Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengantin Papaku (2)

29 Agustus 2016   23:08 Diperbarui: 30 Agustus 2016   20:53 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixhome.blogspot.com

 Sebelumnya, Pengantin Papaku (1)

 

Aku masih diam menunggu jawabannya. Dia lalu turun dari kap mobil, mendekat padaku. Ada asa yang kupikir bisa kudapatkan.

"Maaf, saat ini aku tak bisa memenuhi harapan di otakmu. Aku harus segera sampai dirumah!" bisiknya lalu kembali ke mobil. Masuk ke balik kemudi dan menghidupkan mesin, aku terdiam. Bagaimana dia bisa tahu apa yang kupikirkan, apakah dia bisa membaca pikiran orang?

"Tunggu!" aku menghampirinya, membungkuk dan menaruh salah satu tanganku di kaca mobil yang terbuka tuntas. Sedikit menyorokan kepala, "boleh kuminta nomor teleponmu?" tanyaku, dan dia tersenyum manis.

"Kau harus berusaha sendiri untuk mendapatkannya!"

"Bukankah aku sedang berusaha?"

"Maaf Alan, jangan membuatku terlambat pulang!" dia mendorong tanganku hingga tak menyentuh mobilnya. Aku harus menelan rasa kecewa, dia langsung saja tancap gas dan menghilang dari pandanganku. Tapi jangan panggil aku Alan Kemas Wiratama jika harus menyerah semudah itu. Justru inilah tantangannya. Membuat wanita yang tak tertarik padaku menjadi menginginkanku. Akan ku buat dia menginginkanku!

Sengaja. Beberapa hari aku tidak datang ke trak, lalu aku tiba-tiba muncul di bengkelnya. Pura-pura men-service mobil, padahal baru dua minggu lalu ku service kusus.

Tapi sayangnya dia tak disana, katanya dia sudah resign. Karena dia mendapat pekerjaan baru yang jauh lebih baik. Itu artinya, satu-satunya aku bisa bertemu lagi dengannya hanya ke tempat trak. Tapi dia juga tak muncul-muncul disana. Sepertinya dai sengaja membuatku gila. Aku jadi kelimpungan seperti orang stres.

"Hei bro, belakangan ini kau jadi aneh. Rupanya wanita itu begitu mengusikmu!" sindir Andrew merangkulku, "sudah lupakan saja, kita cari yang lain. Masih banyak yang jauh lebih cantik, ayo...ku kenalkan bawaan Amar. Dia bawa 5 pramugari dari penerbangannya sore tadi!" bujuknya.

"Ndrew, please...!"

"Ok-ok!" Andew melepaskan diri dariku dan kembali bergabung dengan Amar yang sedang bersenang-senang di sofa empuk itu. Aku langsung melarikan diri saja, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku pulang lebih awal dari biasanya.

"Tumben, anak papa pulang cepat. Kesambet!" sindir papa yang sedang menikmati berita tv di ruang tengah. Ku gabungkan saja diriku bersamanya, dengan lusuh.

"Kau seperti sedang patah hati. Tapi itu tidak mungkin kan?"

"Kalau iya!" sahutku. Papa terdiam. Menatapku aneh. Lalu dengan lemas kuceritakan soal wanita itu, memang tidak semua. Aku tak beritahu namanya, pekerjaannya. Dan papa tertawa sampai terpingkal-pingkal. Membuat mukaku merah dan panas, "apa yang lucu?" kesalku beranjak ke kamar.

Tapi tak ada gunanya juga memang bercerita ke papa, papa bukan pria yang tepat untuk kumintai pendapat bagaimana bisa menakhlukan hati wanita. Karena aku yang biasanya lebih ahli, sejak wanita itu pergi papa tidak pernah bersama wanita lain. Aku tidak tahu kenapa papa masih mengharapkannya setelah pengkhianatan keji yang dialaminya?

Tapi tunggu!

Ada yang aneh, kulihat papa bisa tertawa lepas tanpa beban. Tawa yang sudah sangat lama sekali hilang dari wajahnya, aku bahkan lupa kapan terakhir kali papa tertawa seperti itu! Mungkin saat melihatku menyuapi kucing kesayanganku dengan makananku ketika umurku empat tahun. Aku terus memaksa kucing lucu itu makan sereal gandum sarapanku sampai dia marah dan mencakar-cakarku. Tapi aku tak menyerah, aku tak mau kalah dengan kucing. Akhirnya aku malah berkelahi dengan kucingku itu, papa pikir kami sedang bercanda, makanya papa tertawa. Hingga akhirnya, kami harus pergi ke rumah sakit. Flo, kucing kami itu kritis dan akhirnya mati. Aku sendiri mendapatkan perawatan medis secara kusus. Aku masih ingat betul kejadian itu. Tapi kurasa itu bukan tawa papa yang terakhir,

Ah, daripada memikirkan hal itu lebih baik aku mencari cara untuk bisa bertemu lagi dengannya. Jadi akan kulakukan segala cara untuk bisa menemukannya.

