Sebuah sorot mobil mendekat, membuatku harus mengembangkan senyum, kutarik tubuhku yang menyender mobilku. Akhirnya..., setelah lebih dari seminggu yang bagaikan neraka bagiku. Kini aku bisa kembali melihat aura surga, setidaknya bagiku. Dia merapatkan mobilnya di depan mobilku, lalu turun menghampiri. Dia mengenakan rok tulip berwarna abu-abu seatas lutut, dipadu dengan blus violet dan blazer yang senada dengan roknya. Rambut hitamnya tergerai lembut, suara sepatunya seperti irama musik yang mengiringi langkahnya. Dia berdiri tepat di depanku,
"Wow, sejauh ini?" serunya. Entah itu sindiran atau pujian. Tapi aku tetap senang dia menyapaku lebih dulu, "sedikit sulit, tapi aku berhasil menemukanmu!" sahutku.
"Bisa kau tepikan mobilmu, mobilku mau lewat?" pintanya, aku sedikit kecewa karena dia tidak menanyakan kabarku. Tapi ya, mobilku memang kuparkir tepat di depan gerbang rumahnya yang tak terlalu tinggi.
"Rumahmu cukup nyaman!" pujiku,
"Rumah orangtuaku!" selanya, aku terdaim sejebak, "ya, maksudku itu..., kau...tidak menawariku masuk?" tanyaku penuh harap. Mungkin secangkir teh bisa menghangatkan tubuhku yang hampir membeku karena malam ini cukup dingin setrlah diguyur hujan sepanjang sore.
"Maaf Alan, aku tak bisa menerima tamu lewat dari jam 9 malam. Meski...aku sering pulang terlambat, lagipula orangtuaku sedang menjenguk nenek di kampung. Tak ada orang di rumah!"
"Ok, aku mengerti. Kau..., cocok sekali dengan setelanmu. Jadi, bukan montir lagi?"
Dia tertawa, lalu menatapku dalam, membuat sendiku terasa meleleh, "kau tidak akan langsung pergi kan?" katanya menerka. Lagi-lagi dia tahu!
"Apa kau tahu, aku sudah berjam-jam disini seperti orang gila. Menunggumu, dan kau akan mengusirku begitu saja!"
Kediaman kembali menyergap. Membuatku serasa menggigil.
"Besok aku tidak ada lembur, jika kau bisa datang tepat waktu mungkin aku bisa memiliki alasan menolak ajakan Vero untuk dugem!" dia seperti memberi sebuah sinyal baik. Dan tentu aku tidak akan menolak.