Mataku tiba-tiba melotot saat aku sedang menunduk ke bawah, sepatu cantik menghiasi kaki yang indah muncul disana. Kuarahkan mataku merambat ke atas hingga menemukan wajah ovalnya. Segera kututup sambungan teleponku padahal Andrew masih menceloteh.
"Hai," sapaku.
"Awal sekali lagi?"
"Kebetulan aku tidak ada kegiatan di sekolah, eim...well, mau kemana?" tanyaku to the point aja. Aku memang sudah menunggu saat ini, "sebenarnya sih..., aku sudah memesan table di restoran langganan!" tawarku.
"Tanpa sianida kan?" godanya. Kubalas saja, "mungkin yang nomor satu, VX. Kita bisa mati bersama!" sahutku. Aku menunggu reaksinya, "aku tidak mau mati bersama anak ingusan sepertimu!" katanya mulai melangka ke pintu mobilku. Aku segera ikut melangkah. Berniat membukakan untuknya, tapi dia keburu membuka sendiri dan langsung menghempaskan diri di jok depan. Akupun menuju ke balik kemudi saja.
"Kebetulan aku belum sempat makan siang, ayo, aku lapar sekali!" celetuknya. Kami segera meluncur ke resto, tapi dia bilang dia ingin sekali makan udon. Jadi kami pergi ke restoran Jepang, dia memesan udon dan aku memeran ramen. Dan oh Tuhan! Dia menyendok wasabi cukup banyak ke mangkuknya, aku kuatir nanti dia akan diare. Tapi dia malah berkata,
"Aku tidak bisa makan jika tidak pedas!"
"Tapi jika wasabinya sebanyak itu, itu namanya bukan pedas lagi."
"Ha...ha...aaa...," dia tertawa lagi. Sempat membuat beberapa pasang mata menoleh, lalu hubungan kami berjalan begitu saja. Aku tak bisa berkata kami pacaran karena kenyataannya tidak. Dia sebih sering mengatakan bahwa aku adalah adiknya, hanya sebatas adik! Ini menyedihkan. Bagiku. Aku jatuh cinta setengah mati terhadapnya.
Oya, soal pekerjaannya. Dia kuliah design, tapi karena suka otomotif maka dia mempelajari otomotif sejak SMP. Dan dia bekerja di bengkel sejak di bangku SMA, sebenarnya orangtuanya mampu membiayai kuliahnya. Tapi dia tetap bekerja paruh waktu karena dia suka itu. Dan butuh perjuangan untuk bisa diterima di QUENN FASHION.
"Maksudmu apa?"