* * *

Entah sudah berapa kali kulirik arlojiku, malam semakin larut dan aku masih disni. Menunggu. Keluar-masuk mobil. Terkadang mondar-mandir sampai di tegur oleh satpam yang keliling. Aku tak peduli. Meski langit akan runtuh aku tak akan pergi dari sini sampai tujuanku tercapai.

Sebuah sorot mobil mendekat, membuatku harus mengembangkan senyum, kutarik tubuhku yang menyender mobilku. Akhirnya..., setelah lebih dari seminggu yang bagaikan neraka bagiku. Kini aku bisa kembali melihat aura surga, setidaknya bagiku. Dia merapatkan mobilnya di depan mobilku, lalu turun menghampiri. Dia mengenakan rok tulip berwarna abu-abu seatas lutut, dipadu dengan blus violet dan blazer yang senada dengan roknya. Rambut hitamnya tergerai lembut, suara sepatunya seperti irama musik yang mengiringi langkahnya. Dia berdiri tepat di depanku,

"Wow, sejauh ini?" serunya. Entah itu sindiran atau pujian. Tapi aku tetap senang dia menyapaku lebih dulu, "sedikit sulit, tapi aku berhasil menemukanmu!" sahutku.

"Bisa kau tepikan mobilmu, mobilku mau lewat?" pintanya, aku sedikit kecewa karena dia tidak menanyakan kabarku. Tapi ya, mobilku memang kuparkir tepat di depan gerbang rumahnya yang tak terlalu tinggi.

"Rumahmu cukup nyaman!" pujiku,

"Rumah orangtuaku!" selanya, aku terdaim sejebak, "ya, maksudku itu..., kau...tidak menawariku masuk?" tanyaku penuh harap. Mungkin secangkir teh bisa menghangatkan tubuhku yang hampir membeku karena malam ini cukup dingin setrlah diguyur hujan sepanjang sore.

"Maaf Alan, aku tak bisa menerima tamu lewat dari jam 9 malam. Meski...aku sering pulang terlambat, lagipula orangtuaku sedang menjenguk nenek di kampung. Tak ada orang di rumah!"

"Ok, aku mengerti. Kau..., cocok sekali dengan setelanmu. Jadi, bukan montir lagi?"

Dia tertawa, lalu menatapku dalam, membuat sendiku terasa meleleh, "kau tidak akan langsung pergi kan?" katanya menerka. Lagi-lagi dia tahu!

"Apa kau tahu, aku sudah berjam-jam disini seperti orang gila. Menunggumu, dan kau akan mengusirku begitu saja!"

Kediaman kembali menyergap. Membuatku serasa menggigil.

"Besok aku tidak ada lembur, jika kau bisa datang tepat waktu mungkin aku bisa memiliki alasan menolak ajakan Vero untuk dugem!" dia seperti memberi sebuah sinyal baik. Dan tentu aku tidak akan menolak.

"Tentu saja, tentu aku bisa!" sela-ku cepat, "besok kan?" aku girang sekali sampai tubuhku bergerak-gerak seperti meloncat-loncat kecil. Dia tersenyum melihat tingkahku. Menggeleng lalu kembali ke mobil Nissannya, aku masih senang kegirangan di tempatku hingga suara klaksonnya membuatku melonjak. Aku baru sadar kalau aku harus segera memundurkan mobilku agar dia bisa masuk.

* * *

Selama pelajaran sekolah berlangsung, tiba-tiba aku belajar giat sekali. Ingin cepat mendengar bell pulang sekolah soalnya, tiba sabar menunggu sore. Untungnya hari ini tidak ada ekskul, jadi bisa langsung pulang dan bersiap-siap.

Aku mematut diriku di depan cermin, ah...kenapa aku jadi seperti gadis yang sedang kasmaran saja! Memastikan diri bahwa diriku sudah setampan mungkin, agar tidak mengecewakan. Hal seperti itu biasanya dilakukan oleh para gadis kan? Dan hari ini aku melakukannya, masih membenahi bajuku, jaketku. Entah kenapa aku tak ingin terlihat seperti ABG, aku ingin menjadi lebih dewasa untuknya. Kulihat arlojiku lalu aku mulai berjalan keluar. Tak masalah jika aku harus masih menunggunya berjam-jam di parkiran atau lobi kantornya.

Ku pandangi tulisan besar di dinding gedung empat lantai itu, QUEEN FASHION, bagaimana bisa dari seorang montir menjadi designer? Ini sebuah kejutan,

Ku beranikan diri untuk menanyakan ke lobi, aku langsung dicegat oleh seorang satpam di teras lobi, "maaf dik, ada perlu apa?"

"Eim..., begini pak saya mau tanya. Disini ada yang namanya Kirana Aggraini?"

"Ouh...mbak Rana," sungutnya,

"Iya!"

"Sepertinya sih masih meeting dek, ada perlu apa?"

"Tidak apa-apa sih, hanya bertanya. Terima kasih pak!" aku kembali ke mobil, tapi tidak masuk hanya bersender. Terkadang duduk, sesekali menerima telepon dari Andrew. Mendengarkan ocehannya. Sebagai teman tentunya aku juga harus bisa menjadi pendegar yang baik berhubung tak bisa datang langsung.

Mataku tiba-tiba melotot saat aku sedang menunduk ke bawah, sepatu cantik menghiasi kaki yang indah muncul disana. Kuarahkan mataku merambat ke atas hingga menemukan wajah ovalnya. Segera kututup sambungan teleponku padahal Andrew masih menceloteh.

"Hai," sapaku.

"Awal sekali lagi?"

"Kebetulan aku tidak ada kegiatan di sekolah, eim...well, mau kemana?" tanyaku to the point aja. Aku memang sudah menunggu saat ini, "sebenarnya sih..., aku sudah memesan table di restoran langganan!" tawarku.

"Tanpa sianida kan?" godanya. Kubalas saja, "mungkin yang nomor satu, VX. Kita bisa mati bersama!" sahutku. Aku menunggu reaksinya, "aku tidak mau mati bersama anak ingusan sepertimu!" katanya mulai melangka ke pintu mobilku. Aku segera ikut melangkah. Berniat membukakan untuknya, tapi dia keburu membuka sendiri dan langsung menghempaskan diri di jok depan. Akupun menuju ke balik kemudi saja.

"Kebetulan aku belum sempat makan siang, ayo, aku lapar sekali!" celetuknya. Kami segera meluncur ke resto, tapi dia bilang dia ingin sekali makan udon. Jadi kami pergi ke restoran Jepang, dia memesan udon dan aku memeran ramen. Dan oh Tuhan! Dia menyendok wasabi cukup banyak ke mangkuknya, aku kuatir nanti dia akan diare. Tapi dia malah berkata,

"Aku tidak bisa makan jika tidak pedas!"

"Tapi jika wasabinya sebanyak itu, itu namanya bukan pedas lagi."

"Ha...ha...aaa...," dia tertawa lagi. Sempat membuat beberapa pasang mata menoleh, lalu hubungan kami berjalan begitu saja. Aku tak bisa berkata kami pacaran karena kenyataannya tidak. Dia sebih sering mengatakan bahwa aku adalah adiknya, hanya sebatas adik! Ini menyedihkan. Bagiku. Aku jatuh cinta setengah mati terhadapnya.

Oya, soal pekerjaannya. Dia kuliah design, tapi karena suka otomotif maka dia mempelajari otomotif sejak SMP. Dan dia bekerja di bengkel sejak di bangku SMA, sebenarnya orangtuanya mampu membiayai kuliahnya. Tapi dia tetap bekerja paruh waktu karena dia suka itu. Dan butuh perjuangan untuk bisa diterima di QUENN FASHION.

"Maksudmu apa?"

"Ya dinner!"

"Dinner, dinner seperti...kencan begitu?"

"Aku tak menyebutnya kencan, ini hanya dinner. Dia terlihat seperti pria yang baik!" pujinya. Hatiku rasanya hancur, malam ini dia mau dinner dengan pria lain. Dan kenapa dia harus memuji pria itu di depanku? Apa dia sengaja mau membuatku cemburu?

* * *

Aku memasuki rumah dengan lemas, sebenarnya Andrew mengajakku untuk party. Tapi seluruh hidupku sedang terasa mengikis,

"Alan, syukurlah kau sudah pulang!" suara papa menyentakkanku, aku terduduk lemas di sofa, "kau kenapa, letoy seperti itu?" tanyanya yang mengetahui keadaanku. Ku toleh papa yang sudah sangat rapi sekali dan, papa memang masih tampan. Sebenarnya aku dan papa tak terlihat seperti ayah dan anak, kami lebih seperti kakak adik. Papa yang terlihat masih muda, sementara aku. Sial! Bukannya aku terlihat tua, tapi lebih dewasa dari usiaku. Terutama postur tubuhku.

Sama saja ya!  

"Papa mau kemana?" heranku,

"Papa ada dinner, jika kau tidak sibuk dengan pacarmu maukah kau menemani papa?"

"Apa, memangnya papa anak kecil?" tanyaku,

"Bukan begitu, papa hanya ingin meminta pendapatmu tentang teman papa!"

"Teman, pacar maksud papa. Papa punya pacar?" spontanku tak percaya. Tentu saja, setahuku, papa masih mengharapkan wanita itu.

"Bukan pacar, Alan. Papa bahkan belum pernah bertemu langsung dengannya. Selama ini papa hanya berhubungan dengannya melalui YM, paling cuma viedo call-an!"

"A, ha...ha...aaa....papa seperti ABG saja, pake video call-an segala. Hati-hati pa, jangan-jangan itu cabe-cabean yang sedang mencari om-om pa!"

"Dia tidak seperti itu percayalah. Kau mau ikut serta kan?"

"Pa, itu kan dinner papa. Males ah, nanti aku jadi obat nyamuk disana!" tolakku.

"Alan, papa mohon. Papa juga ingin kau mengenalnya, suatu saat dia akan...!"

"Menjadi istri papa?" potongku, "tidak pa, aku tidak mau punya ibu tiri. Jika papa hanya sekedar buat have fun, it's ok pa. Alan juga mengerti papa masih butuh perempuan, masih butuh kehangatan...!"

PLAKK!

Seketika pipiku terlempar ke samping. Pertama kalinya papa menamparku. Ku toleh wajah papa yang terlihat marah kepadaku, "pa, mungkin perempuan itu hanya akan memanfaatkan papa saja. Tidak beda dengan wanita itu, pada akhirnya mereka akan mempermainkan papa. Dan...!"

"Kau benar!" potong papa, "papa memang sudah tua, papa juga pria yang membosankan. Papa memang tidak seharusnya berfikir untuk memiliki seorang kekasih layaknya anak muda sepertimu!"

Kalimat papa membuatku membeku, binar kebahagiaan yang beberapa detik lalu kulihat di matanya lenyap seketika. Dia berlalu dengan memasang duka, aku tahu telah menyakiti hatinya. Tanpa sengaja, aku telah menganggap bahwa tak ada seorang wanitapun yang mau mencintai papa dengan tulus. Tapi memang itu yang aku kuatirkan. Tapi aku tak berniat seperti itu!

"Pa!" panggilku. Tapi papa masih tetap berjalan kembali ke kamar dengan lesu, "pa, aku hanya...!" papa menutup pintu kamarnya rapat.

Tentu papa masih pantas untuk dicintai. Sangat pantas!

Albert mendudukan dirinya di kasur, dalam hati ia membenarkan ucapan putranya. Kenyataannya, Gisela meninggalkannya demi pria lain yang menurutnya lebih menarik, lebih menyenangkan. Apalagi sekarang? Sekarang dirinya sudah berusia 44 tahun, mana mungkin wanita muda seperti teman dinnernya malam ini akan benar-benar tertarik padanya? Selain hanya demi kesenangan dan materi seperti yang Alan katakan. Tapi entah mengapa, ia yakin wanita teman chattingnya di YM itu berbeda.

Sementara di sebuah restoran, seorang wanita muda duduk di sebuah meja yang sudah dipesan Albert. Sesekali dia menengok ke pintu masuk. Dan orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Dia tak pernah mendapatkan teman ngobrol yang cocok seperti Albert. Yang bisa diajak bertukar pikiran dengan baik. Meskpun Albert sudah berkepala empat dan memiliki putra yang sudah ABG, tapi pria itu tetap menawan. Wanita itu memang tak berharap mereka memiliki hubungan yang lebih. Untuk saat ini, berteman saja cukup. Selanjutnya...biarlah waktu dan takdir yang akan menentukan.

 

__________o0o__________

 

Selanjutnya, Pengantin Papaku (3)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun