintu pun terkejut lalu menyerangku. Aku melawannya, membuatnya terhempas lalu kembali pada Kapten Alfian yang sudah siap meladeniku. Kami bertarung dalam ruangan sempit itu hingga membuat mobil oleng tak stabil. Karena amarah yang cukup membuatku kesal, aku jadi merasa lebih kuat dari sebelumnya. Berhasil ku pukuli Kapten Alfian hingga terjerembat. Tapi lengan orang yang satunya menyergap leherku, menarikku. Aku meronta. Mendorongnya kencang hingga terantuk dinding, menyiku tubuhnya beberapa kali hingga tangannya terlepas dari leherku. Dibantu dengan hentakan ketika mobil itu akhirnya berhenti. Membuat kami semua sedikit terpental. Tapi aku segera kembali menyerang orang itu.

Sementara kulihat Kapten Alfian mulai mendapatkan keseimbangannya, aku masih sibuk bertarung dengan anak buahnya. Lebih mudah melumpuhkan anak buahnya yang ternyata tak terlalu tangguh, hantaman keras di kepalanya membuatnya tak sadarkan diri. Baru saja aku mampu menghela nafas, punggungku terasa dihantam sesuatu. Aku terjerembat berlutut, kurasakan kepalaku ditodong sesuatu. Itu pasti pistol!

Hening. Hanya beberapa detik. Karena detik selanjutnya aku menarik salah satu kakinya kencang hingga penodongku terjungkal. Senjata apinya melayang saat orang itu jatuh mendaratkan punggungnya keras. Kutangkap senjata yang jatuh mengarah padaku, aku tak mau melewatkan kesempatan. Segera kuhampiri tubuh Kapten Alfian, menyeretnya sambil menodongkan senjata api ke arah kepalanya. Kini aku menyergapnya dari belakang, menodongnya dengan pistol miliknya. Kubawa dia menghampiri pintu, menyuruhnya membukanya. Seperti dugaanku, diluar sana seluruh anggota yang menggiring kamipun sudah siaga dengan senjata mereka. Bahkan ada beberapa mobil polisi patroli yang ikut mengepung, mereke memang sedikit terperanjat melihatku menyandra Kapten Alfian. Tapi mereka tetap siaga. Kuberikan gestur yang lebih mengancam pada mereka sehingga tercipta celah untukku melangkah, kuhampiri mobil polisi yang paling luar. Kutekan moncong senjata api di leher Kapten Alfian hingga membuatnya meringis, dua polisi itu menjauh dari mobilnya. Segera kuhempaskan tubuh kami ke dalam. Kusuruh sandraku yang mengemudi, mobil kami pun melaju. Aku tahu mereka mengikuti.

Kupungut borgol di pinggang Kapten Alfian, mengaitkan tangan kanannya dengan setir agar tangan kirinya tetap bisa bermanuver, masih kutodong kepalanya. Kupungut alat komunikasi yang tersedia di dalam mobil, menyodorkan padanya. "suruh mereka berhenti mengikuti atau kubunuh kau!" ancamku,

"Kau tidak akan membunuhku, Nak!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun