Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Stranger In My Taxi

4 Agustus 2016   23:11 Diperbarui: 12 Agustus 2017   15:46 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.fanpop.com

Sudah lebih dari tiga jam aku berputar membelah jalanan ibukota, tapi belum satupun yang mencegat dan menjadi pelanggan. Biasanya di jam segini aku sudah dapat beberapa. Tapi hari ini..., entahlah..., mungkin memang belum rejeki. Atau..., memang sedang SERET. Padahal sebelumnya aku sudah mangkal di terminal yang juga penuh dengan teman-temanku, tapi hanya segelintir orang saja yang menggunakan jasa kami.

Jadi kuputuskan untuk mencari di jalanan saja, tapi lihatlah... argoku masih kosong. Apakah tidak ada seorangpun yang bersedia mendermakan uangnya untukku mengejar setoran hari ini?

FIUHH....

Aku hanya mampu mendesah, apalagi perutku yang belum kulempari apapun sudah mulai protes. Sedangkan uang di kantong harus kugunakan sebagai modal jika ada pelanggan yang butuh kembalian. Tapi mereka tidak akan keberatan jika secangkir kopi menghangatkan tubuhku. Aku celingukan mencari warkop yang terletak di pinggir jalan. Setelah ku temukan, akupun menepi dan memesan secangkir kopi. Ku dudukan diriku di dekat beberapa pria yang berseragam sama denganku.

"Rame neng?" tanya yang berada di sisiku. Pria 40-an tahun, sedikit botak dan berkumis tebal. Ku kembangkan senyum tipis menyambut pertanyaannya.

"Masih kosong pak, mungkin belum rejeki!"

"Cantik-cantik kok mau nyopir taksi neng?"

"Memangnya tidak boleh ya pak?" balasku,

"Eneng kan cantik, kenapa tidak jadi model atau bintang sinetron!"

"Udah penuh pak artisnya, sampai banyak yang nggak kepake lagi. He...he...ya...pak, saya sih kerja apa saja saya sikat pak. Yang penting halal, kebetulan...saya suka jalanan!"

"Ouh...!"

Percakapan kami tak berlangsung lama karena si bapak jalan duluan, akupun tak berniat ngobrol terlalu lama. Jadi setelah kuhabiskan kopiku, akupun langsung kembali ke belakang kemudi. Begitu sampai, pintu belakangku terbuka dan seseorang menerobos duduk di jok belakang. Aku bernafas lega dan mengucap syukur karena akhirnya ada yang mau menggunakan jasaku juga.

Segera kubalikan sedikit tubuhku untuk menolehnya dan bertanya, dia seorang pria berambut pirang, bermata coklat. Seorang bule. Nampak lelah, nafasnya sedikit tak beraturan, sesekali meringis seolah menahan sakit.

"Where are you going, Sir?" tanyaku.

"Just ride!" sahutnya simple.

Ku perhatikan dia dari atas hingga bawah, ada sedikit memar di pelipis kirinya. Tapi dia cukup tampan, mengenakan kaos hitam di lapisi jaket hitam dan dipadukan dengan jeans hitam pula. Wah komplit, semua serba hitam. Tinggal dilengkapi dengan penutup kepala dan samurai saja, dia akan jadi ninja.

"What are you stared of?" tanyanya membuyarkanku. Aku sedikit gelagapan karenanya, "ah..., eim...tidak. Hanya...tujuan anda?" gugupku.

"I said just ride,___now!" tegasnya lagi. Tampangnya berubah sangar, dia bahkan tak memberitahu kemana tujuannya. Ku turunkan pandangaku dari matanya hingga berhenti di sisi perutnya sebelah kanan yang sedari tadi dipeganginya. Ada darah yang memenuhi tangannya, juga bajunya.

"Oh my God, you__hurt!" seruku panik. Mulutku berkomat-kamit tapi sulit sekali untuk bersuara, dia justru merintih. Ku balikkan tubuhku dan memegang kemudi, lalu kubalikkan lagi ke arahnya dengan panik.

"Ok, we go to hospital!" seruku kembali berbalik ke depan. Tangan sudah siap lagi di kemudi, "no!" sahutnya membuatku tertegun.

"Apa?" ku toleh dia,

"We're not going to anywhere!"

"Kau terluka, kau butuh dokter dan...!" kalimatku harus terhenti ketika kulihat sesuatu di tangannya mengarah padaku. Sebuah senjata api, oh Tuhan! Siapa dia?

"Itu..., itu sunggguhan?" desisku meracau,

"Just get ride. If you go to the hospital, or police station. I'll kill you!" ancamnya.

Aku menelan ludah seketika, tapi seperti ada yang mencekik leherku hingga ludahku tersangkut di tenggorokan. Ini pertama kalinya aku di todong dengan senjata api, aku bisa saja berteriak. Tapi dia pasti akan langsung menembakku. Aku tak mau mati konyol hari ini, aku masih harus mengumpulkan uang untuk biaya operasi bapak.

"Did you listening?" tanyanya.

"Ah.., yeh..., o-k...aku akan jalan...dan..you...tak perlu menodongku dengan benda itu. Jika kau mengerti bahasaku!" sahutku. Dia tak menyahut, tapi dari mimiknya aku tahu dia mengerti bahasaku, "tapi argonya tetap kunyalakan!" tambahku berbalik, menekan tombol argo dan mulai menyalakan mesin mobil. Ku lirik dia sejenak yang juga memperhatikanku dari kaca spion tengah. Aku menghela nafas lalu menjalankan taksiku.

Seperti permintaannya, aku terus melaju tanpa tahu tujuanku. Tetap kuperhatikan dia selama perjalanan. Ok, dia memang tampan. Wajahnya mengingatkanku pada aktor Hollywood berkebangsaan Kanada, Ryan Reynolds. Mantan suami Scarlet Johanson, ehm..siapa nama istrinya yang sekarang? Oh ya, Blake Lively. Pemeran Serena di Gossip Girl. Dia aktor ganteng yang beberapa bulan lalu ku tonton film terbarunya, Deadpool.

Ah, kenapa aku jadi mendeskripsikan Ryan? Tapi mau bagaimana lagi, aku memang suka sekali perannya di Safe House. Cold. Oh...kumat lagi otakku!

Aku harus konsen mengendarai taksi ini, juga konsen pada senjata api di tangannya. Aku tak mau kepalaku meledak karena masalah sepele. Tapi ini bukan masalah sepele, aku sedang di todong!

Aku terkejut dengan suaranya, "kau punya air?" dia memang bisa berbahasa Indonesia. Ku lirik air mineralku yang tinggal setengah.

"Ehm, yes. But...!"

"Give me some, please!" kali ini suaranya tak sesangar tadi. Kalimatnya bukan lagi memaksa, tapi memohon.

"Tapi ini...!"

Dia tak menunggu persetujuanku, langsung saja di sambarnya botol itu dan di tenggaknya beberapa teguk. Sepertinya dia haus sekali, jadi aku diam saja. Lalu kami saling diam hingga jam berikutnya. Dan apakah perjalanan ini hanya akan berputar-putar saja? Bisa-bisa, dia mati kehabisan darah di taksiku! Aku tak mau berurusan dengan polisi.

"Hei, you..., mister...or...Sir, whatever...OK!" kesalku, "kau tidak mau pergi ke rumah sakit, tidak juga kantor polisi. Apa kau seorang penjahat?" seruku asal saja. Bisa kurasakan dia melotot padaku, tentu saja aku beranggapan dia seorang penjahat. Nyatanya dia menodongku dan mengancam akan membunuhku jika aku pergi ke kantor polisi, "begini saja, Sir!" seruku hendak membuat kesepakatan, sedikit meliriknya ke belakang.

"Bisakah kau sembunyikan benda di tanganmu itu Mister? Aku tidak akan bisa menyetir dengan tenang jika di todong seperti itu. Kau tahu..., aku juga tidak suka berurusan dengan polisi. Tapi jika kau memang seorang penjahat..., aku...fiuhh..., aku...,"

"What is your name?" tanyanya memotong kalimatku. Untuk apa dia menanyakan namaku? Untuk mempermudah mencariku nantinya jika ku bawa dia ke kantor polisi, begitu? Mungkin saja dia punya rekan kan?

"My name?"

"Your name!" ulangnya dengan suara yang lebih berat. Ku lihat dia dari spion, wajahnya serius sekali, aku tak ingin membuatnya marah saat ini. Dia bisa saja menembakku dan mengambil taksiku, pistolnya itu di pasang peredam di ujung larasnya. Tak akan ada yang mendengar jika dia menembakku.

"Eim..., Rosi!"

"Rose?"

"No, Rosi!" tegasku menolehnya sejenak. Aku mulai celingukan, berharap ada beberapa polantas yang tengah berpatroli. Mereka pasti bisa menolongku.

"Ok, Rose. Kau mau membuat kesepakatan?"

"Kesepakatan?"

"E-emh!" ku dengar dia berdehem, saat ku lirik dari spion ia membasahi bibirnya dengan lidah lalu menelan ludah, "you're pretty!" pujinya,

"What?" spontanku, tetap menatap ke depan. Brengsek! Dasar pria, sama saja. Tidak bisa melihat jidat mulus sedikit. Dia pikir aku akan tergoda begitu? Meski...ya...ku akui. Dia memang tampan, dingin. Seleraku sekali. Dan entah kenapa, setiap mataku bertemu matanya. Meski melalui pantulan kaca, dadaku terasa dag-dig-dug.

"I need some rest. I've never get sleep, for a long time!"

"Apa maumu?"

"I need sleep!"

"Tidur, kenapa kau tidak pergi ke hotel saja. Ok, Mister, bicara bahasa Indonesia, jika kau mengerti semua bahasaku!" pintaku dengan kesal.

"Aku mengerti beberapa bahasa, dan...hotel tak bisa membuatku tidur. Belakangan...!"

Dia berbicara perlahan, jujur..., suaranya merdu sekali. Aku tahu dia sedang dalam masalah, dan sepertinya masalahnya akan menyeretku jika dia berlama-lama di dalam taksiku.

"Jadi, kau mau tidur di dalam taksiku sementara aku harus menjagamu selama kau terlelap seperti baby sitter, begitu? Ini konyol!" dengusku.

"Ya!"

"Oh Tuhan..., mimpi apa aku semalam!" keluhku, "bagaimana kalau kau cari taksi lain saja, atau...kau pergi ke kedutaan. Ya, jika kau bukan orang jahat. Di sana lebih aman kan?"

"Aku tak bisa pergi kesana, kau akan tahu alasannya nanti. Dan apa kau tahu, kau orang pertama yang berbicara denganku sejak kemarin.____aku bahkan...," dia berhenti berbicara. Memijit kepalanya, sepertinya dia sakit kepala!

"Itu terdengar buruk,"

"Ku mohon, aku butuh tidur!" pintanya.

"Fine!" seruku dengan kesal. Aku berbelok di persimpangan lalu menuju tempat yang sedikit sepi. Entah mengapa, aku seolah ingin percaya padanya. Dan menatapnya, sungguh membuat dadaku bergetar. Seolah..., menemukan sesuatu yang lama hilang di dalam rongga dadaku. Menemukan matanya..., entahlah...

Saat berhenti di tempat yang cukup sepi nan nyaman, ketika ku toleh...dia sudah terlelap. Wajahnya lembut sekali. Menatapnya seperti itu..., dadaku seperti di sapu kelembutan. Siapakah dia sebenarnya?

Kian lama menatapnya, tak kusadari mataku memanas dan melelehkan sesuatu. Segera ku balikkan tubuhku dan ku seka airmataku sendiri. Siapa dia?

Tuhan..., aku tidak mengenalnya. Tapi kenapa aku seolah merasa dekat dan sesuatu yang hilang seolah kutemukan?

ROSE!

Ketika dia menyebutkan namaku dengan sebutan Rose, kenapa rasanya aku seperti pernah mendengar suara itu. Caranya menyebut Rose, nadanya?

"Argh...!" rintihku. Kenapa kepalaku rasanya jadi pening begini? Ku pegang kepalaku karena rasanya sakit sekali, seseorang yang menyebut nama Rose muncul dalam ingatanku.

Aku tidak tahu bagaimana, tapi...?

Rasa pening itu menghilang berangsur, ku benarkan dudukku menghadap ke depan. Dadaku menjadi sesak, tak pernah kurasakan hal seperti ini sebelumnya. Apalagi terhadap orang yang baru saja ku temui! Sekali lagi ku toleh dia. Aku terlonjak. Dia sudah membuka matanya menatapku dalam. Tatapan yang..., aneh tapi mata itu...?

* * *  

Aku seperti mendengar dia berbicara.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanyaku.

Dia diam untuk beberapa detik, lalu menjawab, "no!" simple. Tapi tatapan matanya jelas menyimpan sesuatu, sesuatu yang membuatku tidak tahan untuk membalasnya. Dan aku tak mau terjebak dalam situasi semacam ini terlalu lama.

"Ok, kau sudah cukup beristirahat. Sekarang katakan padaku kemana tujuanmu, aku tidak bisa menemanimu berputar-putar dengan lukamu itu!" jujurku. Memang, darahnya sudah berhenti mengalir, "aku antarkan kau, dan urusan kita beres. Kau tak perlu kuatir, aku tidak akan bercerita pada siapapun!" janjiku.

"Ok, aku butuh antibiotik, dan obat sakit kepala. Bisa kau carikan apotik yang letaknya tak terlalu ramai?" pintanya.

"Ya, kurasa bisa!"

"Thank you!"

Kami masih bertatapan untuk sekian detik. Lalu aku terjaga dan mengembalikan diriku menghadap ke depan. Segera ku jalankan taksiku. Mencari apotik yang dia mau. Sesekali masih ku lirik dia melalui spion tengah. Kulihat matanya berair dan mengalirkan buliran bening menatapku. Tapi ketika sadar aku memperhatikannya, dia segera menyekanya dan membuang muka. Aku semakin bingung.

Ku tepikan taksiku di pinggir jalan karena di halaman apotik itu penuh kendaraan, ku toleh dia, "tunggu sebentar, tapi mungkin mengantri!"

"It's ok!"

Sekarang rasanya aku yang tak mau beranjak, ingin sekali aku menatapnya lebih lama. Tapi aku tak mau kalau antrian di dalam semakin panjang, jadi ku lesatkan diriku keluar dan menerobos pintu masuk apotik itu. Keadaan sekitar memang tak terlalu ramai. Tapi di dalam apotik, cukup banyak yang memiliki keperluan dengan obat-obatan yang ada.

Aku memang harus mengantri cukup lama, dan selama itu...kegelisahan menghinggapi dadaku. Pikiranku terus tertuju kepada pria asing di dalam taksiku.

* * *

Aku berjalan bergegas menuju taksiku tanpa memperdulikan kanan-kiri atau apapun. Langsung kubanting tubuhku ke balakang kemudi, "ini pesananmu?" kataku menyodorkan sambil memutar tubuhku. Tapi aku terpaku. Dia tak ada disana. Aku tertegun.

Akupun celingukan mencarinya, "hei,___you! What is your name?" seruku panik. Aku tak menemukannya, ku keluarkan diriku daei dalam taksi dan mencarinya di sekitar, aku bahkan tak tahu namanya. Bagaimana aku bisa memanggilnya untuk mencarinya?

Ada rasa sesak yang memenuhi dadaku, aku merasa masih ingin dia ada di dalam taksiku. Aku masih ingin berada dalam satu ruang dengannya. Aku tahu ini aneh. Tapi itulah yang aku rasakan.

Aku kembali ke dalam taksi dengan rasa kecewa, menatap hampa ke depan. Dan mataku menangkap sesuatu, secarik kertas di atas dashboard. Ku ambil kertas yang terlipat itu. Tanganku sedikit gemetaran hingga kertas itu jatuh ke lantai mobil, mataku mengikutinya, tapi justru menemukan sebuah tas hitam yang tak terlalu besar. Tas yang kutahu terpasang di tubuh pria asing itu beberapa saat lalu. Ku sentuh tas itu perlahan, lalu dengan cepat ku buka resletingnya. Mataku melebar tak percaya.

Uang! Tas itu penuh dengan uang. Kenapa dia meninggalkannya di taksiku? Apakah dia seorang perampok? Aku tidak mau terlibat, tentu saja. Jadi ku pungut kertas tadi dan segera ku buka.

Gunakan uang ini untuk operasi bapak. ( Rodney )

Darimana dia tahu tentang bapak? Dan namanya..., Rodney! Nama itu seperti tidak asing bagiku. Aku mencoba mengingat. Satu tahun yang lalu, aku memang terbangun di rumah sakit. Kata bapak, aku mengalami kecelakaan. Aku sungguh tidak ingat tentang kecelakaan itu. Dan hari-hari sebelum aku masuk rumah sakit. Tapi aku masih ingat sekua tentang diriku, tentang bapak. Hanya..., aku merasa ada yang hilang dari diriku. Entah apa?

Rasa pening kembali menyerang otakku. Sakit sekali. Membuatku merintih dan menjambak rambutku sendiri. Sebuah suara dan bayangan bermunculan.

Rose!

Suara itu..., lalu tawa kebahagiaan. Aku sungguh tak bisa menahan rasa sakit ini. Tapi aku ingat wajah itu, suara itu...

Aku telah berbohong padamu_____ tentang siapa aku, pekerjaanku, apa yang kulakukan! Aku tahu..., tak seharusnya ku lakukan ini. Harusnya aku tak melibatkanmu dalam hidupku. Harusnya aku tak menikahimu!

________________

Aku seorang agent. CIA. Spy. Tapi percayalah..., ada satu hal yang aku tidak bohong padamu._____aku mencintaimu. Sangat mencintaimu!

 

Lalu bayangan saat kulihat wajah Rodney di pukuli di depanku. Tubuhku terikat di kursi, tak hanya itu. Beberapa tangan memukuliku. Masih bisa ku ingat suara itu memohon agar aku tak di sakiti. Tapi penyiksaan tak berhenti, aku merasakan tubuhku di setrum. Lalu aku tak ingat apapun lagi.

* * *

Rasa sakit masih menguasai isi kepalaku. Tapi ada yang jauh lebih sakit yang kurasakan. Dadaku, hatiku. Rodney! Wajah itu muncul di mataku. Suara lembut yang menyerukan namaku terdengar. Airmataku tak bisa ku bendung. Dan aku pun mengerti arti dari airmata pria asing dalam taksiku itu.

Rodney! I did remember you!

Dan..., semua berubah gelap!

_________o0o__________

©Y_Airy | Jakarta, 4 Agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